Kompensasi BBM jadi instrumen politik partai penguasa
A
A
A
Sindonews.com - Pakar Komunikasi Politik Universitas Mercu Buana Jakarta, Heri Budianto mengatakan, lambannya keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) membuat gonjang-ganjing politik dan ekonomi tak terelakkan. Karena itu, pemerintah harus bertanggungjawab atas situasi politik dan ekonomi yang terjadi saat ini terkait rencana kenaikan harga BBM.
"Padahal domain untuk menaikkan harga BBM adalah domain pemerintah. Namun, pemerintah ragu untuk melaksanakan ini. Ekses politik tidak terelakkan tak kala keraguan pemerintah tersebut datang," ujarnya kepada Sindonews, Selasa (18/6/2013).
Tak pelak, lanjut dia, hal itu dimanfaatkan partai-partai untuk memainkan strategi politik yang kemudian terbelah pada dua opsi menerima dan menolak kenaikan harga BBM. Ia menilai, pemerintah juga tidak memiliki program yang jelas terkait penanganan masalah BBM.
"Kondisi yang tidak terprogram, dan instan ini tentu memicu konstalasi politik terkait BBM. Bukan hanya itu masalah ekonomi juga terkena ekses," kata Heri.
Ia menjelaskan, situasi dimana terjadi gelombang aksi penolakan kenaikan harga di beberapa daerah merupakan realitas nyata akibat lamban-nya pengambilan keputusan. Persoalan kenaikan harga BBM ini bukan kali ini terjadi, dan setiap akan dieksekusi selalu menimbulkan ekses sosial, politik, dan ekonomi.
"Saya memberikan solusi, mestinya pemerintah mempunyai strategi program yang jelas bisa dalam jangka menengah dan panjang (3-5) tahun untuk menaikkan harga BBM. Dengan hitung-hitungan kenaikan yang terukur, misalnya berapa persen kenaikan itu pertahun, sampai 3-5 tahun," paparnya.
Sehingga, masyarakat lebih siap menghadapi kenaikan BBM. Menurutnya, kalau strategi ini digunakan maka ekses sosial dan ekonomi bisa ditekan.
"Saya menilai muatan politis terlalu kental dalam hal kenaikan BBM ini. Itu tentu terkait dengan kompensasi yang akan diberikan kepada masyarakat pasca kenaikan harga BBM. Nah kompensasi ini akan dijadikan instrumen politik bagi partai penguasa untuk menarik simpati publik," tandasnya.
"Padahal domain untuk menaikkan harga BBM adalah domain pemerintah. Namun, pemerintah ragu untuk melaksanakan ini. Ekses politik tidak terelakkan tak kala keraguan pemerintah tersebut datang," ujarnya kepada Sindonews, Selasa (18/6/2013).
Tak pelak, lanjut dia, hal itu dimanfaatkan partai-partai untuk memainkan strategi politik yang kemudian terbelah pada dua opsi menerima dan menolak kenaikan harga BBM. Ia menilai, pemerintah juga tidak memiliki program yang jelas terkait penanganan masalah BBM.
"Kondisi yang tidak terprogram, dan instan ini tentu memicu konstalasi politik terkait BBM. Bukan hanya itu masalah ekonomi juga terkena ekses," kata Heri.
Ia menjelaskan, situasi dimana terjadi gelombang aksi penolakan kenaikan harga di beberapa daerah merupakan realitas nyata akibat lamban-nya pengambilan keputusan. Persoalan kenaikan harga BBM ini bukan kali ini terjadi, dan setiap akan dieksekusi selalu menimbulkan ekses sosial, politik, dan ekonomi.
"Saya memberikan solusi, mestinya pemerintah mempunyai strategi program yang jelas bisa dalam jangka menengah dan panjang (3-5) tahun untuk menaikkan harga BBM. Dengan hitung-hitungan kenaikan yang terukur, misalnya berapa persen kenaikan itu pertahun, sampai 3-5 tahun," paparnya.
Sehingga, masyarakat lebih siap menghadapi kenaikan BBM. Menurutnya, kalau strategi ini digunakan maka ekses sosial dan ekonomi bisa ditekan.
"Saya menilai muatan politis terlalu kental dalam hal kenaikan BBM ini. Itu tentu terkait dengan kompensasi yang akan diberikan kepada masyarakat pasca kenaikan harga BBM. Nah kompensasi ini akan dijadikan instrumen politik bagi partai penguasa untuk menarik simpati publik," tandasnya.
(kri)