Pasca-Mahfud dan Pasca-MK
A
A
A
Besar atau kecil, Prof Mahfud MD sudah memberikan sesuatu dampak yang menarik dalam kiprahnya sebagai hakim konstitusi dan ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Dalam kapasitas ketua MK, Prof Mahfud sangat banyak mewarnai diskursus penegakan hukum. Banyak apresiasi walaupun tidak bisa dinafikan ada kritisi bahkan yang bersifat insinuasi. Dalam posisi di tengah ‘berbagai cahaya lampu’ wacana penegakan hukum, Prof Mahfud akan meninggalkan MK karena masa jabatan yang habis.
Saya termasuk yang percaya bahwa sangat mungkin Prof Mahfud akan memperoleh kesempatan yang kedua di MK. Pilihan yang harus dihormati tentunya. Pada saat yang sama, akan ada berbagai pertanyaan besar di kisaran dua hal dari habisnya masa jabatan Prof Mahfud. Pertama, bagaimana MK pasca- Prof Mahfud? Kedua, bagaimana Prof Mahfud pasca-berhenti sebagai ketua MK?
MK Pasca-Mahfud
Saya orang yang bersyukur karena ada Prof Mahfud di MK. Prof Mahfud, dalam beberapa kesempatan dan tentunya juga atas dukungan hakim-hakim MK lainnya, membawa MK menjadi solusi dari beberapa persoalan. Prof Mahfud dalam berbagai kesempatan tersebut telah ‘menggunakan’ nama MK untuk mengambil, menganalisis, dan mengomentari berbagai hal dalam konteks penegakan hukum dan problema politik di republik ini.
Di tengah berbagai hal “buntu” penegakan hukum seringkali Prof Mahfud mengambil posisi yang sangat dekat dengan kepentingan publik. Karena itu, para pencari keadilan sering melihat Prof Mahfud sebagai tawaran oase di tengah tandusnya penegakan hukum. Tingkah dan laku ini tentu tidak jauh dari kondisi Indonesia yang seringkali para pejabat tingginya tidak bersiap menyediakan solusi, tetapi lebih sering sebagai sumber masalah.
Hukum yang dilaksanakan para politisi yang menjadi pejabat publik sangat sering membuat hukum tersakiti. Bahkan ketika ada proses penegakan hukum atas tindakan itu, kembali seringkali uang dan pengaruh politik membunuh penegakan hukum yang seharusnya. Lagi perihal Indonesia, masalah besar politik hukum dan pelbagai persoalan yang berkelindan di antaranya memang berada pada ranah memusingkan sekaligus mencemaskan.
Kondisi yang mirip perkataan dalam analisis Zamboni bahwa substansi hukum tidak akan mungkin sepenuhnya independen dari kepentingan para pelaku politik. Organisasi politik dan aktor-aktor politik di parlemen dan pemerintahan akan sangat memengaruhi substansi dari suatu norma hukum. Dalam bahasa Roberto M Unger, ia sebut sebagai bureaucratic law, model hukum yang tersubordinasi di bawah kepentingan birokrasi kekuasaan dan institusi kapital.
Maka itu terjadi klientalistik dan begitu banyak pencarian rente (rent seeking) oleh para aktor berwajah negara yang menjadikan negara bayangan (pseudo state). Saya kira, sebagai ketua MK, Prof Mahfud sadar benar dalam kondisi itu. Maka itu, ia berteriak lantang dengan banalitas politik yang terus-menerus mengorupsi dan menggerus penegakan hukum dengan menggunakan “posisi tinggi” sebagai ketua MK.
Hampir tak ada ruang dalam sistem pemerintahan negara yang tidak dihampiri oleh suaranya. Pola-pola hubungan antarinstitusi negara boleh jadi sering terusik dan panas mendengar kritikan dan catatan Prof Mahfud. Paling tidak bisa diindikasikan dari berbagai komentar yang pernah dikeluarkan oleh pejabat- pejabat negara yang terkena sindiran Prof Mahfud lalu dengan lantang balik menyerang Prof Mahfud.
