Belajar dari China
A
A
A
Republik Rakyat China kembali mencatatkan sejarah mengagumkan. Yang teranyar, tiga astronotnya––Zhang Xiaoguang, Nie Haisheng, dan Wang Yaping––berhasil menempatkan mereka sebagai sedikit manusia yang tinggal di luar angkasa.
Walaupun mereka bukan orang China pertama yang melakukan hal tersebut, keberhasilan mereka tinggal di laboratorium eksperimen antariksa Tiangong-1 selama 15 hari menunjukkan perkembangan yang luar biasa pada penguasaan teknologi luar angkasa negeri tirai bambu tersebut. Betapa tidak. Keberhasilan China menempatkan astronotnya di luar angkasa adalah terobosan teknologi yang biasa, yang selama ini menjadi monopoli negara adidaya Amerika Serikat, Rusia, dan Eropa.
Negeri Tirai Bambu itu pun sudah mengirimkan pesan, bahwa tujuh tahun lagi Tiangong sudah bermetamorfosis menjadi seperti Mir 2 Rusia, Freedom (Amerika Serikat), dan Columbus (Eropa). Dari kacamata China, ambisi untuk membangun stasiun luar angkasa permanen memang menunjukkan ambisi China menempatkan diri sebagai negara adidaya sesungguhnya.
China pun patut membusungkan dada di depan Amerika Serikat, Rusia, dan Eropa, karena selama ini ada kesan untuk meminggirkannya. Ini bisa dilihat dari tidak diikutkannya China dalam proyek Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) yang melibatkan 16 negara––termasuk di dalamnya Kanada, Brasil, dan Jepang, karena dihadang Amerika dengan alasan program ruang angkasa itu diduga dipakai kepentingan militernya.
Lantas, apa yang bisa dilihat Indonesia dari sukses China tersebut? Bagi negeri ini, dunia luar angkasa sebenarnya bukanlah barang baru, karena Indonesia sudah mengenal satelit, yakni satelit Palapa, pada 1976. Bahkan pada 1985, Indonesia hampir saja menerbangkan astronot pertamanya, Pratiwi Soedarmono, bergabung dalam misi NASA. Namun, rencana tersebut gagal setelah musibah meledaknya pesawat ulang alik Challenger.
Akan tetapi, apa yang ditunjukkan Indonesia adalah stagnasi. Bandingkan dengan China. Sejak pertama mengirimkan astronot ke luar angkasa pada 2003, lima tahun kemudian China berhasil mengirim pesawat luar angkasa. Hingga kini China telah sukses mengirim 11 orang astronot, termasuk dua wanita, dalam lima misi pesawat antariksa berawak. Indonesia saat ini mempunyai momentum untuk bisa menempatkan diri sebagai pemain luar angkasa.
Ini terkait dengan rencana Lapan meluncurkan roket RX-450 yang diharapkan bisa membawa satelit buatan anak bangsa, Satelit LAPAN A-2. Tentu program ini jangan berhenti sekadar wacana, tapi harus benar-benar diwujudkan. Program ini harus bisa menjadi batu pijakan untuk meniru jejak China. Kuncinya tentu konsistensi dukungan pemerintah. Selain butuh membutuhkan kemampuan iptek, penguasaan teknologi luar angkasa sudah pasti butuh dana yang besar.
Tapi jika melihat makna strategis pada persaingan ekonomi dan militer, penguasaan teknologi luar angkasa adalah investasi yang sangat dibutuhkan. Dari sisi militer, misalnya, keberadaan stasiun luar angkasa akan menjadi mata dan telinga, sekaligus bisa menjadi bagian sistem pengendali persenjataan. Lebih dari itu, hal tersebut akan menjadi investasi untuk generasi masa depan bangsa.
Bayangkan, apa yang tertanam di benak 60 juta pelajar dan guru di China saat mereka mengikuti secara live pengajaran yang diberikan astronot wanita Wang Yaping dari luar angkasa. Para guru pasti akan lebih mudah untuk memberikan motivasi kepada para pelajar akan pentingnya menuntut ilmu. Sebaliknya, para pelajar akan terinspirasi untuk mengejar cita-cita setinggi luar angkasa, seperti ditunjukkan pendahulu mereka.
Sekilas terlalu muluk bermimpi untuk mencapai apa yang telah diraih China hari ini. Namun, bukan berarti mimpi itu mustahil terwujud. “Keep your dreams alive. Understand to achieve anything requires faith and belief in yourself, vision, hardwork, determination, and dedication. Remember all things are possible for those who believe,” demikian kata Gail Devers, juara dunia dan olimpiade dari Amerika Serikat yang berhasil bangkit setelah divonis penyakit aneh.
