Caleg artis
A
A
A
Artis lagi, artis lagi. Demikianlah fenomena yang selalu muncul dalam event politik nasional lima tahunan, pemilihan umum (pemilu). Menghadapi Pemilu 2004, partai politik kembali menggunakan pesona mereka sebagai senjata untuk menarik simpati dan dukungan masyarakat.
Dalam daftar calon sementara (DCS) yang sudah diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), hampir semua parpol menyertakan artis dalam jajaran calon legislatif (caleg) mereka di antaranya Yenny Rahman dan Dede Yusuf (Partai Demokrat),Yessy Gusman dan Edo Kondologit (PDIP), Katon Bagaskara dan Ari Lasso (Partai Golkar), Mat Solar dan Angel Lelga (PPP), Arzetti Bilbina dan Akrie ‘Patrio’ (PKB), Lisa Natalia dan Gisel (PAN), David Chalik dan Andre Hehanusa (Hanura), serta Irwansyah dan Helmalia Putri (Gerindra).
Dalam politik yang berorientasi ‘how to get power’, langkah parpol merangkul artis sebagai hal wajar dan bisa dipahami. Parpol yang lolos pemilu berupaya memanfaatkan aneka strategi yang bisa mendongkrak elektabilitas mereka dan pada akhirnya meraup dukungan masyarakat sebanyak-banyaknya yang berkorelasi dengan suara yang peroleh di DPR dan besaran porsi kue kekuasaan di rezim yang akan mengendalikan pemerintahan.
Celakanya, kultur politik di Tanah Air sejauh ini masih berbasis visual. Masyarakat masih dan seringkali terjebak dengan figur populer yang seringkali mereka lihat. Sebaliknya ukuran-ukuran idealis seperti pemikiran, integritas, dan kompetensi masih jauh panggang dari api. Akibatnya, figur-figur yang sering mewarnai layar kaca entah karena peran keartisan mereka maupun karutmarut kehidupan rumah tangga mereka mempunyai peluang besar untuk memanfaatkannya.
Sedangkan di sisi lain, parpol selalu mampu membungkus kepentingan pragmatis di balik pencalegan artis dengan dalih sebagai implementasi partai terbuka yang memberi kesempatan kepada semua potensi bangsa dan dalih hak politik yang sama (equal) bagi artis untuk berpartisipasi secara aktif. Sekali lagi, strategi dan dalil yang disampaikan parpol bisa dipahami.
Tapi yang belum bisa dipahami, apakah dalam memilih artis parpol juga mempertimbangkan kepentingan yang lebih jauh yakni untuk masyarakat dan bangsa? Juga apakah artis yang akan diusung diyakini akan mampu mengemban tugas politik di parlemen?
Ada kesan parpol berlomba banyak-banyakan meraup artis tanpa adanya tolok ukur yang jelas artis dengan kualifikasi seperti apa yang patut dan layak dijadikan caleg seperti kematangan usia, latar belakang pendidikan, bahkan latar belakang kehidupan mereka selama ini. Kesan yang muncul, asal artis, oke. Jika demikian yang terjadi, kondisi yang terjadi saat ini di mana hanya segelintir artis-politisi yang mampu mewarnai parlemen akan kembali terjadi.
Artis baik yang berwajah cantik maupun ganteng, yang lucu maupun tidak lucu hanya akan duduki manis. Sebaliknya, masyarakat kembali terjebak dalam manipulasi popularitas karena tidak ada yang bisa diperjuangkan untuk mereka. Nasi sudah menjadi bubur. Harus dimafhumi bahwa seperti itulah perilaku parpol di Tanah Air yang memang cenderung pragmatis: semata berorientasi kekuasaan tanpa mau bekerja keras.
Mereka selalu menggunakan strategi politik yang paling gampang yakni memanfaatkan mereka yang sudah populer di dunia hiburan. Sekarang kembali ke masyarakat sendiri apakah rela menyerahkan mandatnya hanya karena sebatas alasan popularitas atau luapan halusinasi dunia hiburan.
