UN dan cara pandang kita kepada martabat guru
A
A
A
Ujian nasional (UN) bagaimanapun diperlukan sebagai alat untuk mengetahui pencapaian pendidikan dan perkembangannya dari waktu ke waktu.
Dengan standar kelulusan yang selalu meningkat, pencapaian kualitas pendidikan dapat dievaluasi dari waktu ke waktu. Kendati demikian, juga perlu dipahami bahwa ujian nasional mengandung banyak persoalan baik teknis dan filosofis. Misalnya, apakah kata nasional harus berarti sama atau harus berarti dari Jakarta? Dengan melibatkan polisi dan pengawas independen merupakan persoalan filosofis tersendiri, bagaimana cara pandang kita terhadap seorang guru.
Tidak cukupkah sesama guru di berbagai daerah atau wilayah diberi wewenang menguji atau membuat soal dengan standar dari Jakarta? Dengan metode acak dan bantuan teknologi komputer sangat mudah mengelola bank soal nasional dan mengirimkannya via e-mail ke daerah-daerah. Ketika surat kabar sekarang dicetak jarak jauh, mengapa dunia pendidikan lambang kemajuan bangsa set back?
Ada sinyalemen dipusatkan di Jakarta karena kalau dicetak di daerah takut terjadi kebocoran, sudah sedemikian bobrokkah guru-guru kita sehingga tak bisa dipercaya lagi? Hal ini cara pandang atau bahkan mengandung asumsi tertentu dalam memandang derajat para guru kita.
Kalau kita menganut “teori X” dalam manajemen sumber daya manusia, memandang tenaga bawahan dalam hal ini guru di daerah sebagai si malas, yang tidak bisa dipercaya, pembocor, dan sifat setara lainnya, sehingga harus disentralisasi, diawasi dengan polisi dan pengawas luar sedemikian rupa seperti yang sudah terjadi.
Sebaliknya apabila kita memakai “teori Y”, kita akan memandang guru adalah sosok teladan, penuh pengabdian, orang yang jujur, setia, bekerja profesional tanpa pamrih, sehingga tidak memerlukan pengawas dari luar, polisi, dan sentralisasi. Kedua asumsi malangnya dapat dibenarkan secara empirik, bisa saja mengambil sisi empirik kekurangan kekurangan guru yang banyak disiarkan di media massa dan naskah lain yang lebih serius.
Akan tetapi, mengambil sisi baik guru seperti guru yang penuh pengabdian, guru terpencil, dan umumnya guru masih memiliki martabat keguruan. Jika guru memenuhi asumsi “teori X” sebagai si pembocor yang malas tidak bisa dipercaya, bangsa ini tentu sudah ambruk dulu. Guru-guru sejak dengan imbalan yang sangat pas-pasan pada zaman Orde Lama dan Orde Baru masih sangat membanggakan.
Guru dan perangkat desa kekuatan kepemimpinan di daerah. Tidak terdapat bukti yang kuat dan luas bahwa guru pada zaman Reformasi dan sertifikasi ketika penghasilannya membaik, bahkan cenderung dalam strata relatif tinggi, mereka menjadi merosot ke asumsi X.
Format UN yang Memartabatkan Guru
Makna penting dari ujian nasional antara untuk memetakan kinerja pendidikan secara umum dan kinerja anak bangsa serta masa depan mereka. Di sisi lain kita perlu menjaga martabat guru dengan menjadi lebih terlibat dalam ujian nasional. Untuk memenuhi tujuan tersebut, ujian nasional perlu ditata ulang.
Desentralisasi pencetakan soal ujian mutlak diperlukan mengingat kondisi geografis dan luas wilayah Indonesia. Dengan mendesentralisasi menteri tidak lagi menjadi pesakitan, tetapi justru menjadi supervisor. Tugas kementerian masih pada penentuan standar, bahkan sampai mengumpulkan dan membuat e-bank soal.
Dengan bantuan mesin acak komputer bisa dibuat soal dengan tingkat kesulitan yang sama, tetapi berbeda di setiap kabupaten. Apabila terjadi masalah, kerugian dan solusi dapat dilokalisasi di kabupaten itu. Walaupun soal ujian selalu berbeda di setiap kabupaten, diambil secara acak dari rumpun atau kluster dalam bank soal nasional.
Dengan perkembangan teknologi informasi sekarang, dimungkinkan membuat tingkat kesulitan soal sama, tetapi berbeda setiap lokasi dan antarwaktu. Pengiriman ke seluruh kabupaten bisa serentak dalam hitungan detik dan bila terjadi kebocoran, bisa dikirim ulang juga dalam waktu yang sangat singkat dan variasi soal yang hampir tidak terbatas.
Secara ekonomis akan terjadi pengalihan anggaran ke kabupaten yang akan menghidupkan ekonomi daerah dan tumbuhnya salah satu mata rantai industri pencetakan. Bila Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bisa berfungsi untuk mendorong loncatan teknologi, ujian nasional SMP dan SMU bisa dilakukan dengan melalui e-exam dengan memberi kesempatan SMK komputer merakit infrastrukturnya.
