Investasi bodong terus menelan korban
A
A
A
KEHADIRAN Otoritas Jasa Keuangan (OJK) seakan memberi oase bagi nasabah yang bersengketa dengan industri keuangan.
Meski OJK yang masih seumur jagung sudah mencatat tak kurang dari 300 pengaduan menyangkut sengketa antara nasabah dengan industri keuangan, di mana didominasi oleh perusahaan asuransi, terutama terkait dengan ketidakjelasan tentang polis klaim asuransi, menyusul investasi bodong yang tiada henti menelan korban.
OJK kini menjadi harapan besar untuk menyelamatkan masyarakat terkait maraknya penyelenggaraan investasi bodong. Masyarakat menaruh harapan sangat besar terhadap OJK, agar bisa mendeteksi secara dini lembaga investasi yang mencurigakan sehingga tak perlu menelan korban. Kasus terbaru adalah pengaduan nasabah PT Gold Bullion Indonesia (GBI).
Perwakilan nasabah melaporkan kinerja GBI atas mandeknya pembayaran imbal hasil terkait bisnis gadai emas dengan perputaran dana yang mencapai sebesar Rp1,2 triliun. Sebagaimana diungkapkan perwakilan nasabah ketika melaporkan kasus tersebut kepada pihak OJK, pembayaran imbal hasil sudah ingkar dari perjanjian, terhitung sejak April 2013 nasabah tak menerima lagi pembagian hasil yang kini mulai memancing panik para nasabah yang jumlahnya ribuan itu.
Sekadar informasi, GBI selaku badan penyelenggara investasi telah menawarkan skema investasi dalam dua kategori, yakni skema emas fisik dan skema gadai. Belakangan skema gadai melalui pembiayaan kepemilikan emas bermasalah. Nasabah yang awalnya berharap menuai untung besar dari skema gadai, kini menduga terjadi persekongkolan antara pihak bank dengan GBI.
Nasabah gadai hanya membayar 40% dari total harga emas yang dibeli, sedangkan pembiayaan sebesar 60% ditanggung bank. Kontrak gadai emas itu berlaku selama empat bulan dengan imbal hasil sekitar 2,5% per bulan dari harga emas yang dibeli, meski emasnya dipegang oleh bank. Sebagai bukti kepesertaan, nasabah dibekali surat bukti gadai serta kontrak dari GBI.
Belakangan penyelenggara investasi tersebut mulai ingkar janji nasabah pun lantas mempertanyakan keabsahan GBI yang ternyata melenceng dari izin yang dikantongi. Kabarnya, sejak awal Maret lalu, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sudah menerbitkan surat resmi yang menyatakan perusahaan tersebut beroperasi tidak sesuai izin.
Memang benar, GBI adalah perusahaan yang bergerak di bidang bisnis emas, tetapi bukan secara ritel melainkan melalui business to business(B to B). Itu pokok masalahnya. Lantas, bagaimana otoritas yang berwenang mengawasi penyelenggaraan investasi justru bisa kecolongan di depan mata? Setelah memberi surat peringatan, BKPM kemudian menawarkan dua pilihan kepada pihak GBI, yakni menyelesaikan pembayaran utang-utang kepada nasabah atau perusahaan ditutup.
Pihak OJK sendiri belum memberi penilaian terhadap bisnis yang dijalankan GBI. Kasus-kasus penipuan yang berkedok di balik berbagai penawaran sarana investasi dengan imbal hasil menggiurkan tak pernah surut. Hal itu tidak akan terjadi seandainya calon nasabah tetap kritis menghadapi berbagai penawaran investasi yang menjanjikan hasil investasi yangtinggi dengan mengabaikan risiko, karena sudah dininabobokan bayangan tambahan pendapatan tanpa harus bekerja keras.
Di sinilah pentingnya edukasi terhadap masyarakat bagaimana cara berinvestasi yang benar. Di satu sisi, maraknya investasi bodong menunjukkan dana yang di masyarakat cukup besar, tetapi sayangnya belum paham bagaimana memilih cara berinvestasi yang aman, misalnya melalui pasar modal dalam bentuk reksa dana. Tentu saja edukasi yang intensif tidak akan berarti apa-apa seandainya tanpa dibarengi pengawasan terhadap penyelenggara investasi secara ketat.
Berdasarkan data Asosiasi Pengelola Reksa Dana Indonesia (APRDI), masyarakat yang berinvestasi di reksa dana belum mencapai 1% dari 240 juta penduduk Indonesia. Sebaliknya, hampir setiap saat kita disajikan berita di media massa tentang masyarakat korban investasi bodong dengan nilai kerugian triliunan rupiah.