Walaupun mereka bukan orang China pertama yang melakukan hal tersebut, keberhasilan mereka tinggal di laboratorium eksperimen antariksa Tiangong-1 selama 15 hari menunjukkan perkembangan yang luar biasa pada penguasaan teknologi luar angkasa negeri tirai bambu tersebut. Betapa tidak. Keberhasilan China menempatkan astronotnya di luar angkasa adalah terobosan teknologi yang biasa, yang selama ini menjadi monopoli negara adidaya Amerika Serikat, Rusia, dan Eropa.
Negeri Tirai Bambu itu pun sudah mengirimkan pesan, bahwa tujuh tahun lagi Tiangong sudah bermetamorfosis menjadi seperti Mir 2 Rusia, Freedom (Amerika Serikat), dan Columbus (Eropa). Dari kacamata China, ambisi untuk membangun stasiun luar angkasa permanen memang menunjukkan ambisi China menempatkan diri sebagai negara adidaya sesungguhnya.
China pun patut membusungkan dada di depan Amerika Serikat, Rusia, dan Eropa, karena selama ini ada kesan untuk meminggirkannya. Ini bisa dilihat dari tidak diikutkannya China dalam proyek Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) yang melibatkan 16 negara––termasuk di dalamnya Kanada, Brasil, dan Jepang, karena dihadang Amerika dengan alasan program ruang angkasa itu diduga dipakai kepentingan militernya.
Lantas, apa yang bisa dilihat Indonesia dari sukses China tersebut? Bagi negeri ini, dunia luar angkasa sebenarnya bukanlah barang baru, karena Indonesia sudah mengenal satelit, yakni satelit Palapa, pada 1976. Bahkan pada 1985, Indonesia hampir saja menerbangkan astronot pertamanya, Pratiwi Soedarmono, bergabung dalam misi NASA. Namun, rencana tersebut gagal setelah musibah meledaknya pesawat ulang alik Challenger.
Akan tetapi, apa yang ditunjukkan Indonesia adalah stagnasi. Bandingkan dengan China. Sejak pertama mengirimkan astronot ke luar angkasa pada 2003, lima tahun kemudian China berhasil mengirim pesawat luar angkasa. Hingga kini China telah sukses mengirim 11 orang astronot, termasuk dua wanita, dalam lima misi pesawat antariksa berawak. Indonesia saat ini mempunyai momentum untuk bisa menempatkan diri sebagai pemain luar angkasa.
Ini terkait dengan rencana Lapan meluncurkan roket RX-450 yang diharapkan bisa membawa satelit buatan anak bangsa, Satelit LAPAN A-2. Tentu program ini jangan berhenti sekadar wacana, tapi harus benar-benar diwujudkan. Program ini harus bisa menjadi batu pijakan untuk meniru jejak China. Kuncinya tentu konsistensi dukungan pemerintah. Selain butuh membutuhkan kemampuan iptek, penguasaan teknologi luar angkasa sudah pasti butuh dana yang besar.
Tapi jika melihat makna strategis pada persaingan ekonomi dan militer, penguasaan teknologi luar angkasa adalah investasi yang sangat dibutuhkan. Dari sisi militer, misalnya, keberadaan stasiun luar angkasa akan menjadi mata dan telinga, sekaligus bisa menjadi bagian sistem pengendali persenjataan. Lebih dari itu, hal tersebut akan menjadi investasi untuk generasi masa depan bangsa.
Bayangkan, apa yang tertanam di benak 60 juta pelajar dan guru di China saat mereka mengikuti secara live pengajaran yang diberikan astronot wanita Wang Yaping dari luar angkasa. Para guru pasti akan lebih mudah untuk memberikan motivasi kepada para pelajar akan pentingnya menuntut ilmu. Sebaliknya, para pelajar akan terinspirasi untuk mengejar cita-cita setinggi luar angkasa, seperti ditunjukkan pendahulu mereka.
Sekilas terlalu muluk bermimpi untuk mencapai apa yang telah diraih China hari ini. Namun, bukan berarti mimpi itu mustahil terwujud. “Keep your dreams alive. Understand to achieve anything requires faith and belief in yourself, vision, hardwork, determination, and dedication. Remember all things are possible for those who believe,” demikian kata Gail Devers, juara dunia dan olimpiade dari Amerika Serikat yang berhasil bangkit setelah divonis penyakit aneh.
(hyk)