Tetapi, tentu saja, tindakan Prof Mahfud bukan tanpa catatan yang seharusnya diberikan garis yang tebal. Entah sadar atau tidak, posisi Prof Mahfud sebagai hakim konstitusi membuat posisinya tidak bisa berbicara lepas selayaknya seorang pengamat. Dalam hal yang sangat potensial untuk menjadi perkara di MK, Prof Mahfud tentu dalam posisi yang sulit untuk berbicara dalam langgam tradisi intelektualnya ataukah kewajiban keprofesionalan sebagai hakim konstitusi.
Dalam hal tertentu, beberapa komentar Prof Mahfud sesungguhnya merupakan komentar yang menjadi tidak pas karena pada saat yang sama sangat mungkin hal tersebut akan menjadi sengketa di MK. Posisi yang sulit tentu karena MK itu merupakan lembaga peradilan hukum yang menyelesaikan banyak sengketa politik. Pada saat yang sama, wilayah keintelektualan Prof Mahfud memang berdiri di antara dua kaki tersebut, politik dan hukum.
Berdiri di dua kaki membuat Prof Mahfud sering melakukan pendekatan yang kurang lazim. Berbahasa politik meski dengan suara hukum. Pendekatan yang terkadang menyelesaikan masalah, tetapi sangat potensial mendatangkan masalah baru. Sepeninggal Prof Mahfud, menarik untuk membayangkan apa yang akan diperankan MK selanjutnya.
Tentu ini tugas para hakim saat ini, tetapi dalam harapan tentu saja kita tetap berharap ada hakim di MK yang mau, tetapi berbicara dalam kepentingan publik dan melakukan pembelaan publik. Meskipun pada saat yang sama harus lebih berhati-hati atas potensi berbicara hal yang tidak pas dan pantas selaku hakim konstitusi.
Mahfud Pasca-MK
Lain hal adalah apa yang akan dilakukan Prof Mahfud pasca-ketua MK. Dalam berhadapan dengan ini, kesadaran Prof Mahfud tentu menjadi sangat mungkin menjadi gamang. Jika mau terus melanjutkan pilihan metodis dia dalam memperbaiki kehidupan hukum di Indonesia, dia butuh “posisi tinggi” baru untuk mengganti posisi ketua MK yang sudah tidak dia jabat lagi.
Jika mau melanjutkan bakti menjadi pendorong perubahan yang terus meneriakkan lagu berbagai hal, tentu dia harus punya posisi yang pas dan rasanya itu hanya bisa dilakukan ketika berdekatan dengan partai politik. Menjadi apa pun kuasa negara di negeri ini harus “menikahi” partai politik. Padahal, dalam banyak hal, partai poltik lebih sering menjadi problem daripada solusi.
Jika memang Prof Mahfud akan melanjutkan posisi sebagai kuasa negara semisal melalui presiden atau wakil presiden, tentu Prof Mahfud akan kesulitan melanjutkan teriakan-teriakannya. Di MK sangat nikmat untuk melagukan itu karena memang sangat bercorak yang sama.
Tetapi dengan posisi sekarang, melanjutkan tradisi tersebut akan membuatnya semakin membuka jarak dengan pelakupelaku masalah, semisal partai dan kelompok kepentingan yang mereka inilah yang memiliki pengaruh cukup kuat untuk mengantarkan seseorang menjadi posisi kuasa negara. Ini memang akan menjadi tantangan besar untuk Prof Mahfud.
Hidup mengalirnya telah mengantarkan ke berbagai posisi yang sudah dia gunakan cukup baik dalam memihak publik, akankah terus mengalir hingga RI-1 atau RI-2? Tentu tak ada yang tahu minat sesungguhnya dari Prof Mahfud. Tetapi jika benar beriktikad menuju ke sana, mau tidak mau Prof Mahfud harus membangun kemandirian atas konsep politik yang membelenggu pemimpinnya.
Terserah apa pun caranya. Karena tanpa kemandirian itu, Prof Mahfud akan tidak lagi leluasa menjadi kebenaran, tetapi akan menjadi berposisi diametral dengan para pencari kebenaran. Hampir tak ada ruang dalam sistem pemerintahan negara yang tidak dihampiri oleh suaranya. Pola-pola hubungan antarinstitusi negara boleh jadi sering terusik dan panas mendengar kritikan dan catatan Prof Mahfud.
