Mismanajemen Lapas
A
A
A
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum ham) tengah menjadi sorotan. Ini terkait dengan rangkaian kasus larinya tahanan dan narapidana (napi).
Kasus terakhir terjadi Rabu kemarin di Rutan Kelas IIA Batam, Kepulauan Riau. Sebanyak 12 tahanan kasus narkoba melarikan diri setelah menyandera petugas rutan. Sebelumnya kasusnya lebih parah lagi. Sebanyak 212 napi, termasuk di antaranya napi kasus terorisme, kabur setelah mengamuk dan membakar Lapas Kelas I Tanjung Gusta, Medan (11/7). Para warga binaan tersebut mengamuk karena tidak mendapat aliran listrik sejak pagi, yang berakibat terhentinya saluran air.
Hingga kemarin, 107 napi belum ketahuan rimbanya. Ibarat rumah kartu, bobolnya rutan Batam dan Lapas Tanjung Gusta Medan sangat mungkin akan terjadi di tempat lain. Pasalnya, kondisi yang melatarinya juga terjadi di rutan ataupun lapas di Tanah Air: kelebihan kapasitas dan penjagaan yang sangat minim. Hampir semua rutan dan lapas di Tanah Air kelebihan kapasitas.
Seperti Tanjung Gusta, yang semestinya maksimal diisi 1.095 napi, ternyata faktualnya sampai berisi 2.594 napi. Di rutan maupun lapas di Jakarta, Kantor Wilayah Kemenkumham mengaku adanya kelebihan daya tampung hingga mencapai 150–300%. Celakanya, kelebihan daya tambang tidak sebanding dengan jumlah penjaga.
Wakil Menteri Kemenkumham Denny Indrayana mengaku perbandingan penjaga dan napi idealnya 1:5. Namun, saat itu perbandingannya adalah 1:50. Yang terjadi di Tanjung Gusta, 2.594 napi hanya dijaga 20 orang. Melihat fakta tersebut, sangat jelas bisa ditarik kesimpulan ada yang salah dengan manajemen lapas selama ini (mismanajemen).
Langkah Kemenkumham selama ini lebih banyak mengarah pada tindakan bombastis, seperti sidak yang dilakukan Denny Indraya atau mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang mengatur soal pengetatan remisi bagi narapidana kejahatan luar biasa seperti terorisme, korupsi, dan narkoba. Namun bagaimana mengoperasional lapas, luput dari perhatian.
Kemenkumham sebenarnya sudah menyadari kondisi tersebut. Karena sejak era Patrialis Akbar, Kemenkumham sudah membangun 19 lapas baru yang sudah beroperasi tahun ini. Selanjutnya, pemerintah juga sudah berencana membangun 40 lapas lagi. Namun, pembangunan lapas baru adalah solusi jangka panjang.
Sekarang yang dibutuhkan bagaimana mengatasi persoalan tersebut, seperti dengan memindahkan napi dari lapas yang penghuninya membeludak ke rutan atau lapas di daerah lain yang kondisinya relatif lebih longgar. Kemenkumham semestinya juga bisa meniru langkah cerdas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menitipkan tahanan atau napi korupsi ke tahanan milik TNI.
Mismanajemen tidak kalah parah terjadi pada pengamanan. Bagaimana pejabat Kemenkumham bisa tidur nyenyak melihat fakta bahwa ribuan napi di Tanjung Gusta hanya dijaga 20 orang! Bahkan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto pun sampai turun tangan memberikan masukan kepada Kemenkumham untuk mengkaji penambahan petugas keamanan.
Semestinya Kemenkumham sejak awal sudah mengatasinya dengan bisa merekrut personel baru. Atau jika tidak ada anggaran, tentu bisa meminta bantuan personel kepolisian. Kondisi sebelas dua belas juga terlihat pada kasus mismanajemen lainnya, seperti anggaran listrik yang tidak sesuai dengan kebutuhan.
Pada kasus Lapas Tanjung Gusta, biaya listrik hanya dijatah Rp16 juta per bulan, sedangkan kebutuhannya mencapai Rp55–60 juta per bulan. Tak heran lapas sampai berutang Rp1,144 miliar ke PLN. Ini belum lagi soal bagaimana lapas mengantisipasi jika terjadi pemadaman listrik. Tetapi entahlah di mana masalahnya.
