Pak Amir & PP Asmaul Husna

Rabu, 24 Juli 2013 - 12:53 WIB
Pak Amir & PP Asmaul Husna
Pak Amir & PP Asmaul Husna
A A A
HITUNG mundur di kantor saya menunjukkan angka cantik, 456 hari menuju 20 Oktober 2014. Kepemimpinan Pak Amir Syamsudin sudah berjalan 1 tahun 9 bulan. Nanti, 19 Oktober 2013, tepat dua tahun beliau memimpin Kementerian Hukum & HAM.

Dalam rentang waktu relatif singkat tersebut, kami sudah berjalan bersama-sama menghadapi berbagai dinamika di Kemenkum HAM yang penuh romantika. Kali ini izinkan saya membagi ceritanya ke hadirat pembaca semua. Dalam ikhtiar kami bekerja bersama, satu-dua orang menyuarakan bahwa ada matahari kembar di Kemenkum HAM. Hal yang sama sekali keliru. Matahari di mana pun, tidak terkecuali di Kemenkum HAM, hanya ada satu.

Pimpinan di Kemenkum HAM hanya ada satu: Menkum HAM Amir Syamsudin. Saya selalu memosisikan diri selaku wamen. Keputusan dan kebijakan strategis pada tahap akhir selalu diputuskan oleh Pak Amir. Saya bagian dari pelaksana, yang menjalankan perintah. Dalam satu-dua kesempatan, saya pernah memberikan usulan; tetapi jika tidak disetujui Pak Menteri, saya patuh.

Di lebih banyak kesempatan, saya menjalankan perintah Pak Amir yang sangat jelas dan sejalan dengan visi kami yang lebih antikorupsi dan meningkatkan pelayanan publik antipungli. Misalnya, banyak apresiasi atas penerimaan CPNS Kemenkum HAM tahun 2012 yang dianggap lebih baik, bersih dari setoran dan titipan. Kesuksesan itu berawal dari arahan Pak Amir kepada saya agar menjaga tidak ada pungutan dalam bentuk apa pun dalam seleksi CPNS.

Demikian juga halnya dengan kebijakan pengetatan pemberian hak remisi, pembebasan bersyarat kepada narapidana korupsi, narkoba (khususnya bandar dan produsen), terorisme serta kejahatan terorganisasi dan transnasional lainnya. Di samping pengetatan remisi jelas-jelas ada dalam instruksi presiden dan peraturan presiden terkait pemberantasan korupsi, Pak Amir dengan tegas memerintahkan saya menyiapkan draf peraturan pemerintahnya.

Dalam proses pembahasannya, “PP Asmaul Husna” (Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012) melibatkan seluruh pemangku kepentingan, utamanya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, KPK, BNN, BNPT, LSM antikorupsi, dan para ahli dari perguruan tinggi terkait masalah pidana dan tata negara. Segera setelah PP itu disusun, sosialisasi dilakukan ke seluruh stakeholder.

Banyak yang setuju, tetapi tentu saja beberapa narapidana yang terkena kebijakan pengetatan menolak aturan demikian. Atas kebijakan pengetatan remisi, dalam satu kesempatan di DPR, oleh seorang anggota, saya dikatakan “tidak ganteng”. Pada kesempatan lain, di salah satu acara diskusi di TV, saya dikatakan “penjaga masjid”. Dalam acara diskusi yang lain, saya dikatakan “malaikat azab”.

Semua kami hadapi dengan senyum, memahami bahwa perjuangan melawan korupsi, narkotika, dan terorisme pasti tidak mudah. Saya dengan Pak Amir selalu berdiskusi dan berpandangan, kebijakan pengetatan tetap harus dipertahankan; meskipun untuk itu, kami berdua harus menghadapi berbagai serangan. Kami dikesankan tidak kompak, ada matahari kembar, dan seterusnya. Padahal, justru kami berdua selalu berdiskusi sebelum mengambil keputusan. Saya beruntung mempunyai Menkumham Pak Amir. Beliau memberi kepercayaan luar biasa.

Dalam banyak kesempatan, sebelum keputusan diambil, kami duduk berdua dan berdiskusi mendalam. Tetapi kata putus, tentunya, tetap ada pada Menkum HAM. Beberapa orang salah menduga bahwa saya berjalan sendiri, padahal tidaklah demikian. Semua yang saya lakukan adalah atas persetujuan atau berdasarkan perintah Menkum HAM. Ketika saya turun ke daerah, lalu melakukan sidak di lapas atau rutan, ataupun kantor-kantor imigrasi, hal pertama yang saya lakukan adalah meminta persetujuan menteri.

