PSO KRL perlu koreksi
A
A
A
Tepat 1 April kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek beroperasi selama 22 jam sehari. Ini bukan April Mop di mana setiap tanggal 1 April orang boleh berbohong atau memberi lelucon (April Fool’s Day) yang sudah dipraktikkan di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Pelayanan KRL yang nyaris nonstop tersebut sebagai wujud apresiasi KAI terhadap animo masyarakat yang begitu besar memanfaatkan sarana transportasi massal, terutama bagi masyarakat yang bermukim di wilayah penyangga Jakarta. Penambahan jam pengoperasian KRL tersebut telah mendongkrak jumlah perjalanan dari 514 menjadi 575 perjalanan setiap hari.
Sejak kemarin pengguna KRL dari Stasiun Bogor untuk perjalanan pertama berangkat pukul 04.00 WIB, Stasiun Bekasi KRL bertolak pukul 05.27 WIB. Sedangkan penumpang yang memulai perjalanan dari Stasiun Tangerang sekitar pukul 05.30 WIB dan penumpang yang naik dari Stasiun Maja via Serpong berangkat pukul 05.40 WIB.
Sebaliknya, penumpang yang akan menggunakan jadwal keberangkatan terakhir dari Stasiun Jakarta Kota menuju Bogor, KAI menyediakan jadwal pukul 00.25 WIB dan tiba di Stasiun Bogor sekitar pukul 01.46 WIB.
Adapun jadwal KRL pemberangkatan terakhir tujuan Serpong pukul 23.30 WIB dan di tujuan sekitar pukul 00.05 WIB. Saat ini perjalanan KRL untuk lintas Bogor-Jakarta dari 229 perjalanan menjadi 266 perjalanan per hari.
Bagi penumpang Stasiun Jakarta Kota menuju Bekasi KRL terakhir pukul 22.25 WIB dan tiba di Stasiun Bekasi pada pukul 23.09 WIB. Perjalanan KRL lintas Bekasi–Jakarta meningkat dari 84 menjadi 103 perjalanan per hari.
”Ini upaya sangat besar melayani animo masyarakat Jabodetabek pengguna KRL dengan lebih nyaman dan sesuai kebutuhan,” kata Direktur Utama KAI Ignasius Jonan saat menjelaskan penambahan jam operasi KRL kemarin.
Kinerja manajemen KAI belakangan ini memang layak diberi apresiasi meski tak sedikit menimbulkan kontra terhadap konsumen transportasi massal tersebut. Seperti aksi penolakan terhadap rencana KAI menarik secara bertahap KRL ekonomi non-AC yang sempat melumpuhkan perjalanan KRL di Stasiun Bekasi.
Aksi ratusan penumpang yang tergabung dalam Keluarga Besar KRL Lintas Serpong-Tanah Abang dengan menggelar aksi pengumpulan koin dan tanda tangan sebagai bentuk penolakan.
Secara halus petinggi KAI menjelaskan bahwa tidak ada niat menghapus KRL ekonomi non-AC, tapi memaksimalkan kondisi KRL yang ada demi memenuhi standar pelayanan minimum yang ditentukan Kementerian Perhubungan.
Secara fisik kondisi KRL rakyat kecil itu sangat memprihatinkan dan membahayakan penumpang. Mulai dari kondisi pintu yang tidak bisa ditutup hingga penumpang berjubel di atas atap.
Berdasarkan data KAI, KRL tarif murah itu sebanyak 1.226 kali mogok sepanjang tahun lalu. Yang menjadi persoalan, bagaimana menjawab daya beli masyarakat kelas bawah kalau harga tiket KRL naik beberapa kali lipat karena peniadaan KRL ekonomi non-AC? Kalau bicara soal perubahan harga biasanya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) paling sensitif dan kritis.
Tetapi, kali ini YLKI cukup “jinak” bahkan memberi lampu hijau KAI untuk melakukan pembenahan KRL ekonomi sepanjang dilakukan dengan prosedur yang jelas. Terlepas dari setuju atau tidak setuju soal penghapusan KRL ekonomi non-AC, yang perlu dikoreksi adalah besaran subsidi (public service obligation/PSO) yang digelontorkan pemerintah selama ini.
Tahun ini dana PSO sekitar Rp704 miliar mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp770 miliar di mana masyarakat kelas bawah langsung merasakan dampaknya. Dana PSO itu tidak ada artinya dibandingkan subsidi untuk BBM yang mencapai ratusan triliun rupiah, tapi tidak tepat sasaran.