Jika ternyata memang demikian, segala ‘kemempleman’ yang ditunjukkan parpol di Senayan sejatinya manifestasi dari keinginan masyarakat. Semoga ada perubahan!!.
Dalam daftar calon sementara (DCS) yang sudah diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), hampir semua parpol menyertakan artis dalam jajaran calon legislatif (caleg) mereka di antaranya Yenny Rahman dan Dede Yusuf (Partai Demokrat),Yessy Gusman dan Edo Kondologit (PDIP), Katon Bagaskara dan Ari Lasso (Partai Golkar), Mat Solar dan Angel Lelga (PPP), Arzetti Bilbina dan Akrie ‘Patrio’ (PKB), Lisa Natalia dan Gisel (PAN), David Chalik dan Andre Hehanusa (Hanura), serta Irwansyah dan Helmalia Putri (Gerindra).
Dalam politik yang berorientasi ‘how to get power’, langkah parpol merangkul artis sebagai hal wajar dan bisa dipahami. Parpol yang lolos pemilu berupaya memanfaatkan aneka strategi yang bisa mendongkrak elektabilitas mereka dan pada akhirnya meraup dukungan masyarakat sebanyak-banyaknya yang berkorelasi dengan suara yang peroleh di DPR dan besaran porsi kue kekuasaan di rezim yang akan mengendalikan pemerintahan.
Celakanya, kultur politik di Tanah Air sejauh ini masih berbasis visual. Masyarakat masih dan seringkali terjebak dengan figur populer yang seringkali mereka lihat. Sebaliknya ukuran-ukuran idealis seperti pemikiran, integritas, dan kompetensi masih jauh panggang dari api. Akibatnya, figur-figur yang sering mewarnai layar kaca entah karena peran keartisan mereka maupun karutmarut kehidupan rumah tangga mereka mempunyai peluang besar untuk memanfaatkannya.
Sedangkan di sisi lain, parpol selalu mampu membungkus kepentingan pragmatis di balik pencalegan artis dengan dalih sebagai implementasi partai terbuka yang memberi kesempatan kepada semua potensi bangsa dan dalih hak politik yang sama (equal) bagi artis untuk berpartisipasi secara aktif. Sekali lagi, strategi dan dalil yang disampaikan parpol bisa dipahami.
Tapi yang belum bisa dipahami, apakah dalam memilih artis parpol juga mempertimbangkan kepentingan yang lebih jauh yakni untuk masyarakat dan bangsa? Juga apakah artis yang akan diusung diyakini akan mampu mengemban tugas politik di parlemen?
Ada kesan parpol berlomba banyak-banyakan meraup artis tanpa adanya tolok ukur yang jelas artis dengan kualifikasi seperti apa yang patut dan layak dijadikan caleg seperti kematangan usia, latar belakang pendidikan, bahkan latar belakang kehidupan mereka selama ini. Kesan yang muncul, asal artis, oke. Jika demikian yang terjadi, kondisi yang terjadi saat ini di mana hanya segelintir artis-politisi yang mampu mewarnai parlemen akan kembali terjadi.
Artis baik yang berwajah cantik maupun ganteng, yang lucu maupun tidak lucu hanya akan duduki manis. Sebaliknya, masyarakat kembali terjebak dalam manipulasi popularitas karena tidak ada yang bisa diperjuangkan untuk mereka. Nasi sudah menjadi bubur. Harus dimafhumi bahwa seperti itulah perilaku parpol di Tanah Air yang memang cenderung pragmatis: semata berorientasi kekuasaan tanpa mau bekerja keras.
Mereka selalu menggunakan strategi politik yang paling gampang yakni memanfaatkan mereka yang sudah populer di dunia hiburan. Sekarang kembali ke masyarakat sendiri apakah rela menyerahkan mandatnya hanya karena sebatas alasan popularitas atau luapan halusinasi dunia hiburan.
Jika ternyata memang demikian, segala ‘kemempleman’ yang ditunjukkan parpol di Senayan sejatinya manifestasi dari keinginan masyarakat. Semoga ada perubahan!!.
(mhd)