Pegawai minim, target pajak melenceng
A
A
A
Ternyata dalam empat tahun terakhir ini target penerimaan pajak yang dipatok pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak pernah terpenuhi.
Angka realisasi penerimaan pajak berkisar pada 94,31% hingga 97,26% dari target APBN-P (perubahan). Data terbaru menunjukkan realisasi penerimaan pajak tahun lalu kurang sebesar Rp49,20 triliun. Pemerintah menargetkan dalam APBN-P 2012, pemasukan dari pajak sekitar Rp885,03 triliun, namun pencapaiannya hanya sebesar Rp835,83 triliun. Untuk tahun ini, pemerintah mengoreksi target pajak menyusul melemahnya pemasukan pajak pada kuartal pertama yang baru mencapai 8% dari target yang ditetapkan.
Data penerimaan pajak yang tak pernah memenuhi target pemerintah tersebut dibeberkan oleh Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo, saat menyampaikan laporan hasil pemeriksaan (LPH) dari laporan kerja pemerintah pusat (LKPP) di depan para wakil rakyat, awal pekan ini.
Berdasarkan versi BPK, target penerimaan pajak meleset dikarenakan pemerintah belum mengimplementasikan Pasal 35A UU No 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang berlaku efektif sejak awal 2008. “Dengan implementasi pasal 35A maka pemerintah dapat mewujudkan pusat data pajak yang bisa mendongkrak penerimaan pajak,” tegas Hadi.
Namun bagi Dirjen Pajak Fuad Rahmany, persoalan pajak bukan sekadar belum terimplementasikannya pasal 35A; masalah pajak begitu kompleks belakangan ini. Realisasi penerimaan pajak yang sulit mencapai target tidak bisa dilepaskan dengan kondisi perekonomian global yang terus diliputi krisis. Akibat krisis ekonomi, daya beli sejumlah negara tujuan utama ekspor Indonesia ikut “terkubur” krisis. Akibatnya, pajak ekspor pun mengempis.
Selain itu, harga sejumlah komoditas andalan di pasar internasional juga tak berotot semuanya berdampak pada penerimaan pajak. Sementara itu, sejumlah persoalan internal lembaga penarik pajak itu belum bisa diurai secara tuntas. Mulai persoalan jumlah pegawai pajak yang terbatas, data pajak yang belum akurat, hingga ulah sejumlah pegawai pajak yang berselingkuh dengan wajib pajak.
Berdasarkan data kepegawaian Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, setiap pegawai menangani sekitar 7.000 wajib pajak. Idealnya, menurut Fuad, seorang pegawai pajak menangani 500 wajib pajak. Sejak dua tahun lalu, pihak Ditjen Pajak meminta penambahan pegawai sebanyak 5.000 orang per tahun, namun realisasinya hanya sekitar 200 orang dalam dua tahun. Fuad mengakui bahwa sistem teknologi informasi sangat membantu pengelolaan pajak, namun sistem tersebut tidak bisa memaksa orang membayar pajak.
Jadi, penambahan pegawai pajak tetap menjadi kebutuhan utama untuk mendongkrak penerimaan pajak sebagai sumber pembiayaan pembangunan terbesar di negeri ini. Saat ini, total pegawai pajak sebanyak 32.000 orang. Jumlah pegawai tersebut sangat tidak seimbang untuk mengelola wajib pajak individu yang mencapai 40 juta dan jutaan perusahaan yang belum tersentuh oleh petugas pajak.
Bandingkan dengan jumlah pegawai pajak sejumlah negara, di antaranya Jerman, yang berpenduduk 80 juta memiliki petugas pajak sebanyak 110.000 orang yang didukung sistem informasi teknologi tercanggih. Celakanya, jumlah pegawai pajak yang terbatas itu masih ada yang tidak menjalankan tugas sebaik-baiknya. Faktanya, hampir setiap saat muncul pegawai nakal yang dibekuk oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena berselingkuh dengan wajib pajak.
Bahkan cerita terbaru, salah satu kasus suap pajak yang sedang bergulir di KPK menyebut petinggi Ditjen Pajak ikut sebagai dalang pemerasan. Potensi penyalahgunaan wewenang petugas pajak memang sangat rentan. Sebanyak 4.800 atau 15% dari 32.000 pegawai pajak berhubungan langsung dengan wajib pajak. Petugas tersebut berpotensi besar melakukan penyimpangan, kolusi, dan korupsi.
