Singa yang terbang lebih tinggi dari Burung Garuda!
A
A
A
PAGI hari yang cerah di Jakarta, pertengahan Maret, saya ditelepon wartawan Kantor Berita Prancis yang ingin memperoleh tanggapan atau komentar mengenai pembelian 234 pesawat Airbus oleh Lion Air.
Agak sedikit terkejut, walau beberapa waktu lalu telah sempat juga mendengar kabar burung tentang hal tersebut. Pada 18 November 2011, Rusdi Kirana, co-founder dan CEO Lion Air Group, menandatangani kontrak pembelian 230 pesawat Boeing senilai USD21,7 miliar atau setara dengan lebih kurang Rp195,2 triliun. Satu angka yang fantastis dan sempat disebut sebagai yang terbesar sepanjang sejarah pabrik pesawat terbang Boeing.
Salah satu kantor berita ternama di Amerika bahkan mengatakannya sebagai “the largest contracts in commercial aviation history”. Tidak kurang dari orang nomor satu Amerika, Presiden Obama, turut hadir dalam upacara penandatanganan itu dan menyebutnya sebagai: ”Penandatanganan ini merupakan contoh hebat peluang perdagangan, investasi dan komersial di kawasan Pasifik”, ditambahkan pula bahwa “ini akan menciptakan lebih dari 100.000 lapangan kerja di Amerika Serikat untuk jangka waktu panjang.”
Sungguh luar biasa. Indonesia mencuat namanya di panggung bisnis penerbangan global dengan peristiwa itu. Tidak berlangsung lama, yaitu pada tanggal yang sama 18, namun kali ini Maret 2013, BBC menurunkan berita: “Prancis mengumumkan bahwa maskapai penerbangan berbiaya murah Indonesia, Lion Air, memecahkan rekor dengan memesan 234 pesawat jet penumpang dari Airbus.”
Kantor Kepresidenan Prancis mengatakan bahwa perjanjian dengan Lion Air yang bernilai USD23,8 miliar adalah yang terbesar dalam sejarah Airbus. Tidak mau kalah dengan rivalnya Boeing, penandatanganan kontrak pembelian 234 pesawat Airbus ini disaksikan juga oleh Presiden Prancis Franciois Hollande. Ia pun berkata bahwa dengan kontrak ini, Lion Air telah memberikan peluang kerja kepada lebih dari 5.000 orang di Prancis untuk waktu 10 tahun ke depan.
Dua berita ini seolah memberikan gambaran, betapa Rusdi Kirana (RK) dengan Lion Air-nya ternyata memiliki visi yang telah jauh meninggalkan visi dari negerinya sendiri. Di tengah-tengah amburadulnya banyak bandara di Indonesia yang sudah overkapasitas dan pengaturan lalu lintas udaranya yang tengah kewalahan menghadapi lonjakan frekuensi penerbangan, Lion Air membeli ratusan pesawat berbadan lebar dari dua pabrik pesawat terbang terbesar di dunia, Boeing dan Airbus.
Tidak pernah terjadi sebelumnya, ada satu maskapai penerbangan dari satu negara yang dapat memperoleh kepercayaan begitu besar dari pabrik pesawat terbang sekelas Boeing dan Airbus! RK dengan Lion Airnya seolah berkata, bahwa bila ia harus menunggu Bandara Soekarno-Hatta sampai bisa menjadi setara dengan Changi (untuk membeli pesawat), maka ia akan jauh terlambat dalam persaingan bisnis penerbangan komersial di muka bumi ini.
Dia bergerak “cepat sekali”, dari mulai berdiri di tahun 1999 dengan hanya bermodalkan satu pesawat, kini sudah mulai meninggalkan semua maskapai yang ada di Indonesia! Pada tahun 2007, (saat begitu banyak kecelakaan terjadi) sampai dengan saat ini, Negara Kesatuan Republik Indonesia diturunkan tingkatnya oleh FAA, Federal Aviation Administration, otoritas penerbangan AS yang sangat besar pengaruhnya, ke kategori 2 yang mengacu pada regulasi standar keamanan terbang internasional seperti yang ditentukan oleh ICAO, International Civil Aviation Organization.
Artinya adalah Indonesia dinilai belum dapat memenuhi syarat standar keamanan terbang internasional. Berkaitan dengan itu pula, Otoritas Penerbangan Uni Eropa yang bermarkas besar di Brussel menjatuhkan sanksi kepada seluruh maskapai Indonesia (sekarang sudah diizinkan beberapa di antaranya) untuk terbang ke Eropa. Demikian pula dikeluarkan aturan bagi warga Eropa untuk menghindarkan diri dalam bepergian menggunakan maskapai penerbangan Indonesia yang dinilai sebagai “tidak aman”.
Begitu parahnya kondisi dunia penerbangan kita sejak 2007 di bawah penilaian internasional. Sangat berlawanan dengan penilaian tentang “aviation safety standard” atau standar keamanan terbang, ternyata ada seorang dari Indonesia yang memperoleh kepercayaan luar biasa, menandatangani kontrak miliaran dolar untuk ratusan pesawat dari dua negara besar, Amerika Serikat, markasnya FAA dan Prancis, negara paling berpengaruh di Uni Eropa.
Hal ini tentu saja memberikan konfirmasi atau bahkan memberikan kesan yang meyakinkan bahwa standar keamanan terbang internasional sama sekali tidak ada hubungannya dengan bisnis miliaran dolar.
Peristiwa ini benar-benar telah menyulitkan saya untuk bersikap, apakah harus “kagum” atau harus “heran”? Tidak menjadi penting lagi pertanyaan-pertanyaan seperti “siapa di belakang RK atau Lion Air?” atau “apakah infrastruktur kita nantinya akan dapat melayani ratusan pesawat yang akan datang itu?” dan banyak pertanyaan lainnya.
Satu-satunya yang harus dan mungkin masih relevan untuk dipertanyakan barangkali adalah, apakah masih ada yang peduli dengan tingkat keamanan terbang di negeri ini? Namun dari semua itu, kiranya kita akan terhibur juga dengan kenyataan hadirnya satu lagi keajaiban dunia di Indonesia. Ada Singa yang mampu terbang jauh lebih tinggi dari Sang Burung Garuda!
Menutup pembicaraan telepon dengan wartawan Kantor Berita Prancis tadi yang menanyakan tentang harapan saya ke depan tentang penerbangan di Indonesia, saya hanya dapat berkata: Mudah-mudahan dunia penerbangan kita dapat semakin maju, dan segera mampu meningkatkan diri ke kategori 1 yang bermakna memiliki kualitas memenuhi syarat keamanan terbang internasional seperti yang ditentukan dalam regulasi ICAO.
CHAPPY HAKIM
Pencinta penerbangan
Agak sedikit terkejut, walau beberapa waktu lalu telah sempat juga mendengar kabar burung tentang hal tersebut. Pada 18 November 2011, Rusdi Kirana, co-founder dan CEO Lion Air Group, menandatangani kontrak pembelian 230 pesawat Boeing senilai USD21,7 miliar atau setara dengan lebih kurang Rp195,2 triliun. Satu angka yang fantastis dan sempat disebut sebagai yang terbesar sepanjang sejarah pabrik pesawat terbang Boeing.
Salah satu kantor berita ternama di Amerika bahkan mengatakannya sebagai “the largest contracts in commercial aviation history”. Tidak kurang dari orang nomor satu Amerika, Presiden Obama, turut hadir dalam upacara penandatanganan itu dan menyebutnya sebagai: ”Penandatanganan ini merupakan contoh hebat peluang perdagangan, investasi dan komersial di kawasan Pasifik”, ditambahkan pula bahwa “ini akan menciptakan lebih dari 100.000 lapangan kerja di Amerika Serikat untuk jangka waktu panjang.”
Sungguh luar biasa. Indonesia mencuat namanya di panggung bisnis penerbangan global dengan peristiwa itu. Tidak berlangsung lama, yaitu pada tanggal yang sama 18, namun kali ini Maret 2013, BBC menurunkan berita: “Prancis mengumumkan bahwa maskapai penerbangan berbiaya murah Indonesia, Lion Air, memecahkan rekor dengan memesan 234 pesawat jet penumpang dari Airbus.”
Kantor Kepresidenan Prancis mengatakan bahwa perjanjian dengan Lion Air yang bernilai USD23,8 miliar adalah yang terbesar dalam sejarah Airbus. Tidak mau kalah dengan rivalnya Boeing, penandatanganan kontrak pembelian 234 pesawat Airbus ini disaksikan juga oleh Presiden Prancis Franciois Hollande. Ia pun berkata bahwa dengan kontrak ini, Lion Air telah memberikan peluang kerja kepada lebih dari 5.000 orang di Prancis untuk waktu 10 tahun ke depan.
