Skandal UN
A
A
A
Jika murid-murid sekolah menengah atas (SMA) sedang mengadakan suatu gelaran yang pelaksanaannya nyaris gagal total, tentu khalayak tidak akan dibuat geram.
Justru masyarakat akan menilai kegagalan atau masalah yang dihadapi adalah suatu proses pembelajaran menuju kesempurnaan. Apresiasi pasti tetap akan dilontarkan kepada para murid SMA tersebut yang sudah mau bersusah-payah mempersiapkan gelaran yang meskipun pelaksanaannya nyaris gagal total. Namun, bagaimanakah jika pihak yang nyaris gagal total tersebut adalah kementerian yang mengempit anggaran terbesar ketiga dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) negara ini? Sudah sewajarnya kalau semua orang tak henti-hentinya mengutuk kegagalan itu.
Murid SMA menyiapkan suatu gelaran sebagai sambilan dari tugasnya sehari-hari sebagai siswa, namun birokrat kementerian mengerjakan tugasnya sebagai tugas utama dari negara. Sayangnya, hal itulah yang terjadi pada gelaran ujian nasional (UN) tingkat SMA pada 2013 yang semestinya dilaksanakan serentak di 33 provinsi. UN terpaksa ditunda di 11 provinsi akibat ketidakbecusan para birokrat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Penundaan diumumkan hanya sehari sebelum pelaksanaan UN yang menunjukkan mereka tidak paham bahwa tak semua para peserta ujian di 11 provinsi yang UNnya ditunda punya akses terhadap informasi dan serta-merta merusak persiapan mental siswa dalam menghadapi UN. Peserta tidak hanya diteror oleh UN yang sudah menjadi momok, tapi juga dirusak persiapan mentalnya dengan penundaan yang mendadak. Seperti bisa diduga, para birokrat itu akhirnya menyalahkan pencetakan lembar pertanyaan yang belum selesai sebagai biang keladi masalah yang dengan cepat menjadi isu nasional ini.
Masalah pun berlanjut dengan peristiwa tertukar-tukarnya soal dan berbagai masalah lain. Wajar saja jika publik bertanya, apakah para pemangku kebijakan di Kemendikbud sama sekali tidak memperhatikan berbagai indikasi yang muncul sebelum akhirnya UN di 11 provinsi ini gagal total? Setiap rencana pasti memiliki jadwal dan ketika realisasi sudah melenceng dari jadwal yang ditentukan, sudah seharusnya Kemendikbud menaikkan tanda bahaya.
Ada sebuah celetukan menarik dari seorang figur publik di dunia maya yang menyatakan bahkan di zaman kegelapan (masa Orba) saja UN tidak pernah ditunda, lalu kenapa bisa di zaman terang benderang dan era informasi ini UN bisa sampai ditunda. Janganlah beralasan sistem UN baru lebih rumit. Para birokrat Kemendikbud bukan seperti murid SMA yang secara mendadak oleh gurunya ditugaskan mengerjakan pekerjaan rumah yang dikumpulkan dalam beberapa hari sehingga hasilnya tidak maksimal.
Kemendikbud punya waktu setahun penuh, terhitung sejak pelaksanaan UN terakhir selesai dilaksanakan. Pun ketika ada indikasi kegagalan seharusnya sudah bisa diantisipasi beberapa bulan atau minimal beberapa minggu sebelumnya sehingga bisa dicarikan solusinya dan kalaupun tetap harus ditunda bisa dengan waktu pengumuman yang tidak mepet, katakanlah, dua minggu sebelum jadwal UN. Kegagalan ini sebuah pertunjukkan bahwa reformasi birokrasi di Indonesia masih jauh dari berhasil. Kejujuran jelas tak dijadikan poin penting ketika kegagalan disampaikan pada saat-saat genting.
Transparansi pun dipertanyakan ketika mulai muncul indikasi ketidakprofesionalan dalam urusan persiapan materi UN ini. Kasus besar seperti ini harus dijadikan pengingat bahwa masih banyak masalah dalam birokrasi pendidikan kita. Jangan sampai bidang yang sangat penting sebagai pondasi kemajuan bangsa ini diurus sekenanya. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh harus bisa memastikan kelancaran pelaksanaan UN susulan dan memastikan skandal seperti ini tak terulang.
