Daya saing rendah perlu terobosan
A
A
A
Pertumbuhan ekonomi nasional yang terus membaik ternyata belum berkorelasi langsung dengan peningkatan daya saing Indonesia. Fakta yang dirilis versi World Economic Forum (WEF) dalam laporan yang bertajuk The Global Competitiveness Index 2012–2013, peringkat daya saing Indonesia melorot empat level dengan skor 4,4 dari posisi ke-46 pada tahun sebelumnya, ke posisi 50.
Dengan demikian, posisi daya saing Indonesia makin tertinggal dibandingkan dengan Thailand yang menempati posisi 38 dengan skor 4,52, posisi tersebut naik satu level dan Malaysia pada urutan ke-25 yang terkoreksi empat level dari tahun sebelumnya. Posisi daya saing yang semakin jauh dari harapan setidaknya bisa bersaing dengan Thailand dan Malaysia memang cukup mengecewakan.
Pasalnya, selama ini posisi pertumbuhan ekonomi nasional selalu dibanggakan sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil dalam empat tahun belakangan ini, yang penuh rintangan “melawan” dampak krisis ekonomi global yang kini menjungkalkan sejumlah negara di kawasan Eropa. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang stabil telah melahirkan jutaan kelas menengah di Indonesia setiap tahun.
Melemahnya daya saing ditengarai akibat ketidakmampuan pemerintah secara maksimal meminimalisasi tiga masalah, yakni persoalan birokrasi, keterbatasan infrastruktur, dan penegakan hukum, termasuk persoalan korupsi dan pungutan liar yang sangat tidak bersahabat dengan dunia usaha. Dalam catatan WEF, kendala keterbatasan infrastruktur memang sedikit mulai terurai, namun belum mampu mendongkrak pertumbuhan daya saing.
Memang, pemerintah tidak tinggal diam untuk memperbaiki daya saing negeri ini. Salah satunya melalui kebijakan anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) akan dialihkan untuk memperbaiki infrastruktur. Janji pemerintah untuk fokus membenahi infrastruktur tidak boleh meleset lagi kalau ingin menyaksikan level daya saing negeri ini berotot. Pasalnya, pengalaman sering kali menunjukkan antara kebijakan dan implementasi lapangan kerap tidak seiring, karena tereliminasi sejumlah kepentingan yang ada dalam lingkaran kekuasaan.
Contoh paling anyar adalah kebijakan pembangunan jembatan Selat Sunda yang tarik-ulur dan kini terancam bubar. Padahal, pihak swasta yang diharapkan berpartisipasi membiayai pembangunan infrastruktur dalam hal ini jembatan Selat Sunda, dengan alasan anggaran pemerintah terbatas sudah siap sepenuhnya dengan menggandeng pemerintah daerah. Masih banyak contoh lain di mana kebijakan pemerintah yang sering kontradiktif, apalagi kalau mengaitkan kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang banyak tidak sejalan.
Tiga persoalan yang menjadi sumbat untuk menggenjot level daya saing tersebut sebenarnya bukanlah hal baru. Hampir setiap saat para pengusaha yang terhimpun dalam wadah Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia meneriakkan masalah tersebut. Kini yang menjadi kekhawatiran, mampukah Indonesia berperan dalam masyarakat ekonomi ASEAN yang akan diberlakukan dua tahun ke depan dengan posisi daya saing yang masih rendah?
Kondisi tersebut makin runyam bila dikaitkan dengan posisi Neraca Perdagangan Indonesia (NPI) yang terus mencatat defisit. Data terbaru yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), NPI mengalami defisit sebesar USD590,4 juta di mana nilai impor tercatat sebesar USD16,66 miliar dan nilai ekspor sekitar USD16,07 miliar pada Mei lalu.
