Kenapa Jerman tahan resesi?
A
A
A
Ketika penulis naik kendaraan dari Amsterdam ke Koln bulan Maret lalu, salah satu yang terlintas dalam pikiran adalah kenapa Jerman ekonominya begitu kokoh?
Karena kendaraan dibawa oleh Dr Hili Cordes, seorang antropolog Indonesianis, diskusi kami tidak terlalu bersemangat. Soalnya dia lebih suka membahas kebudayaan Indonesia dan tidak begitu tertarik dengan diskusi ekonomi Jerman, apalagi bicara tentang ras Arya, ras Jerman yang menghargai orang-orang yang berilmu. Sesampainya di Koln, penulis menginap di rumah keluarganya danlangsung dikenalkan dengan suaminya, Prof Otto Jockel.
Belakangan diketahui ternyata beliau seorang pimpinan sebuah perguruan tinggi swasta di Jerman, guru besar di bidang logistic management. “Would you like a cup of coffee?” Baru saja penulis sampai di rumahnya, dia langsung memberikan sambutan. Ternyata tawaran yang begitu menggiurkan karena minum kopi adalah salah satu kenikmatan dunia, apalagi bagi para pecandunya. Dihirup sedikit-sedikit sampai habis, begitu nikmatnya. Singkat cerita, sambil minum kopi, kami ternyata memiliki kecocokan dalam berdiskusi. Sama-sama berlanjut untuk menjawab pertanyaan kenapa Jerman ekonominya begitu tangguh?
Indikator Ekonomi Makro
Ketika negara-negara zona Europada umumnya mengalami laju pertumbuhan ekonomi negatif, Jerman masih dapat bertahan ekonominya, tumbuh pada kisaran 1% sampai 2%. Sementara tiga negara terberat, Yunani, Italia, dan Spanyol, pertumbuhan ekonominya bisa -2% sampai -6%. Padahal dalam sejarah sebelum krisis, negara-negara Euro pada umumnya memiliki perekonomian yang sehat.
Tidak saja pertumbuhan ekonomi Jerman positif, berbagai indikator makro lainnya pun menunjukkan tanda yang tidak terlalu merisaukan. Sebutlah angka pengangguran terbuka dapat ditekan sebesar 6,9%. Padahal di negara Euro, rata-rata angka pengangguran terbuka sudah mencapai 12,2%. Tiga negara yang paling berat mengalami krisis ekonomi memiliki angka pengangguran tinggi seperti Spanyol (26,8%), Yunani (26,8%), dan Italia (12,0%).
Tingkat suku bunga berlaku setinggi 1,77%, setinggi rata-rata suku bunga Euro dengan tingkat inflasi tahunan sekitar 1,7%, artinya margin suku bunga riil ditawarkan sebesar 0,07%. Sementara di tiga negara yang dilanda krisis terberat atas suku bunganya berkisar 5–11% (The Economist, Juni–Juli 2013). Penampilan ekonomi makro Jerman sedemikian rupa sangat memukau, saat bersamaan banyak keluhan dan kekhawatiran akan dampak domino dari pertumbuhan ekonomi yang rendah di Eropa terhadap negara-negara di kawasan Eropa, apalagi ke negara-negara partner dagang seperti Indonesia, China, dan India.
Dampak resesi itu secara spesifik memang ada, khususnya bilamana produk-produk raw material yang diperlukan permintaan impornya justru mengalami penurunan. Namun, apa yang menjadi faktor kunci dari Jerman masih dapat bertahan menjadi negara yang kuat, sekuat klub sepak bola Bayern Munchen atau Tim Panser Jerman yang para pemainnya tinggi dan besar? Pertanyaan itu tidak mudah untuk dijawab.
Fokus Ekonomi
Tampaknya salah satu faktor penting ditemukan titik terangnya, bahwa Jerman memang telah menjadi negara industri maju dengan teknologi tinggi. Sebagaimana negara lain diEropa, pilihan-pilihan Jerman terhadap produk yang spesifik menjadi kekuatan utama sehingga telah menjadikan negara ini begitu perkasa.
