Penggandaan uang

Senin, 29 Juli 2013 - 10:41 WIB
Penggandaan uang
Penggandaan uang
A A A
Fenomena kasus penggandaan uang yang terjadi di Magelang, Jawa Tengah, benar-benar membuat kita prihatin. Apalagi, kasus ini begitu menyita perhatian karena pelaku kasus penggandaan uang ini telah membunuh tiga korbannya.

Kasus penggandaan uang sudah sering terjadi di masyarakat. Bahkan, hampir tiap bulan, ada saja kasus penggandaan uang yang terungkap baik oleh kepolisian maupun atas hasil laporan para korbannya. Kerugiannya pun tidak main-main. Selain mengalami kerugian hingga miliaran rupiah, tak jarang para korbannya juga menjadi korban pembunuhan. Ironis memang. Apalagi, para korban kasus penggandaan uang ini bukan hanya masyarakat biasa yang tergolong rendah secara ekonomi dan pendidikan.

Ternyata, para korban itu juga ada yang merupakan orang-orang berpendidikan tinggi dan memiliki tingkat ekonomi yang baik. Yang terjadi di Magelang tersebut, misalnya, salah satu korbannya adalah anak profesor di Universitas Diponegoro dan yang bersangkutan merupakan dosen di universitas ternama yang berlokasi di Semarang, Jawa Tengah. Kasus penggandaan uang ini terus berulang dan modusnya juga kurang lebih sama dari tahun ke tahun, yakni mulai melibatkan orang-orang yang mengaku punya ilmu mistis, lewat ritual tertentu, hingga terkait penyebaran uang-uang palsu.

Misalnya di Bogor, dua bulan lalu terjadi penipuan penggandaan uang ala Eyang Aswong dengan barang bukti uang asing dan rupiah palsu senilai Rp1,2 triliun. Di Madiun, Jawa Timur, bahkan terungkap pelaku mengklaim bisa menggandakan uang dengan bantuan Nyi Roro Kidul. Di Yogyakarta, pada April lalu terungkap pula kasus kejahatan sejenis, yakni menggandakan uang dengan melakukan ritual khusus. Lagilagi masyarakat yang menjadi korban. Meski sudah banyak yang menjadi korban kasus penggandaan uang, anehnya masih saja ada masyarakat yang tergiur untuk menanamkan uang di situ.

Kenapa hal ini bisa terjadi? Pertama, sifat masyarakat yang gampang tergoda untuk mendapatkan sesuatu secara cepat dan instan. Tanpa bekerja keras, mereka berharap bisa mendapatkan hasil yang banyak. Tentu etos seperti ini tidak baik dan harus dibuang jauh dari pikiran kita. Masyarakat harus menyadari bahwa sesuatu harus didapatkan dengan bekerja keras. Alasan kedua adalah banyak kalangan masyarakat kita yang memiliki pola pikir irasional alias mistis. Pola pikir ini pun tidak mengenal kelas di masyarakat.

Bukan hanya masyarakat bawah yang memiliki pola pikir irasional seperti itu, banyak pula kelas menengah dan berpendidikan tinggi yang berpikiran seperti itu. Misalnya masalah seperti Kolor Ijo, santet, ataupun benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan magis seperti keris atau tombak hingga saat ini masih banyak yang memercayainya. Karena itulah mengapa kasus penggandaan uang tersebut masih terus terjadi dan tidak hanya menyasar masyarakat kelas bawah. Ketiga, tidak tegasnya hukuman bagi para pelaku penipuan penggandaan uang.

Nyaris kita tidak mendengar vonis yang berat bagi orang yang telah menyengsarakan dan memerdaya banyak korban tersebut. Hal itu tentu tidak memberikan efek jera bagi para pelaku ataupun orang lain. Karena itu, sudah sepantasnya kita mawas diri bahwa berbagai kasus tersebut harus dijadikan pelajaran berharga bagi kita dan masyarakat. Bahwa tidak ada orang yang berhasil karena menggandakan uangnya.

Karena uang tidak bisa digandakan dengan cara mistis, uang hanya bisa dikembangkan dengan kerja keras melalui investasi resmi atau usaha yang benar. Logikanya, kalau ada orang yang bisa menggandakan uang, tentu pelakunya sendiri yang akan melakukannya dan tidak akan memberikannya kepada orang lain. Dan yang pantas diingat, kasus penipuan seperti ini tidak mengenal gender, umur maupun kelas di masyarakat.

Semua orang bisa menjadi korban tanpa disadarinya. Karena itu, kita harus waspada. Yang terpenting adalah bagaimana kita bisa mengubah pola pikir bahwa kalau ingin sukses harus lewat kerja keras, bukan cara pintas seperti penggandaan uang itu.
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0736 seconds (0.1#10.140)