●ZAINAL ARIFIN MOCHTAR Pengajar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Dalam kapasitas ketua MK, Prof Mahfud sangat banyak mewarnai diskursus penegakan hukum. Banyak apresiasi walaupun tidak bisa dinafikan ada kritisi bahkan yang bersifat insinuasi. Dalam posisi di tengah ‘berbagai cahaya lampu’ wacana penegakan hukum, Prof Mahfud akan meninggalkan MK karena masa jabatan yang habis.
Saya termasuk yang percaya bahwa sangat mungkin Prof Mahfud akan memperoleh kesempatan yang kedua di MK. Pilihan yang harus dihormati tentunya. Pada saat yang sama, akan ada berbagai pertanyaan besar di kisaran dua hal dari habisnya masa jabatan Prof Mahfud. Pertama, bagaimana MK pasca- Prof Mahfud? Kedua, bagaimana Prof Mahfud pasca-berhenti sebagai ketua MK?
MK Pasca-Mahfud
Saya orang yang bersyukur karena ada Prof Mahfud di MK. Prof Mahfud, dalam beberapa kesempatan dan tentunya juga atas dukungan hakim-hakim MK lainnya, membawa MK menjadi solusi dari beberapa persoalan. Prof Mahfud dalam berbagai kesempatan tersebut telah ‘menggunakan’ nama MK untuk mengambil, menganalisis, dan mengomentari berbagai hal dalam konteks penegakan hukum dan problema politik di republik ini.
Di tengah berbagai hal “buntu” penegakan hukum seringkali Prof Mahfud mengambil posisi yang sangat dekat dengan kepentingan publik. Karena itu, para pencari keadilan sering melihat Prof Mahfud sebagai tawaran oase di tengah tandusnya penegakan hukum. Tingkah dan laku ini tentu tidak jauh dari kondisi Indonesia yang seringkali para pejabat tingginya tidak bersiap menyediakan solusi, tetapi lebih sering sebagai sumber masalah.
Hukum yang dilaksanakan para politisi yang menjadi pejabat publik sangat sering membuat hukum tersakiti. Bahkan ketika ada proses penegakan hukum atas tindakan itu, kembali seringkali uang dan pengaruh politik membunuh penegakan hukum yang seharusnya. Lagi perihal Indonesia, masalah besar politik hukum dan pelbagai persoalan yang berkelindan di antaranya memang berada pada ranah memusingkan sekaligus mencemaskan.
Kondisi yang mirip perkataan dalam analisis Zamboni bahwa substansi hukum tidak akan mungkin sepenuhnya independen dari kepentingan para pelaku politik. Organisasi politik dan aktor-aktor politik di parlemen dan pemerintahan akan sangat memengaruhi substansi dari suatu norma hukum. Dalam bahasa Roberto M Unger, ia sebut sebagai bureaucratic law, model hukum yang tersubordinasi di bawah kepentingan birokrasi kekuasaan dan institusi kapital.
Maka itu terjadi klientalistik dan begitu banyak pencarian rente (rent seeking) oleh para aktor berwajah negara yang menjadikan negara bayangan (pseudo state). Saya kira, sebagai ketua MK, Prof Mahfud sadar benar dalam kondisi itu. Maka itu, ia berteriak lantang dengan banalitas politik yang terus-menerus mengorupsi dan menggerus penegakan hukum dengan menggunakan “posisi tinggi” sebagai ketua MK.
Hampir tak ada ruang dalam sistem pemerintahan negara yang tidak dihampiri oleh suaranya. Pola-pola hubungan antarinstitusi negara boleh jadi sering terusik dan panas mendengar kritikan dan catatan Prof Mahfud. Paling tidak bisa diindikasikan dari berbagai komentar yang pernah dikeluarkan oleh pejabat- pejabat negara yang terkena sindiran Prof Mahfud lalu dengan lantang balik menyerang Prof Mahfud.