Justru masyarakat akan menilai kegagalan atau masalah yang dihadapi adalah suatu proses pembelajaran menuju kesempurnaan. Apresiasi pasti tetap akan dilontarkan kepada para murid SMA tersebut yang sudah mau bersusah-payah mempersiapkan gelaran yang meskipun pelaksanaannya nyaris gagal total. Namun, bagaimanakah jika pihak yang nyaris gagal total tersebut adalah kementerian yang mengempit anggaran terbesar ketiga dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) negara ini? Sudah sewajarnya kalau semua orang tak henti-hentinya mengutuk kegagalan itu.
Murid SMA menyiapkan suatu gelaran sebagai sambilan dari tugasnya sehari-hari sebagai siswa, namun birokrat kementerian mengerjakan tugasnya sebagai tugas utama dari negara. Sayangnya, hal itulah yang terjadi pada gelaran ujian nasional (UN) tingkat SMA pada 2013 yang semestinya dilaksanakan serentak di 33 provinsi. UN terpaksa ditunda di 11 provinsi akibat ketidakbecusan para birokrat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Penundaan diumumkan hanya sehari sebelum pelaksanaan UN yang menunjukkan mereka tidak paham bahwa tak semua para peserta ujian di 11 provinsi yang UNnya ditunda punya akses terhadap informasi dan serta-merta merusak persiapan mental siswa dalam menghadapi UN. Peserta tidak hanya diteror oleh UN yang sudah menjadi momok, tapi juga dirusak persiapan mentalnya dengan penundaan yang mendadak. Seperti bisa diduga, para birokrat itu akhirnya menyalahkan pencetakan lembar pertanyaan yang belum selesai sebagai biang keladi masalah yang dengan cepat menjadi isu nasional ini.
Masalah pun berlanjut dengan peristiwa tertukar-tukarnya soal dan berbagai masalah lain. Wajar saja jika publik bertanya, apakah para pemangku kebijakan di Kemendikbud sama sekali tidak memperhatikan berbagai indikasi yang muncul sebelum akhirnya UN di 11 provinsi ini gagal total? Setiap rencana pasti memiliki jadwal dan ketika realisasi sudah melenceng dari jadwal yang ditentukan, sudah seharusnya Kemendikbud menaikkan tanda bahaya.
Ada sebuah celetukan menarik dari seorang figur publik di dunia maya yang menyatakan bahkan di zaman kegelapan (masa Orba) saja UN tidak pernah ditunda, lalu kenapa bisa di zaman terang benderang dan era informasi ini UN bisa sampai ditunda. Janganlah beralasan sistem UN baru lebih rumit. Para birokrat Kemendikbud bukan seperti murid SMA yang secara mendadak oleh gurunya ditugaskan mengerjakan pekerjaan rumah yang dikumpulkan dalam beberapa hari sehingga hasilnya tidak maksimal.
Kemendikbud punya waktu setahun penuh, terhitung sejak pelaksanaan UN terakhir selesai dilaksanakan. Pun ketika ada indikasi kegagalan seharusnya sudah bisa diantisipasi beberapa bulan atau minimal beberapa minggu sebelumnya sehingga bisa dicarikan solusinya dan kalaupun tetap harus ditunda bisa dengan waktu pengumuman yang tidak mepet, katakanlah, dua minggu sebelum jadwal UN. Kegagalan ini sebuah pertunjukkan bahwa reformasi birokrasi di Indonesia masih jauh dari berhasil. Kejujuran jelas tak dijadikan poin penting ketika kegagalan disampaikan pada saat-saat genting.
Transparansi pun dipertanyakan ketika mulai muncul indikasi ketidakprofesionalan dalam urusan persiapan materi UN ini. Kasus besar seperti ini harus dijadikan pengingat bahwa masih banyak masalah dalam birokrasi pendidikan kita. Jangan sampai bidang yang sangat penting sebagai pondasi kemajuan bangsa ini diurus sekenanya. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh harus bisa memastikan kelancaran pelaksanaan UN susulan dan memastikan skandal seperti ini tak terulang.
(stb)