Pelajaran dari Aceng
A
A
A
Bupati Garut, Jawa Barat, Aceng HM Fikri akhirnya melepas jabatannya sebagai kepala daerah. Berita tentang Aceng memang sempat menjadi buah bibir tidak saja oleh masyarakat di Tanah Air,tapi juga oleh media-media di luar negeri.
Garut yang merupakan kabupaten kecil di Jawa Barat menjadi semakin dikenal namanya karena berita tentang Aceng. Ending dari kisah ini memang manis karena Aceng dengan legawa mau melepas jabatannya.
Aceng bahkan berjanji akan membangun Kabupaten Garut setelah menjadi warga biasa. Kisah Aceng memang merupakan ranah etika atau moral seorang pemimpin atau kepala daerah.Etika dan moral memang bukan aturan tertulis,melainkan berkaitan dengan kepantasan.
Dalam kasus Aceng tentu kepantasan sebagai seorang kepala daerah. Ada beberapa ketidak pantasan atau menyimpang dari etika. Dia menikahi gadis belia dengan diam-diam (tanpa diketahui publik) dan menceraikannya hanya melalui short message service (SMS) meskipun Aceng membantahnya di hadapan media.
Menikah memang privasi seseorang, tapi ketika seseorang telah menjadi pejabat publik, semua tindakannya akan mendapat sorotan, apalagi tindakan yang tidak umum dilakukan individu. Ketidakpantasan lain adalah cara Aceng menanggapi seputar perceraiannya.
Tanggapannya sangat tidak etis yang menganalogikan Fany Octora dengan perempuan nakal karena Aceng sudah mengeluarkan uang mahar Rp250 juta. Setelah melakukan tindakan kontroversial pernikahan dan perceraiannya, jawaban Aceng ini disambut masyarakat dengan marah.
Setelah marah pertama dari masyarakat belum selesai, masyarakat kembali dibuat geram dengan ucapan Aceng menanggapi berita-berita dari media.
Disengaja atau tidak, cara berkomunikasi Aceng inilah yang justru memperlebar persoalan. Upaya islah dengan Fany yang berhasil pun tak cukup meredam kemarahan masyarakat. Sebagai seorang pejabat publik sangat tidak etis ketika Aceng kecewa dengan kondisi Fany pada awal menikah dan membandingkannya dengan uang mahar Rp250 juta. Jika dilihat lebih jauh,justru yang melengserkan Aceng adalah ucapan dan tindakannya sendiri.
Komunikasi pejabat publik yang salah ketika seorang hakim yang menjalani tes menjadi hakim agung, M Daming Sunusi, juga memberikan komentar tidak etis tentang kasus perkosaan. Tanggapan yang merendahkan perempuan itu juga menimbulkan kemarahan masyarakat. Kasus Aceng sudah berakhir, begitu juga dengan kasus hakim Daming.
Keduanya harus menerima hukuman dari masyarakat karena ucapan yang tidak etis tentang kasus yang menimpa perempuan.
Ini harus menjadi pelajaran bagi semua pejabat publik di Indonesia bahwa etika atau moral harus tetap dijunjung tinggi. Pejabat publik harus menjaga komunikasinya agar tidak melukai masyarakat.
Tindakan atau ucapan pejabat publik yang tidak mengedepankan etika dan moral justru akan berbalik menyerangnya. Kasus Aceng dan Daming patut menjadi pelajaran penting bagi pejabat publik di Tanah Air karena terkadang mereka lupa ketika sudah duduk di jabatan yang empuk.
Hal yang patut diapresiasi dari langkah Aceng adalah ketika dia menerima dengan legawa pemecatannya dan berjanji akan membangun Kabupaten Garut. Janji Aceng bisa jadi sebagai permintaan maafnya kepada masyarakat Garut pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Kasus Aceng telah berlalu, tapi meninggalkan pelajaran berharga bagi pejabat publik di Tanah Air.
