Ramadan bisnis raya
A
A
A
Antrean panjang mengular pada jejeran kasa di salah satu supermarket di kawasan selatan Jakarta, menjelang Ramadan ini. Fenomena itu juga berlanjut memasuki Ramadan.
Jelas sekali para ibu tengah bersibuk diri membeli keperluan menyambut puasa Ramadan. Mulai sayur segar sampai sayur kalengan, daging segar sampai daging kalengan, dan berliter-liter minyak goreng, sirup serta lainnya, menggunung di atas troli masing-masing. Bukan hanya berupa antrean panjang di supermarket, tren transaksi menyambut Ramadan ini juga menyebar ke media sosial.
Paling mudah ditemui adalah texting nyelonong menawarkan kue kering dan aneka baju muslim untuk Lebaran pada saat bahkan berpuasa saja belum lagi dimulai. Keriuhan sebelum Ramadan tersebut akan terus berlanjut sepanjang bulan. Sudah wajar tampaknya, bahkan lazim terjadi di Indonesia, terutama di Jakarta dan sekitarnya ibu-ibu rumah tangga menyiapkan makanan yang lebih mewah daripada biasanya.
Bahkan di bulan puasa, selalu tersedia kolak pisang atau kolak lainnya sebagai hidangan berbuka puasa. Kelaziman itu menjadi kegiatan rutin yang kemudian membuat Ramadan seakan sebagai bulan berbelanja. Gelombang berbelanja dan arus transaksi akan meningkat bulan ini. Iklan menyambut Ramadan sudah menghiasi berbagai media baik print maupun digital, jauh-jauh hari.
Bahkan, lagu-lagu rohani Islami sudah berkumandang di berbagai pusat pertokoan. Pemerintah juga tak kalah serunya. Dengan mempertimbangkan meningkatnya konsumsi sepanjang Ramadan, berbagai keran impor kebutuhan pokok dibuka lebar-lebar. Hal ini sekaligus dilakukan untuk mengantisipasi meningkatnya harga berbagai kebutuhan pokok setiap menjelang dan selama Ramadan.
Terlebih pada saat ini, kenaikan harga menjadi lebih istimewa setelah pemerintah mengumumkan kenaikan BBM jenis premium dari Rp4.500/liter menjadi Rp6.500/ liter beberapa saat menjelang Ramadan. Tercatat dalam upaya menekan kenaikan harga dan menjaga ketersediaan daging, pemerintah sudah membuka impor daging sapi beku hingga 1.000 ton.
Permintaan daging yang melonjak akan berdampak pada kenaikan harga daging. Dengan impor daging maka diharapkan harganya akan bertahan pada Rp80.000/kg di bulan Ramadan dan Rp75.000/kg setelah Lebaran. Kenyataannya, kurang dari sepekan bulan Ramadan berlangsung, harga daging sudah menembus Rp100.000/kg.
Keran impor bawang merah dan cabai merah serta cabai rawit juga dibuka lebar-lebar. Hampir serupa dengan kasus daging, harga cabai merah segera naik menjadi Rp45.000/kg dari sebelumnya Rp20.000/kg. Beberapa tahun lalu, harga cabe merah bahkan sempat mencapai Rp80.000/kg di bulan Ramadan.
Ekonomisasi Ramadan
Kecenderungan tersebut ditangkap juga oleh Huffington Post yang baru-baru ini menurunkan artikel mengenai gejala peningkatan belanja Ramadan yang terjadi di Amerika Serikat dalam beberapa tahun belakangan ini (edisi 8 Juli 2013). Jumlah kaum muslim di AS yang meningkat dua kali lipat—kini 2,6 juta jiwa— dalam dua dekade terakhir ini menyebabkan konsumsi produk yang berhubungan dengan kebutuhan kaum muslim meningkat, terlebih di bulan Ramadan.
Peningkatan serupa terjadi juga di banyak negara muslim atau negara dengan mayoritas penduduk muslim. Sejauh ini hal tersebut masih dibantah sebagai upaya ekonomisasi Ramadan oleh sejumlah entrepreneur muslim di Amerika Serikat dan negara berpenduduk mayoritas muslim lainnya.
Mereka masih menganggap fakta-fakta yang mengarah pada ekonomisasi dari pelaksanaan Ramadan tersebut sebagai anugerah dalam bulan Ramadan. Terlepas dari debat itu, patut dipikirkan dalam-dalam peran marketing dalam mengemas semua kebutuhan Ramadan dan lebaran yang membuat konsumen tergoda untuk berbelanja.
Perangkap Marketing
Perkembangan teknologi informasi yang terbuka lebar dan melintas batas negara, memberikan pengaruhnya dalam berbagai hal. Termasuk di dalamnya dalam pemasaran produk yang berhubungan dengan kebutuhan Ramadan. Produk dikemas apik dengan pendekatan bahasa yang beragam untuk menyasar target yang juga bervariasi.