Dengan demikian, tidak ada satu sen pun anggaran negara dikeluarkan tanpa mengaitkan dengan visi besar kemajuan bangsa. Guru-guru di daerah dipersilakan menjadi panitia, menjadi penguji menguji dan menunggui sendiri mungkin hanya perlu bertukar tempat antarsekolah, bisa murid atau bisa guru.
Yang diperlukan bukan hanya lulus dan tidak lulus (0-1) yang menjadi beban itu, melainkan bisa diarahkan untuk memperoleh sebaran data. Posisi siswa dinilai untuk keperluan pengembangan SDM. Peringkat yang diperlukan adalah peringkat individual yang harus merupakan kombinasi pengamatan selama sekolah (nilai rapor), dan nilai ujian nasional dikombinasikan dengan nilai sekolah.
Anak yang memperoleh peringkat A1 dan A2 dapat dikembangkan masuk ke universitas yang bersifat scientific. Nilai B1 dan B2 didorong masuk ke sekolah diploma dan sekolah vokasi. Nilai C1 dan seterusnya didorong untuk masuk di balai latihan kerja. Jangan dilupakan dalam membuat peringkat ini, anak-anak yang perlu dikembangkan ke sekolah pengusaha, mengingat kebutuhan untuk menjadi pengusaha yang akan menolong penyiapan pekerjaan bagi SDM yang disiapkan dari sisi pengembangan di atas.
Di samping ketentuan pemeringkatan individu, ujian negara juga dapat digunakan untuk memeringkat institusi sekolah. Sebagai contoh sekolah yang berhasil mendidik siswanya lulus 100% di kuartal 1 (nilai 9-10) sekolah tersebut adalah sekolah unggul yang berhak mengelola anggaran khusus untuk mempercepat kemajuan bangsa.
Untuk memperoleh predikat sekolah unggul perlu diwaspadai juga kemungkinan dengkulan yang bertujuan memperoleh anggaran yang besar. Di sini perlu suatu mekanisme uji ulang tentu saja di luar waktu dan sistem ujian nasional. Sebaliknya, sekolah yang mengalami degradasi bisa naik banding dengan jalan meminta uji ulang.
Dengan pemikiran di atas, fungsi ujian negara untuk ihwal yang bermanfaat seperti mengklasifikasi pengembangan SDM untuk kemajuan bangsa mengklasifikasi kualitas dan kinerja sekolah untuk mengelola anggaran akselerasi dan bukan yang basis akan lebih bermanfaat pada masa datang.
PROF BAMBANG SETIAJI
Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta
Dengan standar kelulusan yang selalu meningkat, pencapaian kualitas pendidikan dapat dievaluasi dari waktu ke waktu. Kendati demikian, juga perlu dipahami bahwa ujian nasional mengandung banyak persoalan baik teknis dan filosofis. Misalnya, apakah kata nasional harus berarti sama atau harus berarti dari Jakarta? Dengan melibatkan polisi dan pengawas independen merupakan persoalan filosofis tersendiri, bagaimana cara pandang kita terhadap seorang guru.
Tidak cukupkah sesama guru di berbagai daerah atau wilayah diberi wewenang menguji atau membuat soal dengan standar dari Jakarta? Dengan metode acak dan bantuan teknologi komputer sangat mudah mengelola bank soal nasional dan mengirimkannya via e-mail ke daerah-daerah. Ketika surat kabar sekarang dicetak jarak jauh, mengapa dunia pendidikan lambang kemajuan bangsa set back?
Ada sinyalemen dipusatkan di Jakarta karena kalau dicetak di daerah takut terjadi kebocoran, sudah sedemikian bobrokkah guru-guru kita sehingga tak bisa dipercaya lagi? Hal ini cara pandang atau bahkan mengandung asumsi tertentu dalam memandang derajat para guru kita.
Kalau kita menganut “teori X” dalam manajemen sumber daya manusia, memandang tenaga bawahan dalam hal ini guru di daerah sebagai si malas, yang tidak bisa dipercaya, pembocor, dan sifat setara lainnya, sehingga harus disentralisasi, diawasi dengan polisi dan pengawas luar sedemikian rupa seperti yang sudah terjadi.
Sebaliknya apabila kita memakai “teori Y”, kita akan memandang guru adalah sosok teladan, penuh pengabdian, orang yang jujur, setia, bekerja profesional tanpa pamrih, sehingga tidak memerlukan pengawas dari luar, polisi, dan sentralisasi. Kedua asumsi malangnya dapat dibenarkan secara empirik, bisa saja mengambil sisi empirik kekurangan kekurangan guru yang banyak disiarkan di media massa dan naskah lain yang lebih serius.
Akan tetapi, mengambil sisi baik guru seperti guru yang penuh pengabdian, guru terpencil, dan umumnya guru masih memiliki martabat keguruan. Jika guru memenuhi asumsi “teori X” sebagai si pembocor yang malas tidak bisa dipercaya, bangsa ini tentu sudah ambruk dulu. Guru-guru sejak dengan imbalan yang sangat pas-pasan pada zaman Orde Lama dan Orde Baru masih sangat membanggakan.