Dua berita ini seolah memberikan gambaran, betapa Rusdi Kirana (RK) dengan Lion Air-nya ternyata memiliki visi yang telah jauh meninggalkan visi dari negerinya sendiri. Di tengah-tengah amburadulnya banyak bandara di Indonesia yang sudah overkapasitas dan pengaturan lalu lintas udaranya yang tengah kewalahan menghadapi lonjakan frekuensi penerbangan, Lion Air membeli ratusan pesawat berbadan lebar dari dua pabrik pesawat terbang terbesar di dunia, Boeing dan Airbus.
Tidak pernah terjadi sebelumnya, ada satu maskapai penerbangan dari satu negara yang dapat memperoleh kepercayaan begitu besar dari pabrik pesawat terbang sekelas Boeing dan Airbus! RK dengan Lion Airnya seolah berkata, bahwa bila ia harus menunggu Bandara Soekarno-Hatta sampai bisa menjadi setara dengan Changi (untuk membeli pesawat), maka ia akan jauh terlambat dalam persaingan bisnis penerbangan komersial di muka bumi ini.
Dia bergerak “cepat sekali”, dari mulai berdiri di tahun 1999 dengan hanya bermodalkan satu pesawat, kini sudah mulai meninggalkan semua maskapai yang ada di Indonesia! Pada tahun 2007, (saat begitu banyak kecelakaan terjadi) sampai dengan saat ini, Negara Kesatuan Republik Indonesia diturunkan tingkatnya oleh FAA, Federal Aviation Administration, otoritas penerbangan AS yang sangat besar pengaruhnya, ke kategori 2 yang mengacu pada regulasi standar keamanan terbang internasional seperti yang ditentukan oleh ICAO, International Civil Aviation Organization.
Artinya adalah Indonesia dinilai belum dapat memenuhi syarat standar keamanan terbang internasional. Berkaitan dengan itu pula, Otoritas Penerbangan Uni Eropa yang bermarkas besar di Brussel menjatuhkan sanksi kepada seluruh maskapai Indonesia (sekarang sudah diizinkan beberapa di antaranya) untuk terbang ke Eropa. Demikian pula dikeluarkan aturan bagi warga Eropa untuk menghindarkan diri dalam bepergian menggunakan maskapai penerbangan Indonesia yang dinilai sebagai “tidak aman”.
Begitu parahnya kondisi dunia penerbangan kita sejak 2007 di bawah penilaian internasional. Sangat berlawanan dengan penilaian tentang “aviation safety standard” atau standar keamanan terbang, ternyata ada seorang dari Indonesia yang memperoleh kepercayaan luar biasa, menandatangani kontrak miliaran dolar untuk ratusan pesawat dari dua negara besar, Amerika Serikat, markasnya FAA dan Prancis, negara paling berpengaruh di Uni Eropa.
Hal ini tentu saja memberikan konfirmasi atau bahkan memberikan kesan yang meyakinkan bahwa standar keamanan terbang internasional sama sekali tidak ada hubungannya dengan bisnis miliaran dolar.
Peristiwa ini benar-benar telah menyulitkan saya untuk bersikap, apakah harus “kagum” atau harus “heran”? Tidak menjadi penting lagi pertanyaan-pertanyaan seperti “siapa di belakang RK atau Lion Air?” atau “apakah infrastruktur kita nantinya akan dapat melayani ratusan pesawat yang akan datang itu?” dan banyak pertanyaan lainnya.
Satu-satunya yang harus dan mungkin masih relevan untuk dipertanyakan barangkali adalah, apakah masih ada yang peduli dengan tingkat keamanan terbang di negeri ini? Namun dari semua itu, kiranya kita akan terhibur juga dengan kenyataan hadirnya satu lagi keajaiban dunia di Indonesia. Ada Singa yang mampu terbang jauh lebih tinggi dari Sang Burung Garuda!
Menutup pembicaraan telepon dengan wartawan Kantor Berita Prancis tadi yang menanyakan tentang harapan saya ke depan tentang penerbangan di Indonesia, saya hanya dapat berkata: Mudah-mudahan dunia penerbangan kita dapat semakin maju, dan segera mampu meningkatkan diri ke kategori 1 yang bermakna memiliki kualitas memenuhi syarat keamanan terbang internasional seperti yang ditentukan dalam regulasi ICAO.
CHAPPY HAKIM
Pencinta penerbangan
(hyk)