Kasus sprindik atas nama AU belum selesai
A
A
A
Kasus dugaan bocornya surat perintah penyidikan (sprindik) atas nama AU telah mencemarkan integritas pimpinan dan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kasus ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah KPK sejak jilid I.
Bagi para ahli hukum pidana, suatu dokumen yang miripmirip dengan model formulir penyelidikan dan penyidikan di KPK dan kebenaran namanama penyidik yang tercantum di dalam “sprindik” tersebut membuktikan bahwa dugaan kuat pembocoran dilakukan oleh “orang dalam” KPK dan tidaklah mungkin orang luar yang tidak ada kewenangan seperti KPK.
Kasus Hambalang sejatinya tidak berbeda dengan kasus-kasus korupsi lain yang telah ditangani KPK seperti kasus Century, kasus cek pelawat, kasus HM yang terkait dengan kasus Bupati Buol; apalagi jika dikaitkan dengan kasus LHI, mantan presiden PKS yang begitu sigap dalam tempo singkat ditetapkan menjadi tersangka.
Para ahli hukum pidana tidak perlu “diajari” bahwa diperlukan dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka karena ketentuannya sudah jelas di dalam KUHAP.
Yang sering dipertanyakan orang awam adalah mengapa KPK tidak memberikan perlakuan hukum yang sama dari satu kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi atau oknum parpol ke kasus korupsi pejabat tinggi atau oknum parpol lain?
Begitu pula sering dipertanyakan para ahli hukum, di mana letak kesulitan atau hambatan menetapkan seseorang tersangka bagi KPK yang oleh UU KPK diberi mandat memiliki wewenang yang lebih besar dibandingkan dengan kepolisian dan kejaksaan?
Persoalan internal di kalangan pimpinan KPK sering ditautkan dengan masalah kolektivitas dan kolegial dalam pengambilan keputusan yang bersifat pro-yustisia.
Akan tetapi hal itu bukan alasan substansial karena ketentuan tersebut telah ada sejak KPK jilid I dan tidak ada masalah dari satu ke kasus lain. Yang sangat dikhawatirkan jika salah satu atau lebih dari satu pimpinan KPK atau juga pimpinan di layer kedua atau ketiga terkontaminasi pengaruh politik.
Karena jika hal itu terjadi, “tamatlah riwayat” KPK selaku lembaga independen yang telah ditegaskan dalam Pasal 3 UU KPK bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.
Ketika draf ketentuan tersebut diajukan dalam pembahasan RUU KPK bersama Komisi II DPR RI,telah terjadi pro-kontra baik dalam sidang maupun dari lembaga penegak hukum lain.
Sungguh tidak mudah meyakinkan anggota komisi ketika itu dan lembaga penegak hukum lain bahwa diperlukan lembaga independen dengan kewenangan luas dan tidak terbatas.
Kewenangan yang sangat luas hanya dapat dilaksanakan jika lembaga KPK ditetapkan sebagai lembaga independen di dalam UU KPK. Dengan ketentuan tersebut, diharapankan ketika itu, KPK dapat dengan leluasa tanpa khawatir akan dipengaruhi/diintervensi kekuasaan mana pun.
Ketentuan mengenai prinsip kolektivitas pada Pasal 21 ayat (5) UU KPK justru dipasang sebagai rambu untuk mencegah intervensi tersebut. Atas dasar prinsip kolektivitas tersebut sesungguhnya intervensi atau pengaruh eksternal dalam bentuk apa pun sulit tembus.
Sesungguhnya jika kelima pimpinan KPK selalu kompak dan satu visi dan misi disertai semangat dan amanah melaksanakan cita-cita reformasi bangsa ini yang bebas KKN, kasus “sprindik”atas nama AU tidak perlu terjadi.
Beredarnya sprindik yang telah diakui kebenarannya dan merupakan dokumen resmi KPK tidak dapat dikatakan selesai dengan pemeriksaan komite etik, melainkan harus ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Perbuatan menyebarluaskan draf sprindik bukan hanya pelanggaran kode etik,
melainkan merupakan tindak pidana yang tercantum dalam Pasal 112 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau Pasal 32 ayat (3) joPasal 48 ayat (3) UU RI No 11 Tahun 2008 tentang ITE dengan ancaman pidana paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 3 miliar atau Pasal 17 huruf a joPasal 54 ayat (1) UU RI No 14 Tahun 2008 tentang KIP dengan ancaman pidana paling lama 2 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 20 juta.
Kesigapan pimpinan KPK melakukan rapat membahas kasus ini patut diapresiasi, tetapi tentu publik mengharapkan ada pengumuman resmi secara terbuka oleh pimpinan KPK mengenai hasil validasi tersebut. Pengumuman kepada publik ini memiliki dasar hukum dalam Pasal 20 ayat (1) UU KPK sehingga tidak ada alasan pimpinan KPK untuk tidak melaksanakannya.
Apa pun hasil validasi terhadap bentuk dan isi sprindik yang beredar di masyarakat, Polri wajib proaktif melakukan penyelidikan tanpa harus menunggu pelaporan dari pimpinan KPK. Ada tiga alasan untuk itu.Pertama,beredarnya sprindik tersebut terlepas dari palsu atau tidak palsu termasuk kejahatan terhadap keamanan negara.
Kedua, citra lembaga KPK sebagai lembaga negara yang independen telah tercemarkan dengan beredarnya sprindik tersebut. Ketiga, kasus sprindik termasuk tindak pidana umum yang hanya dapat ditangani penyidik Polri, bukan oleh KPK.
