Tiga pilar kewibawaan MK
A
A
A
PADA 13 Agustus 2013, Mahkamah Konstitusi (MK) genap berusia 10 tahun. Dalam usia yang relatif muda tersebut, MK telah diakui oleh publik sebagai lembaga yang memiliki kewibawaan.
Itu dapat dilihat dari tingkat kepercayaan dan harapan masyarakat yang tinggi kepada MK untuk menyelesaikan perkara yang menjadi wewenang MK, serta putusan-putusan MK yang diterima dan dilaksanakan semua komponen bangsa. Bagi lembaga peradilan, kewibawaan memiliki peran besar karena hanya dengan kewibawaan itulah lembaga peradilan dapat menyelesaikan perkara demi tegaknya hukum dan keadilan.
Kewibawaan semakin penting bagi MK sebagai lembaga peradilan yang tidak memiliki instrumen dan aparat untuk melaksanakan putusan-putusannya. Sebagai lembaga peradilan, mahkota MK adalah pada putusan yang dijatuhkan. Terdapat tiga pilar yang menyangga kewibawaan MK yaitu pertimbangan hukum putusan, independensi dan imparsialitas, serta layanan peradilan yang transparan dan akuntabel. Tidak berarti bahwa dalam 10 tahun perjalanan MK tidak pernah ada persoalan yang mengganggu tiga pilar tersebut.
Berbagai persoalan dan keraguan pernah terjadi dan dialami, namun MK dengan dikawal segenap komponen bangsa berhasil menyelesaikan dan melaluinya. Keberhasilan ini mampu mengubah keraguan menjadi keyakinan dan meningkatkan kewibawaan MK. Karena itulah, tiga pilar itu harus selalu dirawat dan dijaga, baik oleh MK maupun oleh segenap komponen bangsa.
Pertimbangan hukum putusan
Bagian penting putusan pengadilan yang menjadi pilar kewibawaan adalah pertimbangan hukum majelis hakim. Bagian inilah yang menjadi dasar dari amar yang dijatuhkan (ratio decidendi). Pada bagian ini majelis hakim menempatkan dan menilai semua fakta dan argumen hukum yang disampaikan para pihak dalam persidangan.
Pertimbangan hukum merefleksikan keluasan dan kedalaman pertimbangan hakim dalam mengambil putusan, baik dari aspek filosofis, normatif, maupun sosiologis. Kualitas pertimbangan hukum menentukan penerimaan dan kepatuhan terhadap putusan MK. Terdapat beberapa putusan MK yang pada awalnya memancing reaksi keras pada akhirnya dapat diterima dan dilaksanakan setelah amar putusan itu dibaca dan dipahami secara utuh dengan pertimbangan hukum yang mendasarinya misalnya putusan terkait anak luar kawin dan putusan diskualifikasi pasangan calon dalam pilkada.
Mempertahankan kualitas pertimbangan hukum putusan salah satu tantangan MK ke depan yang dapat memengaruhi kewibawaan MK. Semakin banyaknya perkara yang diajukan ke MK, apalagi perkara yang dibatasi waktu seperti perkara pemilu, harus dikelola dengan baik sehingga tidak menurunkan kualitas pertimbangan hukum putusan. Ini tentu tidak hanya bergantung pada majelis hakim konstitusi yang hanya terdiri sembilan orang, tetapi juga ditentukan kesiapan kepaniteraan dan sekretariat jenderal yang memberikan dukungan substansial bagi hakim dalam menyusun pendapat hukum (legal opinion) suatu perkara.
Sementara peran pihak lain, terutama perguruan tinggi, sangat diperlukan untuk melakukan penelitian dan eksaminasi secara akademik terhadap putusan MK. Hasil penelitian dan eksaminasi itu tentu akan sangat berguna bagi MK untuk mengetahui kelemahan dan kekurangan walaupun tidak mengurangi kekuatan hukum putusan yang telah dijatuhkan.
Independensi dan imparsialitas
Pilar kedua adalah independensi dan imparsialitas. Independensi terkait figur para hakim konstitusi yang tidak tunduk dan terpengaruh oleh kekuasaan lain yang terwujud dalam ketidakberpihakan (imparsialitas) dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Keberpihakan hakim bukan kepada kekuasaan atau pihak tertentu, tetapi kepada hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Independensi yang diwujudkan dalam imparsialitas dalam menyelenggarakan persidangan seringkali menjadi titik kritis kewibawaan lembaga peradilan. Independensi dan imparsialitas memiliki arti yang penting bagi MK, mungkin lebih dari lembaga peradilan lainnya, karena semua kewenangan MK berkaitan dengan kekuasaan negara bahkan menghadapkan warga negara dengan negara.
