Pidato Majelis Tinggi
A
A
A
Sindonews.com - Pidato Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada rapat pimpinan nasional (rapimnas) di Jakarta kemarin mengandung banyak penafsiran.
Jika mau jujur, jajaran pimpinan Partai Demokrat yang juga bisa disebut Ring-1 SBY pun pasti bingung membaca pesan yang disampaikan dalam pidato itu.Tapi jika ditanya pasti jawabannya seragam, yakni menegaskan kembali isi pidato SBY itu dalam bahasa yang berbeda. Apalagi di level kader Demokrat yang kritis,mereka juga akan sulit mendapat jawaban yang jelas tentang pesan pidato SBY itu dari pimpinan mereka.
Alhasil, rapimnas yang disebut SBY sebagai momentum penyelamatan partai ini pun lebih tepat sebagai ajang klarifikasi Ketua Majelis Tinggi terhadap opini dan pemberitaan di media massa dan ruang publik yang begitu tajam menyoroti konflik dan perpecahan internal Demokrat yang diduga bersumber dari rivalitas dan perebutan pengaruh antara SBY dan Ketua Umum Anas Urbaningrum.
Anehnya,klarifikasi yang disampaikan Ketua Majelis Tinggi cenderung menyalahkan publik dan media massa yang dinilai keliru memandang dinamika internal Demokrat. Bahkan dalam pidatonya SBY sempat minta maaf karena tidak ada hal yang bombastis di rapimnas seperti rencana kongres luar biasa (KLB), penggantian maupun penonaktifan Anas sebagai ketua umum dan seterusnya.
Di mata SBY, publik, media massa, dan pengamat keliru atau salah memahami dirinya. Benarkah demikian? Masyarakat yang jeli pasti belum lupa rangkaian peristiwa yang mendahului kemelut di Demokrat. Kronologi waktu demi waktu tentang prahara Demokrat sangat mudah dicari di internet,koran, majalah, rekaman radio maupun televisi.
Publik bisa membandingkan pidato awal SBY yang begitu menggebu melakukan penyelamatan dengan mengambil alih tugas ketua umum maupun mendesak KPK segera menetapkan status hukum Anas dengan pidato di rapimnas kemarin. Banyak inkonsistensi di dalamnya.
Pidato SBY di rapimnas itu juga bisa dimaknai sebagai kemenangan kubu Anas karena di forum itu tidak ada agenda pemaksaan KLB atau desakan penonaktifan Anas yang sinyalnya secara terang-benderang disampaikan Ketua DPP Demokrat Ulil Abshar Abdalla sehari sebelum rapimnas.
SBY tidak mungkin memaksakan KLB atau penonaktifan ketua umum karena dukungan kepada Anas masih kuat sehingga tidak ada pilihan lain kecuali kembali mewacanakan kebersamaan setelah terjadi kompromi politik.
Sekilas pidato Ketua Majelis Tinggi juga bisa dipahami sebagai kecanggihan SBY dalam berpolitik sehingga semua pihak (pengamat, wartawan, masyarakat, media massa) salah duga dengan berbagai manuvernya.Ada juga yang memaknai pidato ini sebagai upaya membalikkan citra buruk Demokrat yang kadernya banyak terlibat korupsi menjadi citra positif karena rapimnas berakhir happy ending.
Sekarang terserah publik untuk memaknai seperti apa pidato SBY itu. Tapi yang patut kita sayangkan di sini adalah adanya unsur penyangkalan terhadap rahasia umum yang sebenarnya sudah diketahui publik dalam pidato tersebut. Kemudian ada kesan meremahkan atau merendahkan kecerdasan masyarakat yang sebenarnya paham betul bagaimana tabiat para tokoh politik kita.
Akan sangat keliru ketika seorang pemimpin berpidato berdasar asumsi bahwa masyarakat tidak tahu apa-apa. Bukankah merendahkan kecerdasan masyarakat itu sama halnya dengan merendahkan akal sehat? Benar tidaknya isi pidato SBY itu akan ditentukan oleh waktu. Sejarah akan mencatat siapa yang konsisten dan siapa yang tidak konsisten.
Ke depan hendaknya seorang pemimpin lebih berhatihati sebelum menyampaikan pesan kepada rakyatnya. Jangan anggap rakyat sebagai objek penderita. Pemimpin yang cerdas adalah pemimpin yang berani mendengar kritik dari rakyatnya.
Jika mau jujur, jajaran pimpinan Partai Demokrat yang juga bisa disebut Ring-1 SBY pun pasti bingung membaca pesan yang disampaikan dalam pidato itu.Tapi jika ditanya pasti jawabannya seragam, yakni menegaskan kembali isi pidato SBY itu dalam bahasa yang berbeda. Apalagi di level kader Demokrat yang kritis,mereka juga akan sulit mendapat jawaban yang jelas tentang pesan pidato SBY itu dari pimpinan mereka.
Alhasil, rapimnas yang disebut SBY sebagai momentum penyelamatan partai ini pun lebih tepat sebagai ajang klarifikasi Ketua Majelis Tinggi terhadap opini dan pemberitaan di media massa dan ruang publik yang begitu tajam menyoroti konflik dan perpecahan internal Demokrat yang diduga bersumber dari rivalitas dan perebutan pengaruh antara SBY dan Ketua Umum Anas Urbaningrum.
Anehnya,klarifikasi yang disampaikan Ketua Majelis Tinggi cenderung menyalahkan publik dan media massa yang dinilai keliru memandang dinamika internal Demokrat. Bahkan dalam pidatonya SBY sempat minta maaf karena tidak ada hal yang bombastis di rapimnas seperti rencana kongres luar biasa (KLB), penggantian maupun penonaktifan Anas sebagai ketua umum dan seterusnya.
Di mata SBY, publik, media massa, dan pengamat keliru atau salah memahami dirinya. Benarkah demikian? Masyarakat yang jeli pasti belum lupa rangkaian peristiwa yang mendahului kemelut di Demokrat. Kronologi waktu demi waktu tentang prahara Demokrat sangat mudah dicari di internet,koran, majalah, rekaman radio maupun televisi.
Publik bisa membandingkan pidato awal SBY yang begitu menggebu melakukan penyelamatan dengan mengambil alih tugas ketua umum maupun mendesak KPK segera menetapkan status hukum Anas dengan pidato di rapimnas kemarin. