Ihwal Kemandirian KPUD
A
A
A
Tersingkirnya Khofifah Indar Parawangsa-Herman S Sumawiredja dalam proses pencalonan gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur membuktikan banyak kerisauan yang berkembang selama ini.
Salah satunya syarat dukungan dari partai politik atau gabungan partai politik yang berpotensi menghilangkan kesempatan seseorang untuk menjadi calon kepala daerah atau wakil kepala daerah. Sejumlah bentangan fakta bahkan membuktikan hilangnya kesempatan tersebut karena ada faktor politik uang. Dalam kasus Jawa Timur, Partai Kedaulatan (PK) dan Partai Persatuan Nahdlatul Ulama Indonesia (PPNUI) memberikan dukungan ganda selain kepada Khofifah dan Herman juga kepada pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf.
Sebagaimana diketahui, Ketua Umum PK dan PPNUI memberikan dukungan kepada Khofifah-Herman dan sekretarisnya mendukung duet Soekarwo-Saifullah. Dalam persidangan di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bahkan mulai terungkap fakta kemungkinan ada praktik politik uang di balik dukungan ganda tersebut. Selain soal dukungan ganda, kemandirian penyelenggara pemilu terutama Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) juga menjadi keprihatinan lain dalam proses penyelenggaraan pemilu kepala daerah (pilkada).
Banyak fakta membuktikan, anggota KPUD amat mudah tergoda untuk memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon. Dukungan biasa diberikan kepada pasangan petahana atau pasangan yang terkait petahana. Merujuk sejumlah fakta, tak sekadar mendukung, sebagai penyelenggara pemilu, sebagian dari anggota KPUD pun berani untuk menjegal pasangan calon lain dengan berbagai cara.
Kondisi ini kian parah ketika Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) gagal melakukan pengawasan secara benar atas pelanggaran yang terjadi. Bukan tidak mungkin pula sebagian anggota Bawaslu menjadi bagian dari gendang permainan yang ada yaitu dengan segala kemungkinan membiarkan penyelewengan yang dilakukan anggota KPUD. Padahal, secara hukum, posisi Bawaslu begitu sentral dalam mengawasi KPUD dalam setiap tahapan pemilu, termasuk dalam pengusulan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Karena itu, dalam beberapa waktu terakhir, soal kemandirian penyelenggara pilkada menjadi isu sentral.
Beberapa modus
Merujuk beberapa kasus terutama yang pernah menjadi bagian dari penyelesaian sengketa penyelesaian hasil pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi (MK), modus paling umum yang terjadi adalah mencoret bakal calon karena alasan tidak memenuhi persyaratan sebagai calon kepala daerah/ wakil kepala daerah. Modus tidak memenuhi syarat lebih mudah dilaksanakan jika proses kehadiran pasangan bakal calon berasal dari partai politik yang memiliki masalah internal.
Dari beberapa kasus yang disengketakan di MK, persoalan internal partai politik yang acapkali berujung pada pencoretan pasangan calon adalah jika terjadi perpecahan dukungan antara ketua dan sekretaris partai politik. Sebagaimana dijelaskan di awal tulisan ini, kasus Jawa Timur berada dalam labirin masalah ini. Selain itu juga terdapat kepengurusan ganda bagi partai politik pengusung pasangan calon. Sejauh ini partai politik yang terbelenggu dalam masalah kepengurusan ganda selalu mengajukan pasangan calon yang berbeda.
Bagi penyelenggara pemilu yang telah terjebak dalam pemihakan, beragam masalah yang terjadi di internal partai politik menjadi alasan kuat untuk mencoret pasangan calon. Padahal, sebagai penyelenggara pilkada, KPUD memiliki panduan untuk menuntaskan masalah di sekitar pengusulan pasangan calon yang disebabkan oleh masalah internal partai politik. Karena sudah berada dalam labirin ketidakmandirian, mekanis penyelesaian yang tersedia seperti tidak pernah diupayakan secara optimal.
Boleh jadi, bagi sebagian penyelenggara pemilu, persoalan internal partai politik menjadi semacam kesempatan untuk terus menjauh dari asas mandiri. Secara hukum tersedia jalan mengajukan ke peradilan tata usaha negara (PTUN) bagi pasangan calon yang dirugikan oleh tindakan KPUD. Karena putusan pengadilan tidak menjadi alasan untuk menunda tahapan pilkada, KPUD cenderung meneruskan tahapan pilkada tanpa harus mengikuti putusan PTUN.
Misalnya, kalaupun calon yang tersisih menang di PTUN, KPUD akan tetap meneruskan tahapan tanpa menyertakan pasangan calon tersebut dengan cara mengambil langkah mengajukan banding ke pengadilan tinggi TUN. Dengan pilihan begitu, calon yang dicoret tidak akan bisa mengikuti pemungutan suara. Selain menunggangi masalah internal partai politik, modus lainnya adalah penyelenggara berpihak langsung memenangkan salah satu pasangan calon.