Bila membandingkan angka impor pada periode yang sama tahun lalu memang terjadi penurunan sekitar 2,19%, namun penurunan pada angka ekspor jauh lebih dalam sekitar 4,49%. Dalam rentang Januari hingga Mei 2013, total defisit NPI tercatat USD2,53 miliar. Jadi, perlu antisipasi dini jangan sampai bangsa ini hanya berperan menjadi pasar potensial dalam masyarakat ekonomi ASEAN.
Dengan demikian, posisi daya saing Indonesia makin tertinggal dibandingkan dengan Thailand yang menempati posisi 38 dengan skor 4,52, posisi tersebut naik satu level dan Malaysia pada urutan ke-25 yang terkoreksi empat level dari tahun sebelumnya. Posisi daya saing yang semakin jauh dari harapan setidaknya bisa bersaing dengan Thailand dan Malaysia memang cukup mengecewakan.
Pasalnya, selama ini posisi pertumbuhan ekonomi nasional selalu dibanggakan sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil dalam empat tahun belakangan ini, yang penuh rintangan “melawan” dampak krisis ekonomi global yang kini menjungkalkan sejumlah negara di kawasan Eropa. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang stabil telah melahirkan jutaan kelas menengah di Indonesia setiap tahun.
Melemahnya daya saing ditengarai akibat ketidakmampuan pemerintah secara maksimal meminimalisasi tiga masalah, yakni persoalan birokrasi, keterbatasan infrastruktur, dan penegakan hukum, termasuk persoalan korupsi dan pungutan liar yang sangat tidak bersahabat dengan dunia usaha. Dalam catatan WEF, kendala keterbatasan infrastruktur memang sedikit mulai terurai, namun belum mampu mendongkrak pertumbuhan daya saing.
Memang, pemerintah tidak tinggal diam untuk memperbaiki daya saing negeri ini. Salah satunya melalui kebijakan anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) akan dialihkan untuk memperbaiki infrastruktur. Janji pemerintah untuk fokus membenahi infrastruktur tidak boleh meleset lagi kalau ingin menyaksikan level daya saing negeri ini berotot. Pasalnya, pengalaman sering kali menunjukkan antara kebijakan dan implementasi lapangan kerap tidak seiring, karena tereliminasi sejumlah kepentingan yang ada dalam lingkaran kekuasaan.
Contoh paling anyar adalah kebijakan pembangunan jembatan Selat Sunda yang tarik-ulur dan kini terancam bubar. Padahal, pihak swasta yang diharapkan berpartisipasi membiayai pembangunan infrastruktur dalam hal ini jembatan Selat Sunda, dengan alasan anggaran pemerintah terbatas sudah siap sepenuhnya dengan menggandeng pemerintah daerah. Masih banyak contoh lain di mana kebijakan pemerintah yang sering kontradiktif, apalagi kalau mengaitkan kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang banyak tidak sejalan.
Tiga persoalan yang menjadi sumbat untuk menggenjot level daya saing tersebut sebenarnya bukanlah hal baru. Hampir setiap saat para pengusaha yang terhimpun dalam wadah Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia meneriakkan masalah tersebut. Kini yang menjadi kekhawatiran, mampukah Indonesia berperan dalam masyarakat ekonomi ASEAN yang akan diberlakukan dua tahun ke depan dengan posisi daya saing yang masih rendah?
Kondisi tersebut makin runyam bila dikaitkan dengan posisi Neraca Perdagangan Indonesia (NPI) yang terus mencatat defisit. Data terbaru yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), NPI mengalami defisit sebesar USD590,4 juta di mana nilai impor tercatat sebesar USD16,66 miliar dan nilai ekspor sekitar USD16,07 miliar pada Mei lalu.
Bila membandingkan angka impor pada periode yang sama tahun lalu memang terjadi penurunan sekitar 2,19%, namun penurunan pada angka ekspor jauh lebih dalam sekitar 4,49%. Dalam rentang Januari hingga Mei 2013, total defisit NPI tercatat USD2,53 miliar. Jadi, perlu antisipasi dini jangan sampai bangsa ini hanya berperan menjadi pasar potensial dalam masyarakat ekonomi ASEAN.
(hyk)