Indonesia dan gagalnya ekonomi keroyokan

Kamis, 18 Juli 2013 - 14:07 WIB
Indonesia dan gagalnya ekonomi keroyokan
Indonesia dan gagalnya ekonomi keroyokan
A A A
Dunia terus bergulat mencari jalan bagi penanganan krisis keuangan dan ekonomi global yang kini terus berlanjut.

Analisis paling objektif yang dapat diterima adalah masalah krisis keuangan dan ekonomi merupakan refleksi kegagalan “the inclusive multilateralism”, istilah keren dari ekonomi keroyokan negara-negara kapitalis besar. Kesimpulan ini pernah disampaikan Mr Jomo Kwane Sundaran, asisten sekjen PBB untuk pembangunan ekonomi, dalam forum terbuka di Markas PBB di Wina, Austria pada 2009.

Multilateralisme Ekonomi

Keraguan masyarakat dunia terhadap langkah-langkah terkini yang diambil banyak kelompok negara, baik yang tergabung dalam G-8 maupun G-20, merupakan kritik terhadap kegagalan antisipasi “the inclusive multilateralism”. Ketidakmampuan itu mengakar pada pola-pola neoliberalisme dalam ekonomi keroyokan yang berinfiltrasi ke dalam arsitektur keuangan dunia yang lebih bersifat ad-hoc sehingga menjadi masalah tersendiri.

Akibatnya, krisis itu semakin meningkatkan pengaruh serta mengentalkan dikotomi antara ideologi pro-deregulation dan self-regulation yang kemudian menghasilkan regulasi liberalisasi capital account yang kurang tepat. Kritik paling terbuka terhadap kegagalan tersebut karena globalisasi keuangan hakikatnya tidak memberikan kontribusi pada pertumbuhan.

Krisis keuangan justru menjadikan banyak negara sedang berkembang sebagai innocent victim utama. Kebijakan antisipatif yang dihasilkan sebagian besar pelaku ekonomi global seperti G-7 maupun G-20 dianggap inadequate dan lebih bersifat double-standard serta cenderung mengirimkan sinyal menguatnya proteksionisme.

Realitas ini menyajikan arsitektur keuangan global yang lebih mengedepankan net capital flows dari Selatan ke Utara dan memperlihatkan bagaimana AS menjadi peminjam terbesarnya. Padahal seyogianya net capital flows itu memberi ruang bagi aliran modal yang lebih berimbang dari Utara ke Selatan atau yang lazim disebut capital rich to capital poor.

Harus diakui bahwa arsitektur keuangan dan ekonomi keroyokan dunia saat ini menjadi masalah tersendiri karena beberapa faktor antara lain; (i) cost of fund umumnya tidak lebih rendah karena ada praktik financial deepening dengan lebih banyak aktivitas intermediasi ataupun financial rents; (ii) kecenderungan tingkat highervolatility di seluruh aspek perkembangan arsitektur sistem keuangan global; serta (iii) sistem itu juga mengetengahkan tendensi pertumbuhan yang lebih rendah di satu sisidenganmendoronginstabilitas yang lebih tinggi di sisi lain.

Arsitektur keuangan model keroyokan negara-negara kapitalis kuat yang banyak dipuja orang sesungguhnya tidak menggambarkan short-term capital inflows yang sehat. Itu karena kontribusinya terhadap investasi maupun rasio pertumbuhan tidak ada. Pengelolaan aset ekonomi, baik itu menyangkut shares maupun prices cenderung dilakukan secara bubbles management.

Dukungan keuangan yang lebih murah dan royal bahkan diberikan kepada kegiatan-kegiatan ekonomi yang bersifat consumption binges seperti mudahnya pemberian jenis-jenis kartu kredit kepada publik dan maraknya jasa-jasa komersial perbankan lainnya. Mengapa demikian? Karena kondisi pengelolaan ekonomi semacam itu umumnya dibangun dengan landasan booming economic activity yang seringkali berakhir dengan sudden collapse.