Bila tak jeli, konsumen akan terbawa dalam “perangkap marketing”. Huffington Post menyebutkan bahwa dari catatan Pan Arab Research Centre tiga tahun lalu, belanja iklan di Mesir melonjak hingga USD142 juta, atau meningkat tiga kali lipat dibandingkan bulan lain di luar Ramadan pada tahun itu. Paket-paket ziarah ke Tanah Suci pada Ramadan juga banyak dikomunikasikan dan tercatat amat laris.
Padahal, paket Ramadan ini mencapai titik cost tertingginya yang melipatgandakan transaksi yang mengiringinya, mulai biaya transportasi, akomodasi, sampai biaya belanja oleholeh. Walaupun belum dijumpai rilis resmi, secara kasatmata dapat dilihat belanja iklan di Tanah Air juga meningkat pesat selama Ramadan. Iklan produk bernuansa Ramadan bermunculan dalam berbagai media iklan yang ada.
Para pemasang iklan pun merentang lebar jenis bisnisnya, mulai produsen produk konsumsi hingga berbagai yayasan yang mengelola zakat dan sedekah. Semua seakan turun gunung untuk beriklan. Patut diduga bahwa pengalaman beriklan tahun sebelumnya memberikan dampak signifikan terhadap respons pasar atas produk. Akan sangat sayang bila kesempatan untuk merebut pangsa pasar melalui iklan diabaikan begitu saja pada tahun ini dan tahun berikutnya.
Dari sisi konsumen, peningkatan transaksi sejalan dengan peningkatan kebutuhan pada Ramadan dapat dianggap wajar sekaligus tidak. Wajar karena orang merespons Ramadan sebagai sebuah berkah yang disambut gembira. Menjadi tidak wajar dan tidak disarankan karena agama Islam mengajarkan kesederhanaan, termasuk dalam bulan Ramadan.
Selanjutnya, gelombang ekonomisasi ini kelihatannya tidak akan terbendung. Akan terus berjalan seiring dengan semakin terbukanya arus teknologi komunikasi dunia. Bentuk bujukan iklan sebagai upaya pemasaran suatu produk akan terus bermunculan. Diperlukan kebijakan konsumen dalam merespons semua itu.
Dalam konteks Ramadan, konsumen muslim patut mencermatinya dengan seksama sehingga tidak terbawa arus dan menjadi bermegahmegah secara tidak pada tempatnya. Bukankah Islam menghendaki Ramadan sebagai sebuah oase untuk merenungkan makna hidup ini dan bercakapcakap lebih banyak dengan-Nya. Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadan!
SAFRITA AYU HERMAWAN
Praktisi komunikasi dan Marketing
Jelas sekali para ibu tengah bersibuk diri membeli keperluan menyambut puasa Ramadan. Mulai sayur segar sampai sayur kalengan, daging segar sampai daging kalengan, dan berliter-liter minyak goreng, sirup serta lainnya, menggunung di atas troli masing-masing. Bukan hanya berupa antrean panjang di supermarket, tren transaksi menyambut Ramadan ini juga menyebar ke media sosial.
Paling mudah ditemui adalah texting nyelonong menawarkan kue kering dan aneka baju muslim untuk Lebaran pada saat bahkan berpuasa saja belum lagi dimulai. Keriuhan sebelum Ramadan tersebut akan terus berlanjut sepanjang bulan. Sudah wajar tampaknya, bahkan lazim terjadi di Indonesia, terutama di Jakarta dan sekitarnya ibu-ibu rumah tangga menyiapkan makanan yang lebih mewah daripada biasanya.
Bahkan di bulan puasa, selalu tersedia kolak pisang atau kolak lainnya sebagai hidangan berbuka puasa. Kelaziman itu menjadi kegiatan rutin yang kemudian membuat Ramadan seakan sebagai bulan berbelanja. Gelombang berbelanja dan arus transaksi akan meningkat bulan ini. Iklan menyambut Ramadan sudah menghiasi berbagai media baik print maupun digital, jauh-jauh hari.
Bahkan, lagu-lagu rohani Islami sudah berkumandang di berbagai pusat pertokoan. Pemerintah juga tak kalah serunya. Dengan mempertimbangkan meningkatnya konsumsi sepanjang Ramadan, berbagai keran impor kebutuhan pokok dibuka lebar-lebar. Hal ini sekaligus dilakukan untuk mengantisipasi meningkatnya harga berbagai kebutuhan pokok setiap menjelang dan selama Ramadan.
Terlebih pada saat ini, kenaikan harga menjadi lebih istimewa setelah pemerintah mengumumkan kenaikan BBM jenis premium dari Rp4.500/liter menjadi Rp6.500/ liter beberapa saat menjelang Ramadan. Tercatat dalam upaya menekan kenaikan harga dan menjaga ketersediaan daging, pemerintah sudah membuka impor daging sapi beku hingga 1.000 ton.