Tetapi, tentu saja, tindakan Prof Mahfud bukan tanpa catatan yang seharusnya diberikan garis yang tebal. Entah sadar atau tidak, posisi Prof Mahfud sebagai hakim konstitusi membuat posisinya tidak bisa berbicara lepas selayaknya seorang pengamat. Dalam hal yang sangat potensial untuk menjadi perkara di MK, Prof Mahfud tentu dalam posisi yang sulit untuk berbicara dalam langgam tradisi intelektualnya ataukah kewajiban keprofesionalan sebagai hakim konstitusi.
Dalam hal tertentu, beberapa komentar Prof Mahfud sesungguhnya merupakan komentar yang menjadi tidak pas karena pada saat yang sama sangat mungkin hal tersebut akan menjadi sengketa di MK. Posisi yang sulit tentu karena MK itu merupakan lembaga peradilan hukum yang menyelesaikan banyak sengketa politik. Pada saat yang sama, wilayah keintelektualan Prof Mahfud memang berdiri di antara dua kaki tersebut, politik dan hukum.
Berdiri di dua kaki membuat Prof Mahfud sering melakukan pendekatan yang kurang lazim. Berbahasa politik meski dengan suara hukum. Pendekatan yang terkadang menyelesaikan masalah, tetapi sangat potensial mendatangkan masalah baru. Sepeninggal Prof Mahfud, menarik untuk membayangkan apa yang akan diperankan MK selanjutnya.
Tentu ini tugas para hakim saat ini, tetapi dalam harapan tentu saja kita tetap berharap ada hakim di MK yang mau, tetapi berbicara dalam kepentingan publik dan melakukan pembelaan publik. Meskipun pada saat yang sama harus lebih berhati-hati atas potensi berbicara hal yang tidak pas dan pantas selaku hakim konstitusi.
Mahfud Pasca-MK
Lain hal adalah apa yang akan dilakukan Prof Mahfud pasca-ketua MK. Dalam berhadapan dengan ini, kesadaran Prof Mahfud tentu menjadi sangat mungkin menjadi gamang. Jika mau terus melanjutkan pilihan metodis dia dalam memperbaiki kehidupan hukum di Indonesia, dia butuh “posisi tinggi” baru untuk mengganti posisi ketua MK yang sudah tidak dia jabat lagi.
Jika mau melanjutkan bakti menjadi pendorong perubahan yang terus meneriakkan lagu berbagai hal, tentu dia harus punya posisi yang pas dan rasanya itu hanya bisa dilakukan ketika berdekatan dengan partai politik. Menjadi apa pun kuasa negara di negeri ini harus “menikahi” partai politik. Padahal, dalam banyak hal, partai poltik lebih sering menjadi problem daripada solusi.
Jika memang Prof Mahfud akan melanjutkan posisi sebagai kuasa negara semisal melalui presiden atau wakil presiden, tentu Prof Mahfud akan kesulitan melanjutkan teriakan-teriakannya. Di MK sangat nikmat untuk melagukan itu karena memang sangat bercorak yang sama.
Tetapi dengan posisi sekarang, melanjutkan tradisi tersebut akan membuatnya semakin membuka jarak dengan pelakupelaku masalah, semisal partai dan kelompok kepentingan yang mereka inilah yang memiliki pengaruh cukup kuat untuk mengantarkan seseorang menjadi posisi kuasa negara. Ini memang akan menjadi tantangan besar untuk Prof Mahfud.
Hidup mengalirnya telah mengantarkan ke berbagai posisi yang sudah dia gunakan cukup baik dalam memihak publik, akankah terus mengalir hingga RI-1 atau RI-2? Tentu tak ada yang tahu minat sesungguhnya dari Prof Mahfud. Tetapi jika benar beriktikad menuju ke sana, mau tidak mau Prof Mahfud harus membangun kemandirian atas konsep politik yang membelenggu pemimpinnya.
Terserah apa pun caranya. Karena tanpa kemandirian itu, Prof Mahfud akan tidak lagi leluasa menjadi kebenaran, tetapi akan menjadi berposisi diametral dengan para pencari kebenaran. Hampir tak ada ruang dalam sistem pemerintahan negara yang tidak dihampiri oleh suaranya. Pola-pola hubungan antarinstitusi negara boleh jadi sering terusik dan panas mendengar kritikan dan catatan Prof Mahfud.
●ZAINAL ARIFIN MOCHTAR Pengajar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
(kri)