Gerakan memiskinkan koruptor

Senin, 17 Juni 2013 - 09:30 WIB
Gerakan memiskinkan...
Gerakan memiskinkan koruptor
A A A
Laksana pepatah “mati satu tumbuh seribu”. Begitulah gambaran perilaku korupsi di negeri ini, sangat sulit diberantas lantaran sudah berurat- berakar.

Hampir semua institusi terindikasi korupsi, selalu saja ada pejabat negara yang ditangkap karena menilap uang rakyat. Energi besar juga sudah dikeluarkan, mulai dari pengaturan yang cukup tegas, dukungan publik, sampai pada pembentukan lembaga antikorupsi yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pertanyaan selalu muncul, kenapa korupsi begitu sulit diberangus? Tentu banyak jawaban yang bisa dikemukakan. Tetapi, pemberantasan korupsi masih bersifat parsial, setengah hati, selain putusan hakim yang ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera dan rasa takut bagi calon koruptor.

Kalaupun banyak yang sudah ditangkap, itu hanya karena bernasib sial. Usai menjalani hukuman, koruptor masih mendapatkan tempat terhormat di masyarakat. Masih ada warga masyarakat yang bersikap permisif, menerima koruptor tanpa sanksi sosial lantaran sisa hasil korupsi bisa digunakan untuk memengaruhi persepsi publik dengan menyumbang tempat ibadah. Sangat berbeda dengan maling ayam atau maling sandal, masyarakat memandang rendah.

Uang Pengganti

Sebetulnya UU Nomor 31/1999 yang diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mendesain pemiskinan koruptor. Dapat dilihat pada Pasal 18 ayat (1) huruf-b bahwa terdakwa dijatuhi pidana tambahan berupa “pembayaran uang pengganti” sebesar dana yang dikorupsi. Bukan hanya itu, terdakwa juga dijatuhi pidana denda yang cukup besar.

Hitung-hitungan matematika, harta kekayaan terpidana akan terkuras karena selain membayar uang pengganti sebesar dana yang terbukti dikorup dalam sidang pengadilan, juga membayar denda. Namun, ketentuan itu setengah hati karena Pasal 18 ayat (3) UU Nomor 31/1999 memberi toleransi. Jika terpidana tidak memiliki harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti atau membayar pidana denda, diganti dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokok. Itu ditetapkan dalam putusan hakim sebagai hukuman subsider.

Koruptor tentu lebih memilih penjara ketimbang membayar uang pengganti dan denda. Sebaiknya Pasal 18 ayat (3) direvisi, tidak boleh ada penjara pengganti. Jika tidak mampu membayar uang pengganti dan denda, diganti sanksi “kerja sosial” dalam jangka waktu tertentu dan upahnya dipakai menebus uang negara yang dikorup.

Ini juga yang membuat penuntut umum selalu meminta hasil audit BPK atau BPKP mengenai jumlah kerugian negara yang dikorupsi karena akan dibuktikan di depan sidang. Padahal, secara teori, korupsi merupakan “delik formil” yang tidak perlu membuktikan akibat dari perbuatan itu. Unsur perbuatan yang dilarang terpenuhi dan akibat kerugian negara tidak perlu dibuktikan.

Pencucian Uang

Cara lain memiskinkan koruptor dengan menerapkan UU Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU Pencucian Uang). Penyidik menelusuri dan menyita dana atau harta yang diduga hasil korupsi yang disembunyikan dengan memindahkannya pada pihak lain.

Dalam mengusut pencucian uang menurut Pasal 2 harus didasari oleh tindak pidana asal yaitu harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana seperti korupsi, narkotika, psikotropika, dan sebagainya. Kemudian Pasal 3 UU Pencucian uang menyebutkan, tindak pidana pencucian uang bukan hanya mentransfer, mengalihkan, melainkan menitipkan dan mengubah bentuk apa pun sebagai upaya penyamaran asal kekayaan. Ada dua kategori “pelaku” yaitu pelaku aktif (Pasal 3 dan Pasal; 4), serta pelaku pasif.

Pelaku pasif ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) yaitu harus pengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan yang diterima atau dikuasai merupakan hasil tindak pidana. Artinya, penerima pasif harus memiliki pengetahuan, keinginan, atau tujuan pada saat terjadi transaksi yang diketahuinya merupakan pelanggaran hukum.

