Moralitas keluarga

Sabtu, 30 Maret 2013 - 16:19 WIB
Moralitas keluarga
Moralitas keluarga
A A A
Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) melaporkan pencemaran nama baiknya, datang dikawal pasukan pengawal presiden (Paspampres). Wartawan yang biasanya menyerbu narasumber yang seksi, kini berjajar rapi, berbaris bagai anak sekolah sebelum upacara.

Hal yang wajar karena Ibas putra Presiden SBY. Sementara sebelumnya Hatta Rajasa, kebetulan mertuanya, juga merepotkan diri menemui keluarga korban yang ditabrak anaknya. Istrinya mendampingi anaknya di pengadilan.

Hubungan anak dengan orang tuanya dan sebaliknya adalah hubungan yang erat, emosional, hubungan kekeluargaan dalam darah. Mereka ini inti, dari keluarga inti.

Apa yang terjadi pada salah satu anggota keluarga inti, menjadi penilaian untuk seluruh keluarga. Dalam duka atau suka, dalam tawa atau air mata. Masyarakat Jawa memiliki rumusan yang tepat untuk hal ini, anak polah bapak kepradah, anak berulah bapak pula yang kena getah.

Bapak di sini adalah keluarga, yang berarti bapak juga ibu. Meskipun tak terberitakan, untunglah begitu, Ibu Ani pasti juga prihatin dan terkurangi tidurnya. Moralitas keluarga mengajarkan begitu.

Untuk bersatu, untuk saling tolong, saling bantu meringankan beban. Kekuatan keluarga ibarat sapu lidi yang sulit dipatahkan, dibandingkan batangan lidi yang tercerai.

Dalam contoh lain yang lebih dramatis dan tragis, bahkan ada bapak dan anak yang keduanya menjadi tersangka korupsi. Atau kelas istri-suami saya selalu menyebutkan istri lebih dulu, atau kakak-adik, atau termasuk istri ke sekian. Persamaan keseluruhan adalah adanya hubungan kekeluargaan yang tak terpisahkan.

Yang saling berkelindan. Yang sertamerta saling melindungi, memberi rasa aman satu dengan yang lainnya. Solidaritas keluarga satu darah. Yang bahkan tetap menyatukan dalam trah keturunan, dalam keluarga yang lebih besar lagi.

Cerminan sederhana dari nilai ini, misalnya masih kita lihat perkumpulan atau komunitas arisan keluarga, yang bersumber dari nenek moyang lapis ke atas beberapa generasi.

Moralitas sederhana


Mengingat kuatnya nilainilai kekeluargaan, bukan tidak mungkin kekuatan dan keliatan yang sama ini menjadi sikap positif bagi sesama. Kekuatan untuk saling melindungi bukanlah diwujudkan dengan mempersulit persoalan.

Dalam sebuah keluarga, beberapa hal menjadi sangat sederhana. Mana yang do, dan mana yang don’t sangat jelas dan mudah dimengerti seisi rumah.

Salah satu anggota keluarga melakukan kesalahan bahkan dalam contoh tidak tidur siang seperti yang diharuskan, anggota keluarga yang lain mengetahui. Dan kemudian bisa saling mengingatkan untuk tidak mengulangi.

Dinamika yang terjadi menjadi sangat indah, saling percaya satu sama lain. Dengan cara sederhana yang bisa dilakukan siapa saja: menjadi sosok jujur. Kadang saya membayangkan ini yang terjadi. Ketika seorang bapak dituduh melakukan korupsi kitab suci atau alat pendidikan yang lainnya, dan kemudian juga anaknya.

Moralitas keluarga adalah mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Bukan, misalnya saja, malah saling berdusta, yang pada gilirannya menjadi berbelit-belit, menjadi panjang urusannya. Lebih mengerikan lagi hubungan anak-bapak dibangun dari dusta dan kebohongan yang sama-sama ditolak.

Bukan itu ajaran yang diberlakukan di rumah, dan bukan itu yang ingin diwariskan kepada generasi berikutnya. Saya membayangkan hal ini juga berlaku pada bapak-anak yang lain, yang dikaitkan dengan kuota impor daging sapi.

Nilai-nilai keluarga bisa ditegakkan justru ketika sang ayah, atau sang anak, atau keduanya mengatakan hal yang sebenarnya, karena sebenarnya persoalannya demikian sederhana, dan mudah diungkapkan.

Seperti yang bisa dilakukan para istri-istri ke sekian yang bisa bercerita kejadian dan proses yang melibatkan mereka. Seperti yang bisa dilakukan para istri atau keluarga teroris, misalnya.

Dalam skala yang lebih besar, keterangan jujur ini menegakkan nilai-nilai dalam keluarga, dan lebih besar lagi mempermudah penyelesaian, dan memberikan pelajaran modus operandi yang berlangsung selama ini.

Moralitas kemenangan

Kalau semua ini bisa terjadi, kemenangan utama adalah kemenangan nilai-nilai, kemenangan moralitas sebuah keluarga. Yang menginspirasi keluarga lain.

Dan sesungguhnyalah kita semua ini dalam basis dasar adalah kumpulan keluarga- keluarga. Yang tata nilai dan tata krama dalam hidup selalu mewujud dalam bahasa dan sikap sederhana. Sederhana, dan karenanya terpahami sepenuhnya.

Kebenaran, juga ketidakbenaran, tampil dalam dan secara sederhana. Kadang saya membayangkan bahwa dalam beberapa hal kemelut yang terjadi karena korupsi atau suap atau penyalahgunaan kekuasaan, dibayar menjadi sangat mahal karena disikapi dengan berbagai tipu daya dan dusta lainnya. Atau dipahami secara membabi buta, sehingga keluarga bersatu untuk melumatkan lawannya.

Baik keluarga dalam hubungan darah, maupun komunitas yang dipersaudarakan, saudara satu korps, satu angkatan, satu kesatuan, satu baret. Pada tingkat kasar begini, bisa saja markas polisi atau lembaga pemasyarakatan diserbu.

Inilah bentuk buruk dalam pengerian kekeluargaan. Moralitas yang membusuk, yang lebih merugikan atau lebih menghancurkan, terutama pada pengertian moralitas keluarga.

Saya masih percaya kekuatan moralitas keluarga yang sederhana, yang bisa menyelesaikan permasalahan secara sederhana pula, dan itu merupakan pendekatan terbaik. Meskipun banyak tanda yang kurang mendukung itu, termasuk seorang anak yang memerkarakan ibunya karena soal menebang pohon yang dulu ditanamnya.

Saya masih harus percaya pada kekuatan besar yang sederhana itu bernama keluarga. Harta yang paling berharga adalah keluarga, dan kita masih bisa terus menggali kekayaan yang tak pernah habis, untuk kebaikan sendiri dan keluarga lain.

ARSWENDO ATMOWILOTO

Budayawan
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1084 seconds (0.1#10.140)