Tindakan dan ucapan yang mengedepankan etika serta sikap legawa menerima sebuah keputusan yang pahit harus menjadi cermin demi kebaikan negeri ini
Garut yang merupakan kabupaten kecil di Jawa Barat menjadi semakin dikenal namanya karena berita tentang Aceng. Ending dari kisah ini memang manis karena Aceng dengan legawa mau melepas jabatannya.
Aceng bahkan berjanji akan membangun Kabupaten Garut setelah menjadi warga biasa. Kisah Aceng memang merupakan ranah etika atau moral seorang pemimpin atau kepala daerah.Etika dan moral memang bukan aturan tertulis,melainkan berkaitan dengan kepantasan.
Dalam kasus Aceng tentu kepantasan sebagai seorang kepala daerah. Ada beberapa ketidak pantasan atau menyimpang dari etika. Dia menikahi gadis belia dengan diam-diam (tanpa diketahui publik) dan menceraikannya hanya melalui short message service (SMS) meskipun Aceng membantahnya di hadapan media.
Menikah memang privasi seseorang, tapi ketika seseorang telah menjadi pejabat publik, semua tindakannya akan mendapat sorotan, apalagi tindakan yang tidak umum dilakukan individu. Ketidakpantasan lain adalah cara Aceng menanggapi seputar perceraiannya.
Tanggapannya sangat tidak etis yang menganalogikan Fany Octora dengan perempuan nakal karena Aceng sudah mengeluarkan uang mahar Rp250 juta. Setelah melakukan tindakan kontroversial pernikahan dan perceraiannya, jawaban Aceng ini disambut masyarakat dengan marah.
Setelah marah pertama dari masyarakat belum selesai, masyarakat kembali dibuat geram dengan ucapan Aceng menanggapi berita-berita dari media.
Disengaja atau tidak, cara berkomunikasi Aceng inilah yang justru memperlebar persoalan. Upaya islah dengan Fany yang berhasil pun tak cukup meredam kemarahan masyarakat. Sebagai seorang pejabat publik sangat tidak etis ketika Aceng kecewa dengan kondisi Fany pada awal menikah dan membandingkannya dengan uang mahar Rp250 juta. Jika dilihat lebih jauh,justru yang melengserkan Aceng adalah ucapan dan tindakannya sendiri.
Komunikasi pejabat publik yang salah ketika seorang hakim yang menjalani tes menjadi hakim agung, M Daming Sunusi, juga memberikan komentar tidak etis tentang kasus perkosaan. Tanggapan yang merendahkan perempuan itu juga menimbulkan kemarahan masyarakat. Kasus Aceng sudah berakhir, begitu juga dengan kasus hakim Daming.
Keduanya harus menerima hukuman dari masyarakat karena ucapan yang tidak etis tentang kasus yang menimpa perempuan.
Ini harus menjadi pelajaran bagi semua pejabat publik di Indonesia bahwa etika atau moral harus tetap dijunjung tinggi. Pejabat publik harus menjaga komunikasinya agar tidak melukai masyarakat.
Tindakan atau ucapan pejabat publik yang tidak mengedepankan etika dan moral justru akan berbalik menyerangnya. Kasus Aceng dan Daming patut menjadi pelajaran penting bagi pejabat publik di Tanah Air karena terkadang mereka lupa ketika sudah duduk di jabatan yang empuk.
Hal yang patut diapresiasi dari langkah Aceng adalah ketika dia menerima dengan legawa pemecatannya dan berjanji akan membangun Kabupaten Garut. Janji Aceng bisa jadi sebagai permintaan maafnya kepada masyarakat Garut pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Kasus Aceng telah berlalu, tapi meninggalkan pelajaran berharga bagi pejabat publik di Tanah Air.
Tindakan dan ucapan yang mengedepankan etika serta sikap legawa menerima sebuah keputusan yang pahit harus menjadi cermin demi kebaikan negeri ini
(kur)