Pasal-pasal dalam UU Pencucian Uang memiliki kekuatan dahsyat karena memungkinkan banyak orang yang terlibat. Modus dan bentuknya bisa dengan hibah (pemberian), sumbangan, penitipan, atau penukaran. Bahkan organisasi atau korporasi bisa dibekukan jika tersentuh tindak pidana pencucian uang. Saat ini KPK menerapkan UU Pencucian Uang terhadap kasus simulator SIM, kasus mantan Presiden PKS, dan Ahmad Fathana. Jika dakwaan terbukti, maka hukuman ditambah sepertiga dari ancaman pidana maksimal yang dilanggar dalam UU korupsi.

Dengan begitu, selain pidana penjara berat, juga harta benda yang berasal dari korupsi ditambah denda, setidaknya bisa menimbulkan efek jera. Ada empat keuntungan menerapkan UU Pencucian dalam membongkar jaringan korupsi. Pertama, akan banyak pelaku yang terjerat, bukan hanya orang tetapi juga korporasi. Bahkan, dapat mengungkap dengan cepat kemana aliran dana atau harta hasil korupsi disembunyikan melalui bantuan PPATK untuk secepatnya diblokir.

Kedua, memperberat sanksi akibat penggabungan perkara dengan menambah sepertiga ancaman pidananya. Ini bisa membuat efek takut bagi calon koruptor untuk mewujudkan niatnya. Ketiga, pengembalian uang negara akan lebih efektif karena dapat menyita harta yang diduga hasil korupsi dengan cara disamarkan kepada pihak lain. Malah sekaligus berfungsi sebagai pengamanan agar tidak terjadi transaksi pemindahan dana dari rekening yang sudah diblokir. Keempat, Pasal 77 UU Pencucian Uang menerapkan “pembuktian terbalik” yang dilakukan dalam sidang pengadilan.

Terdakwa yang harus membuktikan semua harta dan uang yang disita di depan sidang pengadilan, apakah diperoleh secara sah. Bila tidak bisa dibuktikan, maka hakim menganggap harta benda itu berasal dari korupsi dan disita untuk negara. ●

Memiskinkan Koruptor

Laksana pepatah “mati satu tumbuh seribu”. Begitulah gambaran perilaku korupsi di negeri ini, sangat sulit diberantas lantaran sudah berurat- berakar.

Hampir semua institusi terindikasi korupsi, selalu saja ada pejabat negara yang ditangkap karena menilap uang rakyat. Energi besar juga sudah dikeluarkan, mulai dari pengaturan yang cukup tegas, dukungan publik, sampai pada pembentukan lembaga antikorupsi yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pertanyaan selalu muncul, kenapa korupsi begitu sulit diberangus? Tentu banyak jawaban yang bisa dikemukakan. Tetapi, pemberantasan korupsi masih bersifat parsial, setengah hati, selain putusan hakim yang ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera dan rasa takut bagi calon koruptor.

Kalaupun banyak yang sudah ditangkap, itu hanya karena bernasib sial. Usai menjalani hukuman, koruptor masih mendapatkan tempat terhormat di masyarakat. Masih ada warga masyarakat yang bersikap permisif, menerima koruptor tanpa sanksi sosial lantaran sisa hasil korupsi bisa digunakan untuk memengaruhi persepsi publik dengan menyumbang tempat ibadah. Sangat berbeda dengan maling ayam atau maling sandal, masyarakat memandang rendah.

Uang Pengganti

Sebetulnya UU Nomor 31/1999 yang diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mendesain pemiskinan koruptor. Dapat dilihat pada Pasal 18 ayat (1) huruf-b bahwa terdakwa dijatuhi pidana tambahan berupa “pembayaran uang pengganti” sebesar dana yang dikorupsi. Bukan hanya itu, terdakwa juga dijatuhi pidana denda yang cukup besar.

Hitung-hitungan matematika, harta kekayaan terpidana akan terkuras karena selain membayar uang pengganti sebesar dana yang terbukti dikorup dalam sidang pengadilan, juga membayar denda. Namun, ketentuan itu setengah hati karena Pasal 18 ayat (3) UU Nomor 31/1999 memberi toleransi. Jika terpidana tidak memiliki harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti atau membayar pidana denda, diganti dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokok. Itu ditetapkan dalam putusan hakim sebagai hukuman subsider.