Sebutlah empat mobil bermerek yang masuk ke dalam kelompok kendaraan mewah, antara lain BMW, Audi, VW, dan Mercedez Benz, kesemuanya merupakan buatan Jerman sebagai produk yang tidak sama dengan keluaran Fiat produk Italia atau Peugeot produk Prancis. Produk-produk kendaraan yang berasal dari Italia atau Prancis masih banyak permintaan domestiknya, tetapi karena produk itu kalah bersaing dengan produk kendaraan Jerman, ketika pertumbuhan ekonomi Asia Timur membaik, seperti Thailand, Malaysia, India,
China, dan Indonesia, mobil-mobil mewah demikian memiliki elastisitas permintaan positif terhadap harga (barang luks). Bahkan semakin meningkat harga mobil itu, permintaan akan mobil naik. Fenomena ini merupakan pembalikan dari berbagai komoditas industri yang inelastis terhadap kenaikan harga. Artinya, biasanya sedikit saja harga naik, permintaan akan komoditas itu menurun melebihi laju kenaikan harga. Selain kuat di bidang automotif,
Jerman juga sangat menguasai teknologi kefarmasian. Akhir-akhir ini teknologi obat-obatan telah menghasilkan produk obat yang juga sangat luas pasarnya di negara berkembang seperti dikemukakan sebelumnya. Baik industri farmasi maupun kendaraan membuat Jerman tampaknya telah tepat memilih fokus masa depan industrialisasinya dibandingkan dengan negara lain yang samar-samar tidak secara kuat memberikan karakter terhadap produk manufakturnya.
Kekhususan dari ekonomi Jerman akhirnya adalah disebabkan pilihan research & development mereka yang ditetapkan menjadi kekuatan Jerman. Riset-riset diperguruan tinggi terkait dengan penciptaan produk yang sangat tinggi mutunya. Ketika resesi, produk yang mahal dan memiliki tingkat competitiveness tinggi tentunya akan masih memiliki pangsa pasar yang baik. Pelajaran yang berarti dari Jerman mengingatkan kita kepada Indonesia. Saat sekarang Indonesia telah menjadi negara berpendapatan menengah.
Akan tetapi tentunya kita belum memiliki penciri khusus, baik manufaktur maupun produk-produk hilir yang ada. Ketika kita dihadapkan pada persoalan daya saing, secara kompetitif tentunya masih banyak masalah yang perlu diurai dan diselesaikan satu per satu. Masalah competitiveness pada skala mikro antara lain fokus industri yang belum jelas, lingkungan bisnis yang masih bermasalah, dan inovasi yang rendah. Sementara pada skala makro, kita masih tertinggal dalam hal infrastruktur.
Biaya transportasi yang mahal akibat dari infrastruktur yang buruk pun bisa membawa tambahan biaya sampai 14% dari komponen total biaya. Padahal kalau infrastruktur baik, ongkosnya bisa ditekan komponennya menjadi 4%. Pelajaran yang berarti dari Jerman membuat negara kita perlu pula menyusun daftar pilihan produk yang menjadi visi manufaktur ke depan. Jika tanpa pilihan yang jeli, dengan fokus untuk mengatasi daya saing pada skala mikro dan makro, ketika terjadi resesi di Asia suatu saat kelak, Indonesia diperkirakan akan menghadapinya mirip dengan negara-negara Euro yang sekarang dilanda resesi.
Tidak seperti Jerman. Akhirnya kami sepakat untuk saling menutup diskusi sampai larut malam, bahwa Jerman dapat terhindar dari krisis karena telah membuat fokus produk manufakturnya, teknologi yang membuat tidak saja efisien, tetapi juga mutu yang membuat mereka menjadi raja yang tahan dari resesi.