Apakah karena keterbatasan anggaran, ketidaktelitian dalam mengatur prioritas anggaran, atau karena ketidakacuhan pejabat Kemenkumham terhadap persoalan tersebut? Atau, mungkin juga lambannya birokrasi menangkap aliran persoalan, seperti menjadi masalah klasik bangsa ini? Sekali lagi entahlah
Kasus terakhir terjadi Rabu kemarin di Rutan Kelas IIA Batam, Kepulauan Riau. Sebanyak 12 tahanan kasus narkoba melarikan diri setelah menyandera petugas rutan. Sebelumnya kasusnya lebih parah lagi. Sebanyak 212 napi, termasuk di antaranya napi kasus terorisme, kabur setelah mengamuk dan membakar Lapas Kelas I Tanjung Gusta, Medan (11/7). Para warga binaan tersebut mengamuk karena tidak mendapat aliran listrik sejak pagi, yang berakibat terhentinya saluran air.
Hingga kemarin, 107 napi belum ketahuan rimbanya. Ibarat rumah kartu, bobolnya rutan Batam dan Lapas Tanjung Gusta Medan sangat mungkin akan terjadi di tempat lain. Pasalnya, kondisi yang melatarinya juga terjadi di rutan ataupun lapas di Tanah Air: kelebihan kapasitas dan penjagaan yang sangat minim. Hampir semua rutan dan lapas di Tanah Air kelebihan kapasitas.
Seperti Tanjung Gusta, yang semestinya maksimal diisi 1.095 napi, ternyata faktualnya sampai berisi 2.594 napi. Di rutan maupun lapas di Jakarta, Kantor Wilayah Kemenkumham mengaku adanya kelebihan daya tampung hingga mencapai 150–300%. Celakanya, kelebihan daya tambang tidak sebanding dengan jumlah penjaga.
Wakil Menteri Kemenkumham Denny Indrayana mengaku perbandingan penjaga dan napi idealnya 1:5. Namun, saat itu perbandingannya adalah 1:50. Yang terjadi di Tanjung Gusta, 2.594 napi hanya dijaga 20 orang. Melihat fakta tersebut, sangat jelas bisa ditarik kesimpulan ada yang salah dengan manajemen lapas selama ini (mismanajemen).
Langkah Kemenkumham selama ini lebih banyak mengarah pada tindakan bombastis, seperti sidak yang dilakukan Denny Indraya atau mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang mengatur soal pengetatan remisi bagi narapidana kejahatan luar biasa seperti terorisme, korupsi, dan narkoba. Namun bagaimana mengoperasional lapas, luput dari perhatian.
Kemenkumham sebenarnya sudah menyadari kondisi tersebut. Karena sejak era Patrialis Akbar, Kemenkumham sudah membangun 19 lapas baru yang sudah beroperasi tahun ini. Selanjutnya, pemerintah juga sudah berencana membangun 40 lapas lagi. Namun, pembangunan lapas baru adalah solusi jangka panjang.
Sekarang yang dibutuhkan bagaimana mengatasi persoalan tersebut, seperti dengan memindahkan napi dari lapas yang penghuninya membeludak ke rutan atau lapas di daerah lain yang kondisinya relatif lebih longgar. Kemenkumham semestinya juga bisa meniru langkah cerdas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menitipkan tahanan atau napi korupsi ke tahanan milik TNI.
Mismanajemen tidak kalah parah terjadi pada pengamanan. Bagaimana pejabat Kemenkumham bisa tidur nyenyak melihat fakta bahwa ribuan napi di Tanjung Gusta hanya dijaga 20 orang! Bahkan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto pun sampai turun tangan memberikan masukan kepada Kemenkumham untuk mengkaji penambahan petugas keamanan.
Semestinya Kemenkumham sejak awal sudah mengatasinya dengan bisa merekrut personel baru. Atau jika tidak ada anggaran, tentu bisa meminta bantuan personel kepolisian. Kondisi sebelas dua belas juga terlihat pada kasus mismanajemen lainnya, seperti anggaran listrik yang tidak sesuai dengan kebutuhan.
Pada kasus Lapas Tanjung Gusta, biaya listrik hanya dijatah Rp16 juta per bulan, sedangkan kebutuhannya mencapai Rp55–60 juta per bulan. Tak heran lapas sampai berutang Rp1,144 miliar ke PLN. Ini belum lagi soal bagaimana lapas mengantisipasi jika terjadi pemadaman listrik. Tetapi entahlah di mana masalahnya.
Apakah karena keterbatasan anggaran, ketidaktelitian dalam mengatur prioritas anggaran, atau karena ketidakacuhan pejabat Kemenkumham terhadap persoalan tersebut? Atau, mungkin juga lambannya birokrasi menangkap aliran persoalan, seperti menjadi masalah klasik bangsa ini? Sekali lagi entahlah
(nfl)