Ketika beberapa waktu lalu saya melakukan sidak ke Lapas Sukamiskin, yang dijadikan lapas khusus koruptor, izin sidak saya peroleh dulu dari Pak Amir. Beliau meminta agar Najwa Shihab (Mata Najwa) diajak langsung ke lapangan untuk membuktikan bahwa tidak ada napi korupsi yang jalan-jalan di mal ataupun tidur di rumah. Pak Menteri memang sosok yang sangat low profile, dan meminta saya yang lebih banyak memberikan keterangan kepada rekan-rekan wartawan.

“Pak Denny saja yang menjelaskan. Yang muda yang harus lebih banyak muncul,” kata Pak Amir dalam banyak kesempatan. Akibatnya, dalam beberapa kasus, saya lebih banyak memberikan penjelasan kepada publik, meskipun itu saya lakukan atas izin atau perintah Menkum HAM. Dalam hal agenda pemberantasan korupsi pun, kami sering kali dianggap tidak sejalan.

Saya sering diasumsikan lebih kuat, dan Pak Menteri lebih lemah. Suatu asumsi yang juga keliru. Kami berdua nyaris tidak pernah berbeda setiap kali memutuskan kebijakan-kebijakan antikorupsi. Ambil contoh ketika pertama kali berkantor di Kuningan, di hari pertama kami bersepakat tanpa perdebatan untuk mengetatkan pemberian remisi bagi koruptor. Saya mempunyai beberapa usulan antikorupsi, antipungli dan pembenahan pelayanan publik yang tidak akan mungkin berjalan, jika saja Pak Amir tidak setuju.

Tetapi, setiap kali ada pemikiran antikorupsi, maka Pak Amir selalu mendukung penuh, nyaris tanpa catatan. Demikian juga dengan PP 99 alias PP Asmaul Husna, ketika dirumuskan kami berdua saling dukung. Ketika kemudian dipermasalahkan, Pak Amir dan saya juga intens bertukar pikiran. Sampai kemudian muncul Surat Edaran Menkum HAM tertanggal 12 Juli 2013, yang pada intinya memberlakukan PP Asmaul Husna sejak 12 November 2012, Pak Amir mendapatkan serangan gencar karena dianggap mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan koruptor.

Di salah satu diskusi TV, seorang aktivis antikorupsi mengatakan edaran tersebut dikeluarkan karena Pak Amir, sebagai mantan advokat, mempunyai beberapa mantan klien kasus korupsi di penjara. Tentu saja hal demikian tidak benar. Saya tahu persis, dan berkewajiban menjelaskan bahwa kebijakan dikeluarkannya surat edaran tersebut adalah keputusan yang kami ambil setelah menimbang berbagai aspek secara mendalam. Tragedi di Lapas Tanjung Gusta sangat memilukan bagi kami.

Dua putra terbaik kami, staf di Tanjung Gusta gugur dalam tugas, tiga warga binaan juga wafat. Bagi kami jangankan lima nyawa melayang, satu korban jiwa saja sudah terlalu banyak. Maka untuk emergency response, menjaga keamanan dan ketertiban lapas/rutan di seluruh Indonesia, serta menghindari kemungkinan menjalarnya insiden Tanjung Gusta, maka kebijakan melalui Surat Edaran Menkum HAM itu pun dilakukan. Bagi kami berdua, keputusan demikian tentu saja tidak mudah, dan tentu saja tidak populer.

Namun, keputusan tidak hanya didasarkan pada populernya suatu isu. Tidak jarang keputusan yang benar tetap harus dilakukan, meskipun kurang populer. Surat Edaran Menkum HAM 12 Juli 2013 bukan keputusan Menkum HAM saja, namun juga saya support. “Pak Wamen, tolong dukung saya untuk kebijakan melalui surat edaran ini,” kata Pak Amir. Saya tidak perlu berpikir panjang untuk memahami bahwa ini adalah keputusan yang tidak populer, namun sebaiknya dilakukan, dan tepat untuk menjawab situasi pascatragedi Tanjung Gusta.

Singkat cerita, jika saja menkum HAM bukan Pak Amir, banyak usulan antikorupsi dan pembenahan di Kemenkum HAM yang saya usung, mungkin tidak akan berjalan. Sehingga dalam hal PP Asmaul Husna, memosisikan Pak Amir sebagai prokoruptor karena surat edaran adalah keliru. Kami mengeluarkan kebijakan itu justru untuk membuat PP 99 tidak semakin di bawah tekanan.

Kami sepakat PP Asmaul Husna, yang semakin diperjelas, harus dipertahankan untuk memperketat pengurangan hukuman bagi koruptor, bandar narkoba terorisme dan penjahat terorganisasi lainnya. Demi Indonesia yang lebih antikorupsi, demi Indonesia yang lebih bermartabat. Keep on fighting for the better Indonesia!

DENNY INDRAYANA
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5053 seconds (0.1#10.140)