UU Tipikor perlu direvisi karena tidak rasional
A
A
A
Sindonews.com - Undang-undang (UU) Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi (Tipikor) perlu direvisi ulang. Pasalnya, UU tersebut disusun tanpa mempertimbangkan rasionalitas pelaku maupun calon pelaku korupsi.
Peneliti ekonomi kriminalitas Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gajah Mada (UGM), Rimawan Pradiptyo mengatakan, hal ini dapat dilihat dari penetapan denda maksimum bagi koruptor sebesar Rp1 miliar. Sementara tidak ada batasan berapa jumlah nominal uang yang bisa dikorup oleh koruptor.
“Disadari atau tidak, UU yang digunakan untuk melawan korupsi justru menciptakan sistem yang memaksa rakyat mensubsidi kepada para koruptor sehingga perlu dikaji ulang,” ucap Rimawan, di Yogyakarta, Senin (4/3/2013).
Rimawan mengatakan, meskipun koruptor bisa dijatuhi hukuman pengganti, namun kenyataan di lapangan menunjukkan besarnya biaya eksplisit korupsi tidak terkait dengan penjatuhan hukuman pembayaran uang pengganti.
Data memperlihatkan total biaya eksplisit korupsi pada kasus-kasus yang telah diputus oleh MA selama 2001-2012 mencapai Rp62,76 triliun berdasar harga berlaku atau Rp168,19 triliun berdasarkan perihutangan konstan tahun 2012.
Namun, besarnya hukuman total hukuman finansial yang dijatuhkan kepada koruptor hanya sebesar Rp6,27 triliun berdasar harga berlaku atau Rp15,09 triliun berdasar harga konstan 2012.
“Besaran total hukuman finansial yang dijatuhkan pada koruptor periode 2001-2012 hanya sebesar 8,97 persen dari total biaya ekspilsit akibat korupsi. Lantas siapa yang menanggung selisih biaya eksplisit korupsi dan total hukuman finansial sebesar RP153,1 triliun itu? Ya tentu saja rakyat sebagai pembayar pajak harus menanggung beban itu,” paparnya dalam diskusi “Estimasi Biaya Eksplisit Korupsi Berdasar Putusan MA 2001-2012”, jelasnya.
Rimawan menyebutkan, korupsi turut menciptakan biaya sosial bagi masyarakat. Selain biaya eksplisit korupsi yang menimbulkan kerugian secara eksplisit bagi negara. Tindak korupsi juga menciptakan biaya implisit yaitu biaya oportunita yang timbul akibat korupsi, termasuk beban cicilan bunga di masa datang akibat korupsi di masa lalu.
Bahkan memunculkan biaya antisipasi tindak korupsi meliputi biaya sosialisasi korupsi sebagai bahaya laten dan reformasi birokrasi untuk menurunkan hasrat korupsi.
Diungkapkannya, korupsi juga melahirkan biaya akibat reaksi terhadap korupsi eperti untuk biaya peradilan, penyidikan, policing costs, dan proses perampasan aset di luar dan di dalam negeri.
“Biaya sosial kejahatan ini justru harus ditanggung oleh para pembayar pajak. Terjadi pemberian subsidi dari rakyat ke koruptor,” jelasnya.
Melihat kondisi tersebut Rimawan merekomendasikan amandemen UU Tipikor dengan segera. Selain itu nantinya dalam penetapan besaran hukuman denda dan uang pengganti kepada koruptor sebaiknya disesuaikan dengan besarnya biaya sosial korupsi yang ditimbulkan.
“Kedepan sebaiknya biaya sosial korupsi dimasukkan dalam pasal-pasal, dalam penentuan hukuman baik hukuman denda dan uang pengganti. Kalau hal itu bisa bisa dilakukan akan menjamin pemiskinan para koruptor dan menciptakan efek jera yang optimal,” tuturnya.
Peneliti ekonomi kriminalitas Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gajah Mada (UGM), Rimawan Pradiptyo mengatakan, hal ini dapat dilihat dari penetapan denda maksimum bagi koruptor sebesar Rp1 miliar. Sementara tidak ada batasan berapa jumlah nominal uang yang bisa dikorup oleh koruptor.
“Disadari atau tidak, UU yang digunakan untuk melawan korupsi justru menciptakan sistem yang memaksa rakyat mensubsidi kepada para koruptor sehingga perlu dikaji ulang,” ucap Rimawan, di Yogyakarta, Senin (4/3/2013).
Rimawan mengatakan, meskipun koruptor bisa dijatuhi hukuman pengganti, namun kenyataan di lapangan menunjukkan besarnya biaya eksplisit korupsi tidak terkait dengan penjatuhan hukuman pembayaran uang pengganti.
Data memperlihatkan total biaya eksplisit korupsi pada kasus-kasus yang telah diputus oleh MA selama 2001-2012 mencapai Rp62,76 triliun berdasar harga berlaku atau Rp168,19 triliun berdasarkan perihutangan konstan tahun 2012.
Namun, besarnya hukuman total hukuman finansial yang dijatuhkan kepada koruptor hanya sebesar Rp6,27 triliun berdasar harga berlaku atau Rp15,09 triliun berdasar harga konstan 2012.
“Besaran total hukuman finansial yang dijatuhkan pada koruptor periode 2001-2012 hanya sebesar 8,97 persen dari total biaya ekspilsit akibat korupsi. Lantas siapa yang menanggung selisih biaya eksplisit korupsi dan total hukuman finansial sebesar RP153,1 triliun itu? Ya tentu saja rakyat sebagai pembayar pajak harus menanggung beban itu,” paparnya dalam diskusi “Estimasi Biaya Eksplisit Korupsi Berdasar Putusan MA 2001-2012”, jelasnya.
Rimawan menyebutkan, korupsi turut menciptakan biaya sosial bagi masyarakat. Selain biaya eksplisit korupsi yang menimbulkan kerugian secara eksplisit bagi negara. Tindak korupsi juga menciptakan biaya implisit yaitu biaya oportunita yang timbul akibat korupsi, termasuk beban cicilan bunga di masa datang akibat korupsi di masa lalu.
Bahkan memunculkan biaya antisipasi tindak korupsi meliputi biaya sosialisasi korupsi sebagai bahaya laten dan reformasi birokrasi untuk menurunkan hasrat korupsi.
Diungkapkannya, korupsi juga melahirkan biaya akibat reaksi terhadap korupsi eperti untuk biaya peradilan, penyidikan, policing costs, dan proses perampasan aset di luar dan di dalam negeri.
“Biaya sosial kejahatan ini justru harus ditanggung oleh para pembayar pajak. Terjadi pemberian subsidi dari rakyat ke koruptor,” jelasnya.
Melihat kondisi tersebut Rimawan merekomendasikan amandemen UU Tipikor dengan segera. Selain itu nantinya dalam penetapan besaran hukuman denda dan uang pengganti kepada koruptor sebaiknya disesuaikan dengan besarnya biaya sosial korupsi yang ditimbulkan.
“Kedepan sebaiknya biaya sosial korupsi dimasukkan dalam pasal-pasal, dalam penentuan hukuman baik hukuman denda dan uang pengganti. Kalau hal itu bisa bisa dilakukan akan menjamin pemiskinan para koruptor dan menciptakan efek jera yang optimal,” tuturnya.
(maf)