Dengan begitu, kadang-kadang investasi yang seharusnya menjadi salah satu pilar pertumbuhan cenderung mengalami overinvestment dengan ekses kapasitas sebagai ciri utamanya. Semua itu justru memperkisruh instabilitas keuangan dan mengubahnya menjadi pro-cyclicality.

Prakarsa Indonesia

Sebagai konsekuensinya, situasi tersebut memaksa banyak negara sedang berkembang menghadapi ambruknya stock market yang lebih besar dengan konsekuensi penurunan capital flows, khususnya FDI serta semakin tingginya borrowing cost pada seluruh aspek aktivitas ekonomi.

Meski demikian, sebagian besar negara sedang berkembang cukup waspada dengan pelajaran yang mereka dapat petik dari kejadian krisis ekonomi di Asia dan Amerika Latin. Pelajaran itu antara lain menanamkan pemikiran di kalangan negara-negara seperti China atau India (termasuk Indonesia) untuk mempertahankan lebih banyak foreign reserves mereka serta menjaga keseimbangan fiskal secara lebih baik.

Dampak paling menakutkan sebenarnya adalah kemungkinan terburuk efek domino krisis tersebut. Saat government social spending berada pada tataran kritis akibat lemahnya sektor penerimaan publik maupun swasta, pergolakan sangat mudah tersulut. Dalam keadaan demikian, potensi social unrest menjadi salah satu kekhawatiran utama yang dihadapi banyak negara sedang berkembang.

Seperti kejadian di Mesir, penumbangan pemerintahan Mohammad Morsi bahkan ditengarai sebagian terjadi akibat krisis perbaikan ekonomi yang berjalan sangat lamban sehingga menjelma menjadi security risk bagi siapa pun pemerintahan yang berkuasa. Di Eropa pun pengangguran di kalangan kaum muda yang semakin meningkat menghantui sisi keamanan yang rentan dengan terorisme.

Bagi Indonesia, jika ingin memperkuat profilnya dalam G-20 dan membantu mempercepat proses recovery global, Jakarta harus serius mendorong langkah-langkah yang harus disiapkan komunitas internasional seperti penanganan krisis ekonomi yang diarahkan pada prioritas penguatan aspek regulatory dan policy.

Upaya pada tingkat regulatory ditunjukkan dengan kemampuan untuk menciptakan prudential risk management, terutama dalam memonitor arus modal (capital control); mendorong finance growth yang berbasis pada output dan optimalisasi ketersediaan tenaga kerja; mengembangkan struktur keuangan yang krusial bagi investasi dan pengembangan kebijakan di bidang teknologi; serta mendorong terciptanya inclusive finance yang mampu menopang stabilitas keuangan dunia.

Sedangkan di tingkat policy priorities, langkah-langkah yang mesti dilakukan adalah membendung tersebarnya krisis keuangan dengan cara menjamin likuiditas untuk memastikan ada pertumbuhan ekonomi riil; menurunkan restriksi ekonomi melalui langkah-langkah fiskal dan moneter; serta mengembangkan regulatory reform yang tepat di sektor keuangan, baik secara nasional maupun internasional.

Indonesia juga mesti memprakarsai dipertahankannya kelanjutan kebijakan stimulus. Itu diperlukan guna merangsang permintaan asing bagi tujuan ekspor yang cenderung melemah dalam kondisi demikian. Selain itu, forum-forum ekonomi multilateral seperti APEC, G-20, G-7, dan UNCTAD juga harus memodifikasi model keroyokannya dengan memainkan peran pemberian second opinion yang lebih baik bagi banyak negara yang memerlukan.

Harus diakui bahwa peranan dan kapasitas untuk melakukan fungsi itu sesungguhnya tidak mudah dirumuskan. Sementara pada saat bersamaan dunia menuntut untuk memperoleh akuntabilitas yang lebih besar dalam penanganan ekonomi global. Pada dasarnya ketiadaan akuntabilitas telah menjadi salah satu ciri kegagalan model ekonomi keroyokan yang berlangsung sekarang.

MUHAMMAD TAKDIR
Praktisi Politik Luar Negeri
Twitter: emteaedhir
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3735 seconds (0.1#10.140)