Tolak kenaikan harga BBM

Sabtu, 01 Juni 2013 - 08:48 WIB
Tolak kenaikan harga BBM
Tolak kenaikan harga BBM
A A A
”Tolak Kenaikan Harga BBM”. Demikian bunyi pesan spanduk yang dipasang di perempatan Hotel Millennium, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Spanduk dengan pesan sama––sebagian besar disertai gambar wajah politisi PKS seperti Triwisaksana, di antaranya ada yang bersama Presiden DPP PKS Anis Matta––juga tersebar di beberapa titik strategis lain di Ibu Kota. Kampanye penolakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) itu terlihat sangat heroik karena mengatasnamakan kepentingan rakyat: kenaikan harga BBM hanya akan menambah beban masyarakat. Masyarakat yang sepakat dengan sikap tersebut tentu senang karena ada parpol yang membela kepentingannya.

Di lain pihak, sikap tersebut memicu reaksi dari kalangan pendukung kenaikan BBM, terutama dari parpol propemerintah. Salah satu reaksi datang dari politikus Partai Demokrat, Ruhut Sitompul. Dalam wawancara dengan sebuah media online, Ruhut meluapkan sumpah serapahnya dengan menyebut PKS banci, menusuk dari belakang, dan menggunting dalam lipatan. Kritik lebih halus juga sudah dilontarkan Ketua Fraksi Partai Demokrat Nurhayati Ali Assegaf.

Dia menyebut sikap PKS bukan hanya membangkang kesepakatan koalisi, melainkan juga melanggar konstitusi yakni Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2013 yang telah menyerahkan kewenangan menaikkan harga BBM kepada pemerintah. Dalam konteks politik, apa pun isu yang dibawa, parpol tetaplah parpol yang sikap dan tindakannya berangkat dari motif politik.

Karena itu, wajar jika muncul skeptisisme bahwa kampanye besar-besaran yang dilakukan kader PKS tersebut bukan semata karena keinginan membela masyarakat, melainkan untuk kepentingan politik. Di tengah turbulensi politik yang mencoreng moral PKS yang pernah mengklaim sebagai partai antikorupsi akibat terseretnya mantan presidennya, Luthfi Hasan Ishaaq (LHI), munculnya kampanye menolak mentah-mentah kenaikan harga BBM memang sangat mudah ditepis.

Paling tidak, manuver politik PKS tersebut akan dilihat sebagai permainan opini publik, yakni untuk mengalihkan perhatian masyarakat yang saat ini masih hangat-hangatnya membicarakan Ahmad Fathanah, Maharani Suciono, Vitalia Sesha, hingga pembicaraan terakhir mengenai bulan madu LHI dengan Darin Mumtazah ke Kuala Lumpur. Bagaimanapun, langsung atau tidak, isu yang menjadi buah mulut tersebut juga menyerempet PKS.

Berbarengan dengan pengalihan isu tersebut, sangat mungkin pula PKS akan dilihat mencoba mencari celah di tengah tsunami politik untuk menaikkan citra mereka. Berdasar hasil survei sepanjang 2013, elektabilitas PKS menghadapi Pemilu 2014 harus diakui sangat rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Survei Lembaga Survei Jakarta (LSJ) mencatat angka 2,6%, Survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) 3,7%, dan Indobarometer (1,9%).

Munculnya rangkaian berita buruk yang menerpa tentu kian mengganggu citra PKS. Dari sudut pandang fatsun politik, perilaku yang ditunjukkan PKS mencerminkan sikap tidak fair: PKS hanya mau menikmati manisnya kekuasaan, tanpa mau menanggung pahitnya. Apalagi, beberapa hari sebelumnya Majelis Syura telah memutuskan parpol itu tetap berada di koalisi dengan implikasi masih bercokolnya tiga kadernya di kementerian.

Konsekuensinya, PKS sudah seharusnya konsisten mendukung kenaikan harga BBM dan bersama pemerintah memikirkan cara mengatasi dampak kenaikan dan mencari terobosan kebijakan yang lebih bermanfaat ketimbang menggelontor anggaran untuk subsidi BBM. Dengan latar belakang seperti itulah, bertebarannya spanduk ”Tolak Kenaikan Harga BBM” malah memancing persepsi negatif tentang adanya drama picisan yang tengah dimainkan dan jurus mabuk yang diperagakan PKS dalam menghadapi badai persoalan. Tetapi, masyarakat saat ini lebih cerdas untuk membaca peta persoalan.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4787 seconds (0.1#10.140)