Cara umum dilakukan adalah membiarkan pasangan calon tertentu melakukan segala macam cara untuk memenangkan pemilihan, termasuk membiarkan melakukan pelanggaran. Banyak kejadian, KPUD acapkali melakukan sosialisasi dan menggerakkan jajaran penyelenggaranya mendukung calon tertentu. Tak hanya itu, tindakan yang paling berbahaya juga menggelembungkan suara demi memenangkan pasangan calon tertentu.
Tak cukup diberhentikan
Kemandirian penyelenggara menjadi masalah kunci dalam penyelenggaraan pemilu. Penyelenggara yang tidak mandiri bahkan akan memerosokkan kualitas penyelenggaraan pemilu. Karena itu, segala tindakan yang menggadaikan asas mandiri tersebut perlu diberikan sanksi yang setimpal. Menyadari masalah ini, pembentuk undang-undang telah mengantisipasinya dengan membentuk DKPP.
Dalam masalah pelanggaran kode etik, DKPP dapat mengambil langkah sampai pemberhentian penyelenggara pemilu. Celakanya, meski DKPP telah memberhentikan tidak dengan hormat lebih dari 70 anggota KPUD dan Bawaslu, pelanggaran asas mandiri masih terus terjadi. Tindakan yang dilakukan DKPP seperti tidak memberikan kabar pertakut bagi sebagian penyelenggara pilkada. Padahal, bagi mereka yang mengerti dan memahami makna sesungguhnya kode etik, penjatuhan sanksi berupa pelanggaran atasnya terutama pelanggaran berat kode etik adalah semacam kematian harga diri.
Karena pemahaman itu tidak tumbuh dan efek jera tidak terjadi, kita harus berpaling ke sanksi lain. Dengan maksud menjaga penyelenggara pemilu yang mandiri, sanksi pemberhentian harus diikuti dengan pelaksanaan ancaman pidana. Untuk maksud ini, bagi penyelenggara pilkada yang diberhentikan karena melakukan pelanggaran kode etik, penegak hukum harus melanjutkan ke wilayah penegakan hukum pidana terutama apabila terdapat indikasi bahwa salah satu alasan pemberhentian karena menerima uang dari salah satu pasangan calon.
Banyak pihak yakin dengan mendorong penegakan hukum pidana, penyelenggara pilkada akan berpikir ulang menggadaikan kemandirian penyelenggara pemilu. Tanpa itu, proses pemilu termasuk pilkada hanya akan menghadirkan gelombang praktik korupsi. Ujungnya, mayoritas pemimpin negeri ini akan dipegang dan dikuasai oleh mereka yang terbiasa dalam perilaku koruptif.
SALDI ISRA
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Salah satunya syarat dukungan dari partai politik atau gabungan partai politik yang berpotensi menghilangkan kesempatan seseorang untuk menjadi calon kepala daerah atau wakil kepala daerah. Sejumlah bentangan fakta bahkan membuktikan hilangnya kesempatan tersebut karena ada faktor politik uang. Dalam kasus Jawa Timur, Partai Kedaulatan (PK) dan Partai Persatuan Nahdlatul Ulama Indonesia (PPNUI) memberikan dukungan ganda selain kepada Khofifah dan Herman juga kepada pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf.
Sebagaimana diketahui, Ketua Umum PK dan PPNUI memberikan dukungan kepada Khofifah-Herman dan sekretarisnya mendukung duet Soekarwo-Saifullah. Dalam persidangan di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bahkan mulai terungkap fakta kemungkinan ada praktik politik uang di balik dukungan ganda tersebut. Selain soal dukungan ganda, kemandirian penyelenggara pemilu terutama Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) juga menjadi keprihatinan lain dalam proses penyelenggaraan pemilu kepala daerah (pilkada).
Banyak fakta membuktikan, anggota KPUD amat mudah tergoda untuk memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon. Dukungan biasa diberikan kepada pasangan petahana atau pasangan yang terkait petahana. Merujuk sejumlah fakta, tak sekadar mendukung, sebagai penyelenggara pemilu, sebagian dari anggota KPUD pun berani untuk menjegal pasangan calon lain dengan berbagai cara.
Kondisi ini kian parah ketika Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) gagal melakukan pengawasan secara benar atas pelanggaran yang terjadi. Bukan tidak mungkin pula sebagian anggota Bawaslu menjadi bagian dari gendang permainan yang ada yaitu dengan segala kemungkinan membiarkan penyelewengan yang dilakukan anggota KPUD. Padahal, secara hukum, posisi Bawaslu begitu sentral dalam mengawasi KPUD dalam setiap tahapan pemilu, termasuk dalam pengusulan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Karena itu, dalam beberapa waktu terakhir, soal kemandirian penyelenggara pilkada menjadi isu sentral.
Beberapa modus
Merujuk beberapa kasus terutama yang pernah menjadi bagian dari penyelesaian sengketa penyelesaian hasil pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi (MK), modus paling umum yang terjadi adalah mencoret bakal calon karena alasan tidak memenuhi persyaratan sebagai calon kepala daerah/ wakil kepala daerah. Modus tidak memenuhi syarat lebih mudah dilaksanakan jika proses kehadiran pasangan bakal calon berasal dari partai politik yang memiliki masalah internal.
