Usung caleg mantan koruptor, parpol dinilai tabrak etika
A
A
A
Sindonews.com - Kursi parlemen memang sangat menggiurkan. Tak hanya artis ataupun pejabat, kini mantan mantan terpidana kasus korupsi pun mengincarnya.
Hal tersebut terbukti dari daftar bakal calon anggota DPR-RI periode 2014-2019, yang diusung oleh 12 partai politik peserta pemilu 2014 dan telah diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui website www.kpu.go.id, hari ini.
Salah satu contohnya adalah, bakal calon anggota DPR-RI dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) daerah pemilihan Sulawesi Utara, Vonny Anneke Panambunan, yang merupakan mantan terpidana kasus korupsi Bandara Loa Kulu di Kutai Kertanegara dan divonis 1,6 tahun penjara oleh pengadilan tindak pidana korupsi, pada Mei 2008.
Meskipun diperbolehkan, namun Pengamat Politik Universitas Indonesia, Boni Hargens, menilai pencalonan mantan narapidana korupsi oleh partai politik peserta pemilu 2014, telah menabrak prinsip etika. Hal tersebut dikarenakan parpol tidak detail dalam melakukan proses seleksi terhadap bakal calon anggota DPR-RI ataupun eksekutif.
“Kini pertanyaannya, bagaimana pertanggungjawaban parpol yang telah menabrak prinsip etika,” tegasnya dalam keterangan pers, di Jakarta, Rabu 24 April 2013 malam.
Ia mengatakan, faktor finansial dan dukungan publik menjadi yang utama bagi parpol untuk merekrut wakil-wakilnya di parleman, tanpa memperdulikan latar belakang ataupun track record caleg, apalagi faktor moral.
Hal tersebut menurutnya, akan menimbulkan masalah di kemudian hari, karena parpol tidak mempermasalahkan orang, asalkan menang dalam pemilu 2014.
“Ini jelas masalah. Kesulitan keuangan, akan membuat parpol memilih calon yang mampu secara financial. Termasuk memiliki kekuatan untuk mengerahkan massa,” tambahnya.
Bony menjelaskan, dampaknya akan melahirkan figur yang akan menghancurkan sistem yang ada. Karena mereka akan semakin netral dengan kesalahan-kesalahan yang selama ini ada. Bahkan parpol akan dinilai terus menerus memproduksi kesalahan.
“Ketika kita terbiasa dengan salah dan membiarkan yang salah, kita tidak akan pernah menjadi orang yang membela kenaran, dan terus menerus memproduksi kesalahan,” tambahnya.
Bony menegaskan, tidak ada yang bisa mengontrol untuk mengatur moral seseorang, kecuali Negara. Sehingga perombakan Undang-Undang yang mengatur hal tersebut harus dilakukan. Misalnya dengan memasukkan salah satu pasal yang menyebutkan, siapapun yang pernah dipidana tidak boleh atau tidak memiliki hak untuk mencalonkan diri atau menjadi pejabat publik.
“Apakah dipidana satu bulan, satu tahun ataukan satu minggu tidak penting. Tetapi ada delik hukum dia terlibat, maka tidak berhak,” kilahnya.
Hal tersebut terbukti dari daftar bakal calon anggota DPR-RI periode 2014-2019, yang diusung oleh 12 partai politik peserta pemilu 2014 dan telah diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui website www.kpu.go.id, hari ini.
Salah satu contohnya adalah, bakal calon anggota DPR-RI dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) daerah pemilihan Sulawesi Utara, Vonny Anneke Panambunan, yang merupakan mantan terpidana kasus korupsi Bandara Loa Kulu di Kutai Kertanegara dan divonis 1,6 tahun penjara oleh pengadilan tindak pidana korupsi, pada Mei 2008.
Meskipun diperbolehkan, namun Pengamat Politik Universitas Indonesia, Boni Hargens, menilai pencalonan mantan narapidana korupsi oleh partai politik peserta pemilu 2014, telah menabrak prinsip etika. Hal tersebut dikarenakan parpol tidak detail dalam melakukan proses seleksi terhadap bakal calon anggota DPR-RI ataupun eksekutif.
“Kini pertanyaannya, bagaimana pertanggungjawaban parpol yang telah menabrak prinsip etika,” tegasnya dalam keterangan pers, di Jakarta, Rabu 24 April 2013 malam.
Ia mengatakan, faktor finansial dan dukungan publik menjadi yang utama bagi parpol untuk merekrut wakil-wakilnya di parleman, tanpa memperdulikan latar belakang ataupun track record caleg, apalagi faktor moral.
Hal tersebut menurutnya, akan menimbulkan masalah di kemudian hari, karena parpol tidak mempermasalahkan orang, asalkan menang dalam pemilu 2014.
“Ini jelas masalah. Kesulitan keuangan, akan membuat parpol memilih calon yang mampu secara financial. Termasuk memiliki kekuatan untuk mengerahkan massa,” tambahnya.
Bony menjelaskan, dampaknya akan melahirkan figur yang akan menghancurkan sistem yang ada. Karena mereka akan semakin netral dengan kesalahan-kesalahan yang selama ini ada. Bahkan parpol akan dinilai terus menerus memproduksi kesalahan.
“Ketika kita terbiasa dengan salah dan membiarkan yang salah, kita tidak akan pernah menjadi orang yang membela kenaran, dan terus menerus memproduksi kesalahan,” tambahnya.
Bony menegaskan, tidak ada yang bisa mengontrol untuk mengatur moral seseorang, kecuali Negara. Sehingga perombakan Undang-Undang yang mengatur hal tersebut harus dilakukan. Misalnya dengan memasukkan salah satu pasal yang menyebutkan, siapapun yang pernah dipidana tidak boleh atau tidak memiliki hak untuk mencalonkan diri atau menjadi pejabat publik.
“Apakah dipidana satu bulan, satu tahun ataukan satu minggu tidak penting. Tetapi ada delik hukum dia terlibat, maka tidak berhak,” kilahnya.
(kri)