ELFINDRI
Guru Besar Ekonomi SDM dan
Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi
Universitas Andalas (Unand) Padang
Karena kendaraan dibawa oleh Dr Hili Cordes, seorang antropolog Indonesianis, diskusi kami tidak terlalu bersemangat. Soalnya dia lebih suka membahas kebudayaan Indonesia dan tidak begitu tertarik dengan diskusi ekonomi Jerman, apalagi bicara tentang ras Arya, ras Jerman yang menghargai orang-orang yang berilmu. Sesampainya di Koln, penulis menginap di rumah keluarganya danlangsung dikenalkan dengan suaminya, Prof Otto Jockel.
Belakangan diketahui ternyata beliau seorang pimpinan sebuah perguruan tinggi swasta di Jerman, guru besar di bidang logistic management. “Would you like a cup of coffee?” Baru saja penulis sampai di rumahnya, dia langsung memberikan sambutan. Ternyata tawaran yang begitu menggiurkan karena minum kopi adalah salah satu kenikmatan dunia, apalagi bagi para pecandunya. Dihirup sedikit-sedikit sampai habis, begitu nikmatnya. Singkat cerita, sambil minum kopi, kami ternyata memiliki kecocokan dalam berdiskusi. Sama-sama berlanjut untuk menjawab pertanyaan kenapa Jerman ekonominya begitu tangguh?
Indikator Ekonomi Makro
Ketika negara-negara zona Europada umumnya mengalami laju pertumbuhan ekonomi negatif, Jerman masih dapat bertahan ekonominya, tumbuh pada kisaran 1% sampai 2%. Sementara tiga negara terberat, Yunani, Italia, dan Spanyol, pertumbuhan ekonominya bisa -2% sampai -6%. Padahal dalam sejarah sebelum krisis, negara-negara Euro pada umumnya memiliki perekonomian yang sehat.
Tidak saja pertumbuhan ekonomi Jerman positif, berbagai indikator makro lainnya pun menunjukkan tanda yang tidak terlalu merisaukan. Sebutlah angka pengangguran terbuka dapat ditekan sebesar 6,9%. Padahal di negara Euro, rata-rata angka pengangguran terbuka sudah mencapai 12,2%. Tiga negara yang paling berat mengalami krisis ekonomi memiliki angka pengangguran tinggi seperti Spanyol (26,8%), Yunani (26,8%), dan Italia (12,0%).
Tingkat suku bunga berlaku setinggi 1,77%, setinggi rata-rata suku bunga Euro dengan tingkat inflasi tahunan sekitar 1,7%, artinya margin suku bunga riil ditawarkan sebesar 0,07%. Sementara di tiga negara yang dilanda krisis terberat atas suku bunganya berkisar 5–11% (The Economist, Juni–Juli 2013). Penampilan ekonomi makro Jerman sedemikian rupa sangat memukau, saat bersamaan banyak keluhan dan kekhawatiran akan dampak domino dari pertumbuhan ekonomi yang rendah di Eropa terhadap negara-negara di kawasan Eropa, apalagi ke negara-negara partner dagang seperti Indonesia, China, dan India.
Dampak resesi itu secara spesifik memang ada, khususnya bilamana produk-produk raw material yang diperlukan permintaan impornya justru mengalami penurunan. Namun, apa yang menjadi faktor kunci dari Jerman masih dapat bertahan menjadi negara yang kuat, sekuat klub sepak bola Bayern Munchen atau Tim Panser Jerman yang para pemainnya tinggi dan besar? Pertanyaan itu tidak mudah untuk dijawab.
Fokus Ekonomi
Tampaknya salah satu faktor penting ditemukan titik terangnya, bahwa Jerman memang telah menjadi negara industri maju dengan teknologi tinggi. Sebagaimana negara lain diEropa, pilihan-pilihan Jerman terhadap produk yang spesifik menjadi kekuatan utama sehingga telah menjadikan negara ini begitu perkasa.
