Pemerintah tolak kenaikan harga BBM
A
A
A
Pemerintah memilih melakukan pembatasan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi ketimbang menaikkan harga. Saat ini, pemerintah berupaya merumuskan kebijakan agar laju subsidi BBM tidak kebablasan lagi.
Sebenarnya, pemerintah sangat menyadari kebijakan cespleng menekan subsidi BBM adalah menaikkan harga. Namun, langkah tersebut dikhawatirkan dampaknya akan lebih menekan kehidupan masyarakat kelas bawah. Karena itu, opsi menyesuaikan harga menjadi opsi paling buncit seandainya berbagai upaya pembatasan, tetap tidak mampu mengendalikan konsumsi BBM yang terus meroket.
Sebagaimana ditegaskan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik pekan lalu, secara politis pemerintah sama sekali tidak takut untuk menaikkan harga BBM subsidi. Pernyataan menantang itu sepertinya untuk menjawab tudingan selama ini bahwa pemerintah tidak mungkin menaikkan harga BBM mengingat tahun ini adalah tahun politik, butuh pencitraan lebih demi kelanggengan kekuasaan ke depan.
Saat ini, pemerintah justru lebih berkonsentrasi untuk menemukan jalan keluar melalui pembatasan konsumsi daripada menaikkan harga yang sudah pasti membebani masyarakat miskin. Perdebatan perlu tidaknya harga BBM subsidi sebenarnya hanya menghabiskan energi, sebab dalam tiga tahun terakhir wacana itu sudah final tinggal keberanian pemerintah untuk bertindak.
Namun, pemerintah lebih memilih melakukan berbagai langkah pembatasan termasuk melakukan konversi dari BBM kepemakaian bahan bakar gas (BBG). Namun, faktanya tidak ada yang maksimal dilaksanakan. Program konversi BBM ke BBG mandek yang terjadi pemerintah justru saling menuding satu sama lain. Pihak Kementerian ESDM mengaku sudah menyiapkan segalanya tetapi Kementerian Perindustrian malah diam di tempat, misalnya dalam urusan penyediaan konverter kit. Keseriusan pemerintah melaksanakan program konversi BBM ke BBG memang patut dipertanyakan.
Bayangkan pengadaan stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) sangat lamban, hingga akhir tahun ini ditargetkan akan dioperasikan 18 SPBG se-Jabodetabek kalau penambahan sembilan stasiun baru berjalan lancar. Sebenarnya tidak ada alasan pembangunan sembilan stasiun yang berbiaya Rp470 miliar itu tersendat karena dana sudah tersedia. Berbicara soal penerapan program konversi BBM ke BBG, pemerintah seharusnya becermin pada Thailand.
Di negara yang dijuluki Negeri Gajah Putih itu terbilang sukses melaksanakan konversi. Saat ini, Thailand berhasil menghadirkan sebanyak 5.000 SPBG. Lalu di mana letak masalahnya? Sebagaimana diakui Direktur Jenderal (Dirjen) Industri Unggulan Berbasis Teknologi Kementerian Perindustrian Budi Darmadi, program konversi tersebut memang masih terganjal berbagai kendala.
Persoalan utamanya adalah pengalokasian dana untuk pengadaan konverter kit yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang masih dibintangi. “Kalau mau pakai dana itu syaratnya cukup banyak,” kata Budi dalam wawancaranya dengan media massa belum lama ini. Selain program konversi BBM ke BBG yang diakui sendiri pemerintah belum berhasil, upaya mengatasi penyelundupan BBM subsidi ke negara-negara tetangga juga kerepotan luar biasa.
Berdasarkan data pengawasan distribusi BBM subsidi dari BPH Migas, angka penyalah gunaan terus meningkat sejak 2007 hingga 2012. Dalam dua tahun terakhir angka penyalahgunaan BBM subsidi meningkat tajam dari 1.224,59 kiloliter (kl) pada tahun 2011 meningkat menjadi 253.311,72 kl pada 2012, dan kalau dirupiahkan maka setara dengan Rp409,80 miliar.
Bagaimana yang di luar pantauan BPH Migas, boleh jadi lebih besar lagi. Kita berharap, kalau pemerintah memilih tidak menaikkan harga BBM untuk menekan subsidi maka sebelum mengeluarkan kebijakan pembatasan hendaknya program konversi dari BBM ke BBG dan mengamputasi penyelundupan menjadi prioritas utama.