Sementara komposisi hakim MK diusulkan oleh tiga lembaga negara yang sering memunculkan pertanyaan independensi dari lembaga pengusul. Namun, 10 tahun perjalanan MK telah membuktikan bahwa hakim konstitusi mampu menjaga independensi dan imparsialitasnya dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
Para hakim konstitusi telah mampu menempatkan diri sebagai negarawan sebagaimana ditegaskan oleh UUD 1945 sehingga tidak dapat dipengaruhi, baik oleh lembaga pengusul, latar belakang organisasi, maupun segala bentuk kekuasaan dan materi. Untuk menjaga independensi dan imparsialitas ini, MK secara internal telah menetapkan kode etik hakim serta mekanisme penegakannya melalui Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.
Pada tingkat kepaniteraan dan sekretariat jenderal juga telah ditetapkan kode etik dan instrumen penegakan untuk mendukung independensi dan imparsialitas kelembagaan MK. Tentu saja MK membutuhkan dukungan lembaga dan pihak lain agar tetap dapat independen dan imparsial dengan cara tidak berupaya memengaruhi hakim konstitusi dalam menjalankan tugasnya, serta melaporkan jika ada dugaan gangguan terhadap independensi dan imparsialitas MK dan hakim konstitusi.
Layanan peradilan
Pilar ketiga adalah layanan peradilan yang transparan dan akuntabel. MK secara kelembagaan telah menjadikan layanan lembaga peradilan sebagai bagian dari hak konstitusional warga negara sehingga berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan peradilan yang terbaik (court excellent). Layanan peradilan yang diberikan aparat kepaniteraan dan sekretariat jenderal merupakan bagian tidak terpisahkan dari proses MK memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
Proses peradilan membutuhkan layanan mulai dari penerimaan pendaftaran perkara, kesiapan penyelenggaraan persidangan, hingga akses terhadap putusan MK. Kewibawaan MK dimulai dari proses layanan yang harus transparan dan akuntabel. Sebagai sebuah lembaga, keberhasilan penyelenggaraan layanan peradilan menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
Sebaliknya, ancaman terhadap kewibawaan peradilan juga sangat berpotensi muncul dari pemberian layanan dan aparat pelaksananya. Karena itu, upaya mengawal pilar kewibawaan MK juga harus dilakukan terhadap layanan peradilan di samping terhadap kualitas pertimbangan hukum putusan dan independensi hakim. Upaya ini telah dilakukan secara berkelanjutan selama 10 tahun berdirinya MK mulai dari penataan sistem dan prosedur, sumber daya manusia, hingga pengawasan dan penegakan sanksi.
Namun, tentu partisipasi publik dalam memberikan masukan dan pengawasan tetap menjadi syarat mutlak terjaganya marwah kewibawaan MK.
JANEDJRI M GAFFAR
Alumni Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang
Itu dapat dilihat dari tingkat kepercayaan dan harapan masyarakat yang tinggi kepada MK untuk menyelesaikan perkara yang menjadi wewenang MK, serta putusan-putusan MK yang diterima dan dilaksanakan semua komponen bangsa. Bagi lembaga peradilan, kewibawaan memiliki peran besar karena hanya dengan kewibawaan itulah lembaga peradilan dapat menyelesaikan perkara demi tegaknya hukum dan keadilan.
Kewibawaan semakin penting bagi MK sebagai lembaga peradilan yang tidak memiliki instrumen dan aparat untuk melaksanakan putusan-putusannya. Sebagai lembaga peradilan, mahkota MK adalah pada putusan yang dijatuhkan. Terdapat tiga pilar yang menyangga kewibawaan MK yaitu pertimbangan hukum putusan, independensi dan imparsialitas, serta layanan peradilan yang transparan dan akuntabel. Tidak berarti bahwa dalam 10 tahun perjalanan MK tidak pernah ada persoalan yang mengganggu tiga pilar tersebut.
Berbagai persoalan dan keraguan pernah terjadi dan dialami, namun MK dengan dikawal segenap komponen bangsa berhasil menyelesaikan dan melaluinya. Keberhasilan ini mampu mengubah keraguan menjadi keyakinan dan meningkatkan kewibawaan MK. Karena itulah, tiga pilar itu harus selalu dirawat dan dijaga, baik oleh MK maupun oleh segenap komponen bangsa.
Pertimbangan hukum putusan
Bagian penting putusan pengadilan yang menjadi pilar kewibawaan adalah pertimbangan hukum majelis hakim. Bagian inilah yang menjadi dasar dari amar yang dijatuhkan (ratio decidendi). Pada bagian ini majelis hakim menempatkan dan menilai semua fakta dan argumen hukum yang disampaikan para pihak dalam persidangan.
Pertimbangan hukum merefleksikan keluasan dan kedalaman pertimbangan hakim dalam mengambil putusan, baik dari aspek filosofis, normatif, maupun sosiologis. Kualitas pertimbangan hukum menentukan penerimaan dan kepatuhan terhadap putusan MK. Terdapat beberapa putusan MK yang pada awalnya memancing reaksi keras pada akhirnya dapat diterima dan dilaksanakan setelah amar putusan itu dibaca dan dipahami secara utuh dengan pertimbangan hukum yang mendasarinya misalnya putusan terkait anak luar kawin dan putusan diskualifikasi pasangan calon dalam pilkada.