Sebutlah empat mobil bermerek yang masuk ke dalam kelompok kendaraan mewah, antara lain BMW, Audi, VW, dan Mercedez Benz, kesemuanya merupakan buatan Jerman sebagai produk yang tidak sama dengan keluaran Fiat produk Italia atau Peugeot produk Prancis. Produk-produk kendaraan yang berasal dari Italia atau Prancis masih banyak permintaan domestiknya, tetapi karena produk itu kalah bersaing dengan produk kendaraan Jerman, ketika pertumbuhan ekonomi Asia Timur membaik, seperti Thailand, Malaysia, India,
China, dan Indonesia, mobil-mobil mewah demikian memiliki elastisitas permintaan positif terhadap harga (barang luks). Bahkan semakin meningkat harga mobil itu, permintaan akan mobil naik. Fenomena ini merupakan pembalikan dari berbagai komoditas industri yang inelastis terhadap kenaikan harga. Artinya, biasanya sedikit saja harga naik, permintaan akan komoditas itu menurun melebihi laju kenaikan harga. Selain kuat di bidang automotif,
Jerman juga sangat menguasai teknologi kefarmasian. Akhir-akhir ini teknologi obat-obatan telah menghasilkan produk obat yang juga sangat luas pasarnya di negara berkembang seperti dikemukakan sebelumnya. Baik industri farmasi maupun kendaraan membuat Jerman tampaknya telah tepat memilih fokus masa depan industrialisasinya dibandingkan dengan negara lain yang samar-samar tidak secara kuat memberikan karakter terhadap produk manufakturnya.
Kekhususan dari ekonomi Jerman akhirnya adalah disebabkan pilihan research & development mereka yang ditetapkan menjadi kekuatan Jerman. Riset-riset diperguruan tinggi terkait dengan penciptaan produk yang sangat tinggi mutunya. Ketika resesi, produk yang mahal dan memiliki tingkat competitiveness tinggi tentunya akan masih memiliki pangsa pasar yang baik. Pelajaran yang berarti dari Jerman mengingatkan kita kepada Indonesia. Saat sekarang Indonesia telah menjadi negara berpendapatan menengah.
Akan tetapi tentunya kita belum memiliki penciri khusus, baik manufaktur maupun produk-produk hilir yang ada. Ketika kita dihadapkan pada persoalan daya saing, secara kompetitif tentunya masih banyak masalah yang perlu diurai dan diselesaikan satu per satu. Masalah competitiveness pada skala mikro antara lain fokus industri yang belum jelas, lingkungan bisnis yang masih bermasalah, dan inovasi yang rendah. Sementara pada skala makro, kita masih tertinggal dalam hal infrastruktur.
Biaya transportasi yang mahal akibat dari infrastruktur yang buruk pun bisa membawa tambahan biaya sampai 14% dari komponen total biaya. Padahal kalau infrastruktur baik, ongkosnya bisa ditekan komponennya menjadi 4%. Pelajaran yang berarti dari Jerman membuat negara kita perlu pula menyusun daftar pilihan produk yang menjadi visi manufaktur ke depan. Jika tanpa pilihan yang jeli, dengan fokus untuk mengatasi daya saing pada skala mikro dan makro, ketika terjadi resesi di Asia suatu saat kelak, Indonesia diperkirakan akan menghadapinya mirip dengan negara-negara Euro yang sekarang dilanda resesi.
Tidak seperti Jerman. Akhirnya kami sepakat untuk saling menutup diskusi sampai larut malam, bahwa Jerman dapat terhindar dari krisis karena telah membuat fokus produk manufakturnya, teknologi yang membuat tidak saja efisien, tetapi juga mutu yang membuat mereka menjadi raja yang tahan dari resesi.
ELFINDRI
Guru Besar Ekonomi SDM dan
Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi
Universitas Andalas (Unand) Padang
(hyk)