Sebenarnya, pemerintah sangat menyadari kebijakan cespleng menekan subsidi BBM adalah menaikkan harga. Namun, langkah tersebut dikhawatirkan dampaknya akan lebih menekan kehidupan masyarakat kelas bawah. Karena itu, opsi menyesuaikan harga menjadi opsi paling buncit seandainya berbagai upaya pembatasan, tetap tidak mampu mengendalikan konsumsi BBM yang terus meroket.
Sebagaimana ditegaskan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik pekan lalu, secara politis pemerintah sama sekali tidak takut untuk menaikkan harga BBM subsidi. Pernyataan menantang itu sepertinya untuk menjawab tudingan selama ini bahwa pemerintah tidak mungkin menaikkan harga BBM mengingat tahun ini adalah tahun politik, butuh pencitraan lebih demi kelanggengan kekuasaan ke depan.
Saat ini, pemerintah justru lebih berkonsentrasi untuk menemukan jalan keluar melalui pembatasan konsumsi daripada menaikkan harga yang sudah pasti membebani masyarakat miskin. Perdebatan perlu tidaknya harga BBM subsidi sebenarnya hanya menghabiskan energi, sebab dalam tiga tahun terakhir wacana itu sudah final tinggal keberanian pemerintah untuk bertindak.
Namun, pemerintah lebih memilih melakukan berbagai langkah pembatasan termasuk melakukan konversi dari BBM kepemakaian bahan bakar gas (BBG). Namun, faktanya tidak ada yang maksimal dilaksanakan. Program konversi BBM ke BBG mandek yang terjadi pemerintah justru saling menuding satu sama lain. Pihak Kementerian ESDM mengaku sudah menyiapkan segalanya tetapi Kementerian Perindustrian malah diam di tempat, misalnya dalam urusan penyediaan konverter kit. Keseriusan pemerintah melaksanakan program konversi BBM ke BBG memang patut dipertanyakan.
Bayangkan pengadaan stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) sangat lamban, hingga akhir tahun ini ditargetkan akan dioperasikan 18 SPBG se-Jabodetabek kalau penambahan sembilan stasiun baru berjalan lancar. Sebenarnya tidak ada alasan pembangunan sembilan stasiun yang berbiaya Rp470 miliar itu tersendat karena dana sudah tersedia. Berbicara soal penerapan program konversi BBM ke BBG, pemerintah seharusnya becermin pada Thailand.
Di negara yang dijuluki Negeri Gajah Putih itu terbilang sukses melaksanakan konversi. Saat ini, Thailand berhasil menghadirkan sebanyak 5.000 SPBG. Lalu di mana letak masalahnya? Sebagaimana diakui Direktur Jenderal (Dirjen) Industri Unggulan Berbasis Teknologi Kementerian Perindustrian Budi Darmadi, program konversi tersebut memang masih terganjal berbagai kendala.
Persoalan utamanya adalah pengalokasian dana untuk pengadaan konverter kit yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang masih dibintangi. “Kalau mau pakai dana itu syaratnya cukup banyak,” kata Budi dalam wawancaranya dengan media massa belum lama ini. Selain program konversi BBM ke BBG yang diakui sendiri pemerintah belum berhasil, upaya mengatasi penyelundupan BBM subsidi ke negara-negara tetangga juga kerepotan luar biasa.
Berdasarkan data pengawasan distribusi BBM subsidi dari BPH Migas, angka penyalah gunaan terus meningkat sejak 2007 hingga 2012. Dalam dua tahun terakhir angka penyalahgunaan BBM subsidi meningkat tajam dari 1.224,59 kiloliter (kl) pada tahun 2011 meningkat menjadi 253.311,72 kl pada 2012, dan kalau dirupiahkan maka setara dengan Rp409,80 miliar.
Bagaimana yang di luar pantauan BPH Migas, boleh jadi lebih besar lagi. Kita berharap, kalau pemerintah memilih tidak menaikkan harga BBM untuk menekan subsidi maka sebelum mengeluarkan kebijakan pembatasan hendaknya program konversi dari BBM ke BBG dan mengamputasi penyelundupan menjadi prioritas utama.
(mhd)