Mempertahankan kualitas pertimbangan hukum putusan salah satu tantangan MK ke depan yang dapat memengaruhi kewibawaan MK. Semakin banyaknya perkara yang diajukan ke MK, apalagi perkara yang dibatasi waktu seperti perkara pemilu, harus dikelola dengan baik sehingga tidak menurunkan kualitas pertimbangan hukum putusan. Ini tentu tidak hanya bergantung pada majelis hakim konstitusi yang hanya terdiri sembilan orang, tetapi juga ditentukan kesiapan kepaniteraan dan sekretariat jenderal yang memberikan dukungan substansial bagi hakim dalam menyusun pendapat hukum (legal opinion) suatu perkara.
Sementara peran pihak lain, terutama perguruan tinggi, sangat diperlukan untuk melakukan penelitian dan eksaminasi secara akademik terhadap putusan MK. Hasil penelitian dan eksaminasi itu tentu akan sangat berguna bagi MK untuk mengetahui kelemahan dan kekurangan walaupun tidak mengurangi kekuatan hukum putusan yang telah dijatuhkan.
Independensi dan imparsialitas
Pilar kedua adalah independensi dan imparsialitas. Independensi terkait figur para hakim konstitusi yang tidak tunduk dan terpengaruh oleh kekuasaan lain yang terwujud dalam ketidakberpihakan (imparsialitas) dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Keberpihakan hakim bukan kepada kekuasaan atau pihak tertentu, tetapi kepada hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Independensi yang diwujudkan dalam imparsialitas dalam menyelenggarakan persidangan seringkali menjadi titik kritis kewibawaan lembaga peradilan. Independensi dan imparsialitas memiliki arti yang penting bagi MK, mungkin lebih dari lembaga peradilan lainnya, karena semua kewenangan MK berkaitan dengan kekuasaan negara bahkan menghadapkan warga negara dengan negara.
Sementara komposisi hakim MK diusulkan oleh tiga lembaga negara yang sering memunculkan pertanyaan independensi dari lembaga pengusul. Namun, 10 tahun perjalanan MK telah membuktikan bahwa hakim konstitusi mampu menjaga independensi dan imparsialitasnya dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
Para hakim konstitusi telah mampu menempatkan diri sebagai negarawan sebagaimana ditegaskan oleh UUD 1945 sehingga tidak dapat dipengaruhi, baik oleh lembaga pengusul, latar belakang organisasi, maupun segala bentuk kekuasaan dan materi. Untuk menjaga independensi dan imparsialitas ini, MK secara internal telah menetapkan kode etik hakim serta mekanisme penegakannya melalui Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.
Pada tingkat kepaniteraan dan sekretariat jenderal juga telah ditetapkan kode etik dan instrumen penegakan untuk mendukung independensi dan imparsialitas kelembagaan MK. Tentu saja MK membutuhkan dukungan lembaga dan pihak lain agar tetap dapat independen dan imparsial dengan cara tidak berupaya memengaruhi hakim konstitusi dalam menjalankan tugasnya, serta melaporkan jika ada dugaan gangguan terhadap independensi dan imparsialitas MK dan hakim konstitusi.
Layanan peradilan
Pilar ketiga adalah layanan peradilan yang transparan dan akuntabel. MK secara kelembagaan telah menjadikan layanan lembaga peradilan sebagai bagian dari hak konstitusional warga negara sehingga berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan peradilan yang terbaik (court excellent). Layanan peradilan yang diberikan aparat kepaniteraan dan sekretariat jenderal merupakan bagian tidak terpisahkan dari proses MK memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
Proses peradilan membutuhkan layanan mulai dari penerimaan pendaftaran perkara, kesiapan penyelenggaraan persidangan, hingga akses terhadap putusan MK. Kewibawaan MK dimulai dari proses layanan yang harus transparan dan akuntabel. Sebagai sebuah lembaga, keberhasilan penyelenggaraan layanan peradilan menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
Sebaliknya, ancaman terhadap kewibawaan peradilan juga sangat berpotensi muncul dari pemberian layanan dan aparat pelaksananya. Karena itu, upaya mengawal pilar kewibawaan MK juga harus dilakukan terhadap layanan peradilan di samping terhadap kualitas pertimbangan hukum putusan dan independensi hakim. Upaya ini telah dilakukan secara berkelanjutan selama 10 tahun berdirinya MK mulai dari penataan sistem dan prosedur, sumber daya manusia, hingga pengawasan dan penegakan sanksi.
Namun, tentu partisipasi publik dalam memberikan masukan dan pengawasan tetap menjadi syarat mutlak terjaganya marwah kewibawaan MK.
JANEDJRI M GAFFAR
Alumni Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang
(nfl)