Angka realisasi penerimaan pajak berkisar pada 94,31% hingga 97,26% dari target APBN-P (perubahan). Data terbaru menunjukkan realisasi penerimaan pajak tahun lalu kurang sebesar Rp49,20 triliun. Pemerintah menargetkan dalam APBN-P 2012, pemasukan dari pajak sekitar Rp885,03 triliun, namun pencapaiannya hanya sebesar Rp835,83 triliun. Untuk tahun ini, pemerintah mengoreksi target pajak menyusul melemahnya pemasukan pajak pada kuartal pertama yang baru mencapai 8% dari target yang ditetapkan.
Data penerimaan pajak yang tak pernah memenuhi target pemerintah tersebut dibeberkan oleh Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo, saat menyampaikan laporan hasil pemeriksaan (LPH) dari laporan kerja pemerintah pusat (LKPP) di depan para wakil rakyat, awal pekan ini.
Berdasarkan versi BPK, target penerimaan pajak meleset dikarenakan pemerintah belum mengimplementasikan Pasal 35A UU No 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang berlaku efektif sejak awal 2008. “Dengan implementasi pasal 35A maka pemerintah dapat mewujudkan pusat data pajak yang bisa mendongkrak penerimaan pajak,” tegas Hadi.
Namun bagi Dirjen Pajak Fuad Rahmany, persoalan pajak bukan sekadar belum terimplementasikannya pasal 35A; masalah pajak begitu kompleks belakangan ini. Realisasi penerimaan pajak yang sulit mencapai target tidak bisa dilepaskan dengan kondisi perekonomian global yang terus diliputi krisis. Akibat krisis ekonomi, daya beli sejumlah negara tujuan utama ekspor Indonesia ikut “terkubur” krisis. Akibatnya, pajak ekspor pun mengempis.
Selain itu, harga sejumlah komoditas andalan di pasar internasional juga tak berotot semuanya berdampak pada penerimaan pajak. Sementara itu, sejumlah persoalan internal lembaga penarik pajak itu belum bisa diurai secara tuntas. Mulai persoalan jumlah pegawai pajak yang terbatas, data pajak yang belum akurat, hingga ulah sejumlah pegawai pajak yang berselingkuh dengan wajib pajak.
Berdasarkan data kepegawaian Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, setiap pegawai menangani sekitar 7.000 wajib pajak. Idealnya, menurut Fuad, seorang pegawai pajak menangani 500 wajib pajak. Sejak dua tahun lalu, pihak Ditjen Pajak meminta penambahan pegawai sebanyak 5.000 orang per tahun, namun realisasinya hanya sekitar 200 orang dalam dua tahun. Fuad mengakui bahwa sistem teknologi informasi sangat membantu pengelolaan pajak, namun sistem tersebut tidak bisa memaksa orang membayar pajak.
Jadi, penambahan pegawai pajak tetap menjadi kebutuhan utama untuk mendongkrak penerimaan pajak sebagai sumber pembiayaan pembangunan terbesar di negeri ini. Saat ini, total pegawai pajak sebanyak 32.000 orang. Jumlah pegawai tersebut sangat tidak seimbang untuk mengelola wajib pajak individu yang mencapai 40 juta dan jutaan perusahaan yang belum tersentuh oleh petugas pajak.
Bandingkan dengan jumlah pegawai pajak sejumlah negara, di antaranya Jerman, yang berpenduduk 80 juta memiliki petugas pajak sebanyak 110.000 orang yang didukung sistem informasi teknologi tercanggih. Celakanya, jumlah pegawai pajak yang terbatas itu masih ada yang tidak menjalankan tugas sebaik-baiknya. Faktanya, hampir setiap saat muncul pegawai nakal yang dibekuk oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena berselingkuh dengan wajib pajak.
Bahkan cerita terbaru, salah satu kasus suap pajak yang sedang bergulir di KPK menyebut petinggi Ditjen Pajak ikut sebagai dalang pemerasan. Potensi penyalahgunaan wewenang petugas pajak memang sangat rentan. Sebanyak 4.800 atau 15% dari 32.000 pegawai pajak berhubungan langsung dengan wajib pajak. Petugas tersebut berpotensi besar melakukan penyimpangan, kolusi, dan korupsi.
(hyk)