Dari beberapa kasus yang disengketakan di MK, persoalan internal partai politik yang acapkali berujung pada pencoretan pasangan calon adalah jika terjadi perpecahan dukungan antara ketua dan sekretaris partai politik. Sebagaimana dijelaskan di awal tulisan ini, kasus Jawa Timur berada dalam labirin masalah ini. Selain itu juga terdapat kepengurusan ganda bagi partai politik pengusung pasangan calon. Sejauh ini partai politik yang terbelenggu dalam masalah kepengurusan ganda selalu mengajukan pasangan calon yang berbeda.
Bagi penyelenggara pemilu yang telah terjebak dalam pemihakan, beragam masalah yang terjadi di internal partai politik menjadi alasan kuat untuk mencoret pasangan calon. Padahal, sebagai penyelenggara pilkada, KPUD memiliki panduan untuk menuntaskan masalah di sekitar pengusulan pasangan calon yang disebabkan oleh masalah internal partai politik. Karena sudah berada dalam labirin ketidakmandirian, mekanis penyelesaian yang tersedia seperti tidak pernah diupayakan secara optimal.
Boleh jadi, bagi sebagian penyelenggara pemilu, persoalan internal partai politik menjadi semacam kesempatan untuk terus menjauh dari asas mandiri. Secara hukum tersedia jalan mengajukan ke peradilan tata usaha negara (PTUN) bagi pasangan calon yang dirugikan oleh tindakan KPUD. Karena putusan pengadilan tidak menjadi alasan untuk menunda tahapan pilkada, KPUD cenderung meneruskan tahapan pilkada tanpa harus mengikuti putusan PTUN.
Misalnya, kalaupun calon yang tersisih menang di PTUN, KPUD akan tetap meneruskan tahapan tanpa menyertakan pasangan calon tersebut dengan cara mengambil langkah mengajukan banding ke pengadilan tinggi TUN. Dengan pilihan begitu, calon yang dicoret tidak akan bisa mengikuti pemungutan suara. Selain menunggangi masalah internal partai politik, modus lainnya adalah penyelenggara berpihak langsung memenangkan salah satu pasangan calon.
Cara umum dilakukan adalah membiarkan pasangan calon tertentu melakukan segala macam cara untuk memenangkan pemilihan, termasuk membiarkan melakukan pelanggaran. Banyak kejadian, KPUD acapkali melakukan sosialisasi dan menggerakkan jajaran penyelenggaranya mendukung calon tertentu. Tak hanya itu, tindakan yang paling berbahaya juga menggelembungkan suara demi memenangkan pasangan calon tertentu.
Tak cukup diberhentikan
Kemandirian penyelenggara menjadi masalah kunci dalam penyelenggaraan pemilu. Penyelenggara yang tidak mandiri bahkan akan memerosokkan kualitas penyelenggaraan pemilu. Karena itu, segala tindakan yang menggadaikan asas mandiri tersebut perlu diberikan sanksi yang setimpal. Menyadari masalah ini, pembentuk undang-undang telah mengantisipasinya dengan membentuk DKPP.
Dalam masalah pelanggaran kode etik, DKPP dapat mengambil langkah sampai pemberhentian penyelenggara pemilu. Celakanya, meski DKPP telah memberhentikan tidak dengan hormat lebih dari 70 anggota KPUD dan Bawaslu, pelanggaran asas mandiri masih terus terjadi. Tindakan yang dilakukan DKPP seperti tidak memberikan kabar pertakut bagi sebagian penyelenggara pilkada. Padahal, bagi mereka yang mengerti dan memahami makna sesungguhnya kode etik, penjatuhan sanksi berupa pelanggaran atasnya terutama pelanggaran berat kode etik adalah semacam kematian harga diri.
Karena pemahaman itu tidak tumbuh dan efek jera tidak terjadi, kita harus berpaling ke sanksi lain. Dengan maksud menjaga penyelenggara pemilu yang mandiri, sanksi pemberhentian harus diikuti dengan pelaksanaan ancaman pidana. Untuk maksud ini, bagi penyelenggara pilkada yang diberhentikan karena melakukan pelanggaran kode etik, penegak hukum harus melanjutkan ke wilayah penegakan hukum pidana terutama apabila terdapat indikasi bahwa salah satu alasan pemberhentian karena menerima uang dari salah satu pasangan calon.
Banyak pihak yakin dengan mendorong penegakan hukum pidana, penyelenggara pilkada akan berpikir ulang menggadaikan kemandirian penyelenggara pemilu. Tanpa itu, proses pemilu termasuk pilkada hanya akan menghadirkan gelombang praktik korupsi. Ujungnya, mayoritas pemimpin negeri ini akan dipegang dan dikuasai oleh mereka yang terbiasa dalam perilaku koruptif.
SALDI ISRA
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
(nfl)