Pelayanan KRL yang nyaris nonstop tersebut sebagai wujud apresiasi KAI terhadap animo masyarakat yang begitu besar memanfaatkan sarana transportasi massal, terutama bagi masyarakat yang bermukim di wilayah penyangga Jakarta. Penambahan jam pengoperasian KRL tersebut telah mendongkrak jumlah perjalanan dari 514 menjadi 575 perjalanan setiap hari.
Sejak kemarin pengguna KRL dari Stasiun Bogor untuk perjalanan pertama berangkat pukul 04.00 WIB, Stasiun Bekasi KRL bertolak pukul 05.27 WIB. Sedangkan penumpang yang memulai perjalanan dari Stasiun Tangerang sekitar pukul 05.30 WIB dan penumpang yang naik dari Stasiun Maja via Serpong berangkat pukul 05.40 WIB.
Sebaliknya, penumpang yang akan menggunakan jadwal keberangkatan terakhir dari Stasiun Jakarta Kota menuju Bogor, KAI menyediakan jadwal pukul 00.25 WIB dan tiba di Stasiun Bogor sekitar pukul 01.46 WIB.
Adapun jadwal KRL pemberangkatan terakhir tujuan Serpong pukul 23.30 WIB dan di tujuan sekitar pukul 00.05 WIB. Saat ini perjalanan KRL untuk lintas Bogor-Jakarta dari 229 perjalanan menjadi 266 perjalanan per hari.
Bagi penumpang Stasiun Jakarta Kota menuju Bekasi KRL terakhir pukul 22.25 WIB dan tiba di Stasiun Bekasi pada pukul 23.09 WIB. Perjalanan KRL lintas Bekasi–Jakarta meningkat dari 84 menjadi 103 perjalanan per hari.
”Ini upaya sangat besar melayani animo masyarakat Jabodetabek pengguna KRL dengan lebih nyaman dan sesuai kebutuhan,” kata Direktur Utama KAI Ignasius Jonan saat menjelaskan penambahan jam operasi KRL kemarin.
Kinerja manajemen KAI belakangan ini memang layak diberi apresiasi meski tak sedikit menimbulkan kontra terhadap konsumen transportasi massal tersebut. Seperti aksi penolakan terhadap rencana KAI menarik secara bertahap KRL ekonomi non-AC yang sempat melumpuhkan perjalanan KRL di Stasiun Bekasi.
Aksi ratusan penumpang yang tergabung dalam Keluarga Besar KRL Lintas Serpong-Tanah Abang dengan menggelar aksi pengumpulan koin dan tanda tangan sebagai bentuk penolakan.
Secara halus petinggi KAI menjelaskan bahwa tidak ada niat menghapus KRL ekonomi non-AC, tapi memaksimalkan kondisi KRL yang ada demi memenuhi standar pelayanan minimum yang ditentukan Kementerian Perhubungan.
Secara fisik kondisi KRL rakyat kecil itu sangat memprihatinkan dan membahayakan penumpang. Mulai dari kondisi pintu yang tidak bisa ditutup hingga penumpang berjubel di atas atap.
Berdasarkan data KAI, KRL tarif murah itu sebanyak 1.226 kali mogok sepanjang tahun lalu. Yang menjadi persoalan, bagaimana menjawab daya beli masyarakat kelas bawah kalau harga tiket KRL naik beberapa kali lipat karena peniadaan KRL ekonomi non-AC? Kalau bicara soal perubahan harga biasanya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) paling sensitif dan kritis.
Tetapi, kali ini YLKI cukup “jinak” bahkan memberi lampu hijau KAI untuk melakukan pembenahan KRL ekonomi sepanjang dilakukan dengan prosedur yang jelas. Terlepas dari setuju atau tidak setuju soal penghapusan KRL ekonomi non-AC, yang perlu dikoreksi adalah besaran subsidi (public service obligation/PSO) yang digelontorkan pemerintah selama ini.
Tahun ini dana PSO sekitar Rp704 miliar mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp770 miliar di mana masyarakat kelas bawah langsung merasakan dampaknya. Dana PSO itu tidak ada artinya dibandingkan subsidi untuk BBM yang mencapai ratusan triliun rupiah, tapi tidak tepat sasaran.
(maf)