Pemimpin elitis

Rabu, 17 Juli 2013 - 11:30 WIB
Pemimpin elitis
Pemimpin elitis
A A A
Hampir semua atau bahkan semua pihak sepakat bahwa semua pemimpin harus melayani atau disebut servant leader. Apalagi jika pemimpin ini berada pada ranah pejabat publik, sifat servant leader harus benar-benar dijalani seorang pemimpin.

Melayani secara sungguh-sungguh sepenuh hati bukan karena ada pamrih agar bisa dikenal atau menjadi orang yang populer. Dalam tataran teori memang seperti itu, seharusnya menjadi seorang pemimpin yaitu melayani. Namun dalam praktik keseharian yang ditangkap pancaindra kita, kata melayani berubah menjadi kata dilayani. Kata dilayani mempunyai konotasi elitis dan eksklusif yang dipandang masyarakat atau rakyat karena jabatannya, bukan karena kinerjanya.

Gaya dilayani inilah yang banyak dilihat masyarakat. Sangat banyak pemimpin rakyat ini menjadi seorang pemimpin yang dilayani atau elitis. Ukuran elitis atau dilayani bisa dilihat dari bagaimana mereka (para pemimpin rakyat) mendapat perlakuan istimewa karena aturan protokoler. Ukuran lain yang bisa dilihat, bagaimana dia berbicara kepada publik dan tingkah laku para pemimpin di hadapan publik.

Sayang, gaya seperti itu menunjukkan hasil yang tidak maksimal atau bahkan tidak sama sekali menunjukkan kemajuan dalam membangun negeri ini. Negeri ini tidak membutuhkan pemimpin yang elitis, namun pemimpin yang melayani atau yang dekat dengan rakyat. Pada 2014 nanti, bangsa ini akan mempunyai pemimpin baru. Berbagai lembaga survei pun telah menangkap atau meng-capture keinginan publik tentang pemimpin barunya nanti.

Dari beberapa survei yang dilakukan didapat hasil bahwa masyarakat menginginkan pemimpin yang melayani atau merakyat, bukan yang elitis. Beberapa survei bahkan menyebutkan bahwa masyarakat sudah bosan dengan pemimpin elitis yang selama ini mereka lihat, dengar, dan rasakan. Artinya selama ini atau paling tidak sejak era reformasi berjalan, masyarakat belum mendapatkan pemimpin yang merakyat atau melayani. Publik rindu dengan pemimpin seperti ini.

Mengenai pemimpin publik, dipastikan tidak bisa dilepaskan dari peran partai politik (parpol), karena sistem di negeri ini yang membuat parpol sebagai penyuplai utama dari para pemimpin publik. Meski ada jalur nonparpol, peran parpol tetap mendominasi dalam melahirkan atau memproduksi pemimpin publik. Jika hasil survei mengatakan bahwa publik sudah bosan dengan pemimpin elitis atau dilayani, berarti ada yang salah dalam kaderisasi parpol di negeri ini.

Kondisi ini yang semestinya ditangkap semua parpol dan harus melakukan revitalisasi kaderisasi pemimpin. Sayang, hingga saat ini masih saja masyarakat atau publik masih disuguhkan gaya-gaya kaderisasi pemimpin yang elitis. Padahal, sudah ada beberapa contoh pemimpin masyarakat yang bersifat melayani yang bisa dijadikan benchmarkdalam melakukan kaderisasi.

Semestinya ini mudah bagi parpol untuk melakukan perubahan dalam kaderisasi. Alasannya, pertama hasil survei sangat clear menjelaskan keinginan publik tentang pemimpin seperti apa yang dibutuhkan. Hasil survei dari hampir semua lembaga survei bisa menjadi dasar utama bagaimana keinginan publik tentang pemimpin baru pada 2014.

Kedua adalah sudah ada contoh atau benchmarkpemimpin melayani yang bisa menjadi dasar berikutnya bagi parpol dalam melakukan kaderisasi. Dibutuhkan keberanian parpol-parpol untuk melakukan ini. Pola-pola lama dalam melakukan kaderisasi yang dianggap gagal oleh masyarakat harus diubah, bukan dipertahankan atau justru dikembangkan. Sayang, hingga saat ini masih banyak parpol yang melakukan cara-cara lama.

Jika fokus parpol pada pembangunan bangsa ini, tentu fokus utama adalah bisa memenuhi keinginan masyarakat. Jika fokus utama parpol masih hanya sesempit kepentingan parpol semata, transformasi pemimpin elitis ke pemimpin merakyat akan gagal. Hasilnya, masyarakat harus menelan pil pahit lagi dipimpin para pemimpin yang elitis atau dilayani, bukan merakyat atau dilayani.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2707 seconds (0.1#10.140)