Koruptor tentu lebih memilih penjara ketimbang membayar uang pengganti dan denda. Sebaiknya Pasal 18 ayat (3) direvisi, tidak boleh ada penjara pengganti. Jika tidak mampu membayar uang pengganti dan denda, diganti sanksi “kerja sosial” dalam jangka waktu tertentu dan upahnya dipakai menebus uang negara yang dikorup.

Ini juga yang membuat penuntut umum selalu meminta hasil audit BPK atau BPKP mengenai jumlah kerugian negara yang dikorupsi karena akan dibuktikan di depan sidang. Padahal, secara teori, korupsi merupakan “delik formil” yang tidak perlu membuktikan akibat dari perbuatan itu. Unsur perbuatan yang dilarang terpenuhi dan akibat kerugian negara tidak perlu dibuktikan.

Pencucian Uang

Cara lain memiskinkan koruptor dengan menerapkan UU Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU Pencucian Uang). Penyidik menelusuri dan menyita dana atau harta yang diduga hasil korupsi yang disembunyikan dengan memindahkannya pada pihak lain.

Dalam mengusut pencucian uang menurut Pasal 2 harus didasari oleh tindak pidana asal yaitu harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana seperti korupsi, narkotika, psikotropika, dan sebagainya. Kemudian Pasal 3 UU Pencucian uang menyebutkan, tindak pidana pencucian uang bukan hanya mentransfer, mengalihkan, melainkan menitipkan dan mengubah bentuk apa pun sebagai upaya penyamaran asal kekayaan. Ada dua kategori “pelaku” yaitu pelaku aktif (Pasal 3 dan Pasal; 4), serta pelaku pasif.

Pelaku pasif ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) yaitu harus pengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan yang diterima atau dikuasai merupakan hasil tindak pidana. Artinya, penerima pasif harus memiliki pengetahuan, keinginan, atau tujuan pada saat terjadi transaksi yang diketahuinya merupakan pelanggaran hukum.

Pasal-pasal dalam UU Pencucian Uang memiliki kekuatan dahsyat karena memungkinkan banyak orang yang terlibat. Modus dan bentuknya bisa dengan hibah (pemberian), sumbangan, penitipan, atau penukaran. Bahkan organisasi atau korporasi bisa dibekukan jika tersentuh tindak pidana pencucian uang. Saat ini KPK menerapkan UU Pencucian Uang terhadap kasus simulator SIM, kasus mantan Presiden PKS, dan Ahmad Fathana. Jika dakwaan terbukti, maka hukuman ditambah sepertiga dari ancaman pidana maksimal yang dilanggar dalam UU korupsi.

Dengan begitu, selain pidana penjara berat, juga harta benda yang berasal dari korupsi ditambah denda, setidaknya bisa menimbulkan efek jera. Ada empat keuntungan menerapkan UU Pencucian dalam membongkar jaringan korupsi. Pertama, akan banyak pelaku yang terjerat, bukan hanya orang tetapi juga korporasi. Bahkan, dapat mengungkap dengan cepat kemana aliran dana atau harta hasil korupsi disembunyikan melalui bantuan PPATK untuk secepatnya diblokir.

Kedua, memperberat sanksi akibat penggabungan perkara dengan menambah sepertiga ancaman pidananya. Ini bisa membuat efek takut bagi calon koruptor untuk mewujudkan niatnya. Ketiga, pengembalian uang negara akan lebih efektif karena dapat menyita harta yang diduga hasil korupsi dengan cara disamarkan kepada pihak lain. Malah sekaligus berfungsi sebagai pengamanan agar tidak terjadi transaksi pemindahan dana dari rekening yang sudah diblokir. Keempat, Pasal 77 UU Pencucian Uang menerapkan “pembuktian terbalik” yang dilakukan dalam sidang pengadilan.

Terdakwa yang harus membuktikan semua harta dan uang yang disita di depan sidang pengadilan, apakah diperoleh secara sah. Bila tidak bisa dibuktikan, maka hakim menganggap harta benda itu berasal dari korupsi dan disita untuk negara. ●

MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5347 seconds (0.1#10.140)