Meski OJK yang masih seumur jagung sudah mencatat tak kurang dari 300 pengaduan menyangkut sengketa antara nasabah dengan industri keuangan, di mana didominasi oleh perusahaan asuransi, terutama terkait dengan ketidakjelasan tentang polis klaim asuransi, menyusul investasi bodong yang tiada henti menelan korban.
OJK kini menjadi harapan besar untuk menyelamatkan masyarakat terkait maraknya penyelenggaraan investasi bodong. Masyarakat menaruh harapan sangat besar terhadap OJK, agar bisa mendeteksi secara dini lembaga investasi yang mencurigakan sehingga tak perlu menelan korban. Kasus terbaru adalah pengaduan nasabah PT Gold Bullion Indonesia (GBI).
Perwakilan nasabah melaporkan kinerja GBI atas mandeknya pembayaran imbal hasil terkait bisnis gadai emas dengan perputaran dana yang mencapai sebesar Rp1,2 triliun. Sebagaimana diungkapkan perwakilan nasabah ketika melaporkan kasus tersebut kepada pihak OJK, pembayaran imbal hasil sudah ingkar dari perjanjian, terhitung sejak April 2013 nasabah tak menerima lagi pembagian hasil yang kini mulai memancing panik para nasabah yang jumlahnya ribuan itu.
Sekadar informasi, GBI selaku badan penyelenggara investasi telah menawarkan skema investasi dalam dua kategori, yakni skema emas fisik dan skema gadai. Belakangan skema gadai melalui pembiayaan kepemilikan emas bermasalah. Nasabah yang awalnya berharap menuai untung besar dari skema gadai, kini menduga terjadi persekongkolan antara pihak bank dengan GBI.
Nasabah gadai hanya membayar 40% dari total harga emas yang dibeli, sedangkan pembiayaan sebesar 60% ditanggung bank. Kontrak gadai emas itu berlaku selama empat bulan dengan imbal hasil sekitar 2,5% per bulan dari harga emas yang dibeli, meski emasnya dipegang oleh bank. Sebagai bukti kepesertaan, nasabah dibekali surat bukti gadai serta kontrak dari GBI.
Belakangan penyelenggara investasi tersebut mulai ingkar janji nasabah pun lantas mempertanyakan keabsahan GBI yang ternyata melenceng dari izin yang dikantongi. Kabarnya, sejak awal Maret lalu, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sudah menerbitkan surat resmi yang menyatakan perusahaan tersebut beroperasi tidak sesuai izin.
Memang benar, GBI adalah perusahaan yang bergerak di bidang bisnis emas, tetapi bukan secara ritel melainkan melalui business to business(B to B). Itu pokok masalahnya. Lantas, bagaimana otoritas yang berwenang mengawasi penyelenggaraan investasi justru bisa kecolongan di depan mata? Setelah memberi surat peringatan, BKPM kemudian menawarkan dua pilihan kepada pihak GBI, yakni menyelesaikan pembayaran utang-utang kepada nasabah atau perusahaan ditutup.
Pihak OJK sendiri belum memberi penilaian terhadap bisnis yang dijalankan GBI. Kasus-kasus penipuan yang berkedok di balik berbagai penawaran sarana investasi dengan imbal hasil menggiurkan tak pernah surut. Hal itu tidak akan terjadi seandainya calon nasabah tetap kritis menghadapi berbagai penawaran investasi yang menjanjikan hasil investasi yangtinggi dengan mengabaikan risiko, karena sudah dininabobokan bayangan tambahan pendapatan tanpa harus bekerja keras.
Di sinilah pentingnya edukasi terhadap masyarakat bagaimana cara berinvestasi yang benar. Di satu sisi, maraknya investasi bodong menunjukkan dana yang di masyarakat cukup besar, tetapi sayangnya belum paham bagaimana memilih cara berinvestasi yang aman, misalnya melalui pasar modal dalam bentuk reksa dana. Tentu saja edukasi yang intensif tidak akan berarti apa-apa seandainya tanpa dibarengi pengawasan terhadap penyelenggara investasi secara ketat.
Berdasarkan data Asosiasi Pengelola Reksa Dana Indonesia (APRDI), masyarakat yang berinvestasi di reksa dana belum mencapai 1% dari 240 juta penduduk Indonesia. Sebaliknya, hampir setiap saat kita disajikan berita di media massa tentang masyarakat korban investasi bodong dengan nilai kerugian triliunan rupiah.
(nfl)