Pilpres 2014 berpotensi pakai UU lama
A
A
A
Sindonews.com - Pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 masih belum menemukan kesepahaman. Sikap fraksi partai-partai di Senayan masih terbelah.
Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Abdul Hakam Naja mengatakan, jika antar fraksi sampai bulan Juli 2013 tidak kunjung ketemu, maka kemungkinan Pilpres 2014 tetap memakai undang-undang lama.
Menurutnya, saat ini fraksi di Senayan masih tarik ulur pasalnya ada yang mengusulkan untuk segera dirubah tapi ada yang tidak setuju. "Bisa jadi undang-undang lama yang dipakai," ujar Hakam saat dihubungi Sindonews, Jumat (29/3/2013)
Sebelumnya Wakil Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Ahmad Yani mengatakan, presidential threshold (PT) 20 persen yang diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 42 Tahun 2008 tidak sesuai dengan aspek sosiologis.
Maka itu, dia berharap, pembahasan revisi RUU Pilpres segera dilaksanakan. Karena, UU itu sudah tidak lagi sejalan dengan harapan masyarakat Indonesia.
"Aturan ini sama sekali tidak mencerminkan denyut nadi aspirasi masyarakat. UU tersebut tidak mampu dan tidak mau menjawab aspirasi yang berkembang," ujar Yani melalui pesan singkatnya kepada Sindonews.
Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Abdul Hakam Naja mengatakan, jika antar fraksi sampai bulan Juli 2013 tidak kunjung ketemu, maka kemungkinan Pilpres 2014 tetap memakai undang-undang lama.
Menurutnya, saat ini fraksi di Senayan masih tarik ulur pasalnya ada yang mengusulkan untuk segera dirubah tapi ada yang tidak setuju. "Bisa jadi undang-undang lama yang dipakai," ujar Hakam saat dihubungi Sindonews, Jumat (29/3/2013)
Sebelumnya Wakil Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Ahmad Yani mengatakan, presidential threshold (PT) 20 persen yang diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 42 Tahun 2008 tidak sesuai dengan aspek sosiologis.
Maka itu, dia berharap, pembahasan revisi RUU Pilpres segera dilaksanakan. Karena, UU itu sudah tidak lagi sejalan dengan harapan masyarakat Indonesia.
"Aturan ini sama sekali tidak mencerminkan denyut nadi aspirasi masyarakat. UU tersebut tidak mampu dan tidak mau menjawab aspirasi yang berkembang," ujar Yani melalui pesan singkatnya kepada Sindonews.
(maf)