Guru dan perangkat desa kekuatan kepemimpinan di daerah. Tidak terdapat bukti yang kuat dan luas bahwa guru pada zaman Reformasi dan sertifikasi ketika penghasilannya membaik, bahkan cenderung dalam strata relatif tinggi, mereka menjadi merosot ke asumsi X.
Format UN yang Memartabatkan Guru
Makna penting dari ujian nasional antara untuk memetakan kinerja pendidikan secara umum dan kinerja anak bangsa serta masa depan mereka. Di sisi lain kita perlu menjaga martabat guru dengan menjadi lebih terlibat dalam ujian nasional. Untuk memenuhi tujuan tersebut, ujian nasional perlu ditata ulang.
Desentralisasi pencetakan soal ujian mutlak diperlukan mengingat kondisi geografis dan luas wilayah Indonesia. Dengan mendesentralisasi menteri tidak lagi menjadi pesakitan, tetapi justru menjadi supervisor. Tugas kementerian masih pada penentuan standar, bahkan sampai mengumpulkan dan membuat e-bank soal.
Dengan bantuan mesin acak komputer bisa dibuat soal dengan tingkat kesulitan yang sama, tetapi berbeda di setiap kabupaten. Apabila terjadi masalah, kerugian dan solusi dapat dilokalisasi di kabupaten itu. Walaupun soal ujian selalu berbeda di setiap kabupaten, diambil secara acak dari rumpun atau kluster dalam bank soal nasional.
Dengan perkembangan teknologi informasi sekarang, dimungkinkan membuat tingkat kesulitan soal sama, tetapi berbeda setiap lokasi dan antarwaktu. Pengiriman ke seluruh kabupaten bisa serentak dalam hitungan detik dan bila terjadi kebocoran, bisa dikirim ulang juga dalam waktu yang sangat singkat dan variasi soal yang hampir tidak terbatas.
Secara ekonomis akan terjadi pengalihan anggaran ke kabupaten yang akan menghidupkan ekonomi daerah dan tumbuhnya salah satu mata rantai industri pencetakan. Bila Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bisa berfungsi untuk mendorong loncatan teknologi, ujian nasional SMP dan SMU bisa dilakukan dengan melalui e-exam dengan memberi kesempatan SMK komputer merakit infrastrukturnya.
Dengan demikian, tidak ada satu sen pun anggaran negara dikeluarkan tanpa mengaitkan dengan visi besar kemajuan bangsa. Guru-guru di daerah dipersilakan menjadi panitia, menjadi penguji menguji dan menunggui sendiri mungkin hanya perlu bertukar tempat antarsekolah, bisa murid atau bisa guru.
Yang diperlukan bukan hanya lulus dan tidak lulus (0-1) yang menjadi beban itu, melainkan bisa diarahkan untuk memperoleh sebaran data. Posisi siswa dinilai untuk keperluan pengembangan SDM. Peringkat yang diperlukan adalah peringkat individual yang harus merupakan kombinasi pengamatan selama sekolah (nilai rapor), dan nilai ujian nasional dikombinasikan dengan nilai sekolah.
Anak yang memperoleh peringkat A1 dan A2 dapat dikembangkan masuk ke universitas yang bersifat scientific. Nilai B1 dan B2 didorong masuk ke sekolah diploma dan sekolah vokasi. Nilai C1 dan seterusnya didorong untuk masuk di balai latihan kerja. Jangan dilupakan dalam membuat peringkat ini, anak-anak yang perlu dikembangkan ke sekolah pengusaha, mengingat kebutuhan untuk menjadi pengusaha yang akan menolong penyiapan pekerjaan bagi SDM yang disiapkan dari sisi pengembangan di atas.
Di samping ketentuan pemeringkatan individu, ujian negara juga dapat digunakan untuk memeringkat institusi sekolah. Sebagai contoh sekolah yang berhasil mendidik siswanya lulus 100% di kuartal 1 (nilai 9-10) sekolah tersebut adalah sekolah unggul yang berhak mengelola anggaran khusus untuk mempercepat kemajuan bangsa.
Untuk memperoleh predikat sekolah unggul perlu diwaspadai juga kemungkinan dengkulan yang bertujuan memperoleh anggaran yang besar. Di sini perlu suatu mekanisme uji ulang tentu saja di luar waktu dan sistem ujian nasional. Sebaliknya, sekolah yang mengalami degradasi bisa naik banding dengan jalan meminta uji ulang.
Dengan pemikiran di atas, fungsi ujian negara untuk ihwal yang bermanfaat seperti mengklasifikasi pengembangan SDM untuk kemajuan bangsa mengklasifikasi kualitas dan kinerja sekolah untuk mengelola anggaran akselerasi dan bukan yang basis akan lebih bermanfaat pada masa datang.
PROF BAMBANG SETIAJI
Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta
(mhd)