Permintaan daging yang melonjak akan berdampak pada kenaikan harga daging. Dengan impor daging maka diharapkan harganya akan bertahan pada Rp80.000/kg di bulan Ramadan dan Rp75.000/kg setelah Lebaran. Kenyataannya, kurang dari sepekan bulan Ramadan berlangsung, harga daging sudah menembus Rp100.000/kg.
Keran impor bawang merah dan cabai merah serta cabai rawit juga dibuka lebar-lebar. Hampir serupa dengan kasus daging, harga cabai merah segera naik menjadi Rp45.000/kg dari sebelumnya Rp20.000/kg. Beberapa tahun lalu, harga cabe merah bahkan sempat mencapai Rp80.000/kg di bulan Ramadan.
Ekonomisasi Ramadan
Kecenderungan tersebut ditangkap juga oleh Huffington Post yang baru-baru ini menurunkan artikel mengenai gejala peningkatan belanja Ramadan yang terjadi di Amerika Serikat dalam beberapa tahun belakangan ini (edisi 8 Juli 2013). Jumlah kaum muslim di AS yang meningkat dua kali lipat—kini 2,6 juta jiwa— dalam dua dekade terakhir ini menyebabkan konsumsi produk yang berhubungan dengan kebutuhan kaum muslim meningkat, terlebih di bulan Ramadan.
Peningkatan serupa terjadi juga di banyak negara muslim atau negara dengan mayoritas penduduk muslim. Sejauh ini hal tersebut masih dibantah sebagai upaya ekonomisasi Ramadan oleh sejumlah entrepreneur muslim di Amerika Serikat dan negara berpenduduk mayoritas muslim lainnya.
Mereka masih menganggap fakta-fakta yang mengarah pada ekonomisasi dari pelaksanaan Ramadan tersebut sebagai anugerah dalam bulan Ramadan. Terlepas dari debat itu, patut dipikirkan dalam-dalam peran marketing dalam mengemas semua kebutuhan Ramadan dan lebaran yang membuat konsumen tergoda untuk berbelanja.
Perangkap Marketing
Perkembangan teknologi informasi yang terbuka lebar dan melintas batas negara, memberikan pengaruhnya dalam berbagai hal. Termasuk di dalamnya dalam pemasaran produk yang berhubungan dengan kebutuhan Ramadan. Produk dikemas apik dengan pendekatan bahasa yang beragam untuk menyasar target yang juga bervariasi.
Bila tak jeli, konsumen akan terbawa dalam “perangkap marketing”. Huffington Post menyebutkan bahwa dari catatan Pan Arab Research Centre tiga tahun lalu, belanja iklan di Mesir melonjak hingga USD142 juta, atau meningkat tiga kali lipat dibandingkan bulan lain di luar Ramadan pada tahun itu. Paket-paket ziarah ke Tanah Suci pada Ramadan juga banyak dikomunikasikan dan tercatat amat laris.
Padahal, paket Ramadan ini mencapai titik cost tertingginya yang melipatgandakan transaksi yang mengiringinya, mulai biaya transportasi, akomodasi, sampai biaya belanja oleholeh. Walaupun belum dijumpai rilis resmi, secara kasatmata dapat dilihat belanja iklan di Tanah Air juga meningkat pesat selama Ramadan. Iklan produk bernuansa Ramadan bermunculan dalam berbagai media iklan yang ada.
Para pemasang iklan pun merentang lebar jenis bisnisnya, mulai produsen produk konsumsi hingga berbagai yayasan yang mengelola zakat dan sedekah. Semua seakan turun gunung untuk beriklan. Patut diduga bahwa pengalaman beriklan tahun sebelumnya memberikan dampak signifikan terhadap respons pasar atas produk. Akan sangat sayang bila kesempatan untuk merebut pangsa pasar melalui iklan diabaikan begitu saja pada tahun ini dan tahun berikutnya.
Dari sisi konsumen, peningkatan transaksi sejalan dengan peningkatan kebutuhan pada Ramadan dapat dianggap wajar sekaligus tidak. Wajar karena orang merespons Ramadan sebagai sebuah berkah yang disambut gembira. Menjadi tidak wajar dan tidak disarankan karena agama Islam mengajarkan kesederhanaan, termasuk dalam bulan Ramadan.
Selanjutnya, gelombang ekonomisasi ini kelihatannya tidak akan terbendung. Akan terus berjalan seiring dengan semakin terbukanya arus teknologi komunikasi dunia. Bentuk bujukan iklan sebagai upaya pemasaran suatu produk akan terus bermunculan. Diperlukan kebijakan konsumen dalam merespons semua itu.
Dalam konteks Ramadan, konsumen muslim patut mencermatinya dengan seksama sehingga tidak terbawa arus dan menjadi bermegahmegah secara tidak pada tempatnya. Bukankah Islam menghendaki Ramadan sebagai sebuah oase untuk merenungkan makna hidup ini dan bercakapcakap lebih banyak dengan-Nya. Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadan!
SAFRITA AYU HERMAWAN
Praktisi komunikasi dan Marketing
(nfl)