Aspek Hukum tentang Kerugian Negara dalam UU Tipikor

Minggu, 07 Juli 2024 - 18:56 WIB
loading...
Aspek Hukum tentang...
Romli Atmasasmita. Foto/Istimewa
A A A
Romli Atmasasmita

KERUGIAN negara-kerugian keuangan negara atau perekonomian negara yang dicantumkan di dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), kini telah menjadi momok yang menakutkan bahkan telah “mematikan” semangat penyelenggara negara terutama pelaku yang beraktivitas di kalangan keuangan dan perbankan sepanjang terkait dengan pengelolaan keuangan negara seperti Badan Usaha Milik Negara(BUMN).

Di dalam frasa kerugian negara tersebut terkandung dua masalah pokok di dalam praktik hukum pemberantasan korupsi. Pertama, mengenai status hukum kerugian negara sebagai unsur tindak pidana korupsi eks Pasal 2 dan Pasal 3. Kedua, status penilaian kerugian keuangan negara.

Masalah pertama telah dilakukan pengujian konstitusionalitas ketentuan unsur kerugian negara sebagai salah satu unsur tindak pidana korupsi; sehubungan dengan frasa kata “dapat” yang ditempatkan di muka frasa, kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Di dalam Putusan MKRI Nomor 25/PUU-XIV/2016 tanggal 8 September 2016, dinyatakan bahwa kata “dapat”” yang diajukan pengujiannya; tidak bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD45 sepanjang ditafsirkan sesuai dengan tafsiran Mahkamah (conditionally constitutional) yakni bahwa unsur kerugian negara harus dibuktikan dan dapat dihitung, meskipun perkiraan atau belum terjadi.

Putusan MKRI tersebut menggunakan konsepsi “actual loss”; lebih memberikan kepastian hukum yang adil dan bersesuaian dengan Upaya sinkronisasi dan harmonisasi instrument hukum nasional nasional dan hukum internasional (Konvensi PBB Anti Korupsi,2003; diratifikasi UU Nomor 7 tahun 2006). Merujuk putusan dimaksud jelas bahwa, penafsiran hukum MKRI mengenai unsur kerugian negara; lebih focus pada kerugian yang nyata dan pasti hasilnya (actual loss) dan sependapat dengan tafsir hukum bahwa kerugian negara merupakan “potential lost”. Apalagi, kosakata “total losss” tidak dikenal dalam referensi UU Tipikor dan peraturan perundang-undangan terkait keuangan negara dan pemeriksaan pengelolaan serta tanggung jawab keuangan negara.



Putusan MKRI tersebut bersesuaian dengan Penjelasan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor 1999 yang menyatakan bahwa, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Berbeda dengan Putusan MKRI aquo, Yurisprudensi MARI Nomor 417/K/PID.SUS/2014 tanggal 7 Mei 2014 yang pada pokoknya perbuatan melawan hukum dalam pasal 2 ayat (1) UU Tipikor 1999, di samping perbuatan melawan hukum formil, juga perbuatan melawan hukum materiil.

Perbedaan penafsiran antara kedua lembaga kekuasaan kehakiman tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan bahkan ketidakadilan dalam praktik peradilan tindak pidana korupsi. Sehubungan kesimpangsiuran tafsir hukum tersebut, telah terjadi pergeseran mengenai tanggung jawab dalam perkara tipikor; semula merupakan tanggung jawab pidana, berubah menjadi tanggung jawab administrasi.

Hal ini disebabkan eksistensi UU Nomor 30 Tahun 2014 telah menyatakan bahwa penyelenggara negara yang telah melakukan tindakan atau jabatan dan merugikan keuangan negara maka penyelenggara negara yang bersangkutan diwajibkan untuk mengganti kerugian keuangan negara tersebut dalam jangka waktu 30 hari di bawah pengawasan BPK, sehingga kerugian keuangan negara yang disebabkan oleh perbuatan penyelenggara negara menjadi tanggung jawab administrasi, bukan tanggung jawab pidana.

Perubahan /pergeseran tanggung jawab tersebut khusus ditujukan terhadap penyelenggara negara yang diduga telah menyalahgunakan kewenangan karena kedudukan dan jabatannya yang menimbulkan kerugian keuangan negara. Di dalam praktik peradilan tindak pidana korupsi, telah terbukti bahwa Mahkamah Agung dan hakim di jajaran kekuasaan kehakiman, berpihak pada yurisprudensi MA aquo tanpa mempertimbangkan lagi eksistensi putusan MKRI terkait sifat melawan hukum dari suatu dakwaan tindak pidana korupsi.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1129 seconds (0.1#10.140)