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus
Universitas Padjadjaran (Unpad)
Bagi para ahli hukum pidana, suatu dokumen yang miripmirip dengan model formulir penyelidikan dan penyidikan di KPK dan kebenaran namanama penyidik yang tercantum di dalam “sprindik” tersebut membuktikan bahwa dugaan kuat pembocoran dilakukan oleh “orang dalam” KPK dan tidaklah mungkin orang luar yang tidak ada kewenangan seperti KPK.
Kasus Hambalang sejatinya tidak berbeda dengan kasus-kasus korupsi lain yang telah ditangani KPK seperti kasus Century, kasus cek pelawat, kasus HM yang terkait dengan kasus Bupati Buol; apalagi jika dikaitkan dengan kasus LHI, mantan presiden PKS yang begitu sigap dalam tempo singkat ditetapkan menjadi tersangka.
Para ahli hukum pidana tidak perlu “diajari” bahwa diperlukan dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka karena ketentuannya sudah jelas di dalam KUHAP.
Yang sering dipertanyakan orang awam adalah mengapa KPK tidak memberikan perlakuan hukum yang sama dari satu kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi atau oknum parpol ke kasus korupsi pejabat tinggi atau oknum parpol lain?
Begitu pula sering dipertanyakan para ahli hukum, di mana letak kesulitan atau hambatan menetapkan seseorang tersangka bagi KPK yang oleh UU KPK diberi mandat memiliki wewenang yang lebih besar dibandingkan dengan kepolisian dan kejaksaan?
Persoalan internal di kalangan pimpinan KPK sering ditautkan dengan masalah kolektivitas dan kolegial dalam pengambilan keputusan yang bersifat pro-yustisia.
Akan tetapi hal itu bukan alasan substansial karena ketentuan tersebut telah ada sejak KPK jilid I dan tidak ada masalah dari satu ke kasus lain. Yang sangat dikhawatirkan jika salah satu atau lebih dari satu pimpinan KPK atau juga pimpinan di layer kedua atau ketiga terkontaminasi pengaruh politik.
Karena jika hal itu terjadi, “tamatlah riwayat” KPK selaku lembaga independen yang telah ditegaskan dalam Pasal 3 UU KPK bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.
Ketika draf ketentuan tersebut diajukan dalam pembahasan RUU KPK bersama Komisi II DPR RI,telah terjadi pro-kontra baik dalam sidang maupun dari lembaga penegak hukum lain.
Sungguh tidak mudah meyakinkan anggota komisi ketika itu dan lembaga penegak hukum lain bahwa diperlukan lembaga independen dengan kewenangan luas dan tidak terbatas.
Kewenangan yang sangat luas hanya dapat dilaksanakan jika lembaga KPK ditetapkan sebagai lembaga independen di dalam UU KPK. Dengan ketentuan tersebut, diharapankan ketika itu, KPK dapat dengan leluasa tanpa khawatir akan dipengaruhi/diintervensi kekuasaan mana pun.
Ketentuan mengenai prinsip kolektivitas pada Pasal 21 ayat (5) UU KPK justru dipasang sebagai rambu untuk mencegah intervensi tersebut. Atas dasar prinsip kolektivitas tersebut sesungguhnya intervensi atau pengaruh eksternal dalam bentuk apa pun sulit tembus.
Sesungguhnya jika kelima pimpinan KPK selalu kompak dan satu visi dan misi disertai semangat dan amanah melaksanakan cita-cita reformasi bangsa ini yang bebas KKN, kasus “sprindik”atas nama AU tidak perlu terjadi.
Beredarnya sprindik yang telah diakui kebenarannya dan merupakan dokumen resmi KPK tidak dapat dikatakan selesai dengan pemeriksaan komite etik, melainkan harus ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Perbuatan menyebarluaskan draf sprindik bukan hanya pelanggaran kode etik,
melainkan merupakan tindak pidana yang tercantum dalam Pasal 112 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau Pasal 32 ayat (3) joPasal 48 ayat (3) UU RI No 11 Tahun 2008 tentang ITE dengan ancaman pidana paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 3 miliar atau Pasal 17 huruf a joPasal 54 ayat (1) UU RI No 14 Tahun 2008 tentang KIP dengan ancaman pidana paling lama 2 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 20 juta.
Kesigapan pimpinan KPK melakukan rapat membahas kasus ini patut diapresiasi, tetapi tentu publik mengharapkan ada pengumuman resmi secara terbuka oleh pimpinan KPK mengenai hasil validasi tersebut. Pengumuman kepada publik ini memiliki dasar hukum dalam Pasal 20 ayat (1) UU KPK sehingga tidak ada alasan pimpinan KPK untuk tidak melaksanakannya.
Apa pun hasil validasi terhadap bentuk dan isi sprindik yang beredar di masyarakat, Polri wajib proaktif melakukan penyelidikan tanpa harus menunggu pelaporan dari pimpinan KPK. Ada tiga alasan untuk itu.Pertama,beredarnya sprindik tersebut terlepas dari palsu atau tidak palsu termasuk kejahatan terhadap keamanan negara.
Kedua, citra lembaga KPK sebagai lembaga negara yang independen telah tercemarkan dengan beredarnya sprindik tersebut. Ketiga, kasus sprindik termasuk tindak pidana umum yang hanya dapat ditangani penyidik Polri, bukan oleh KPK.
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus
Universitas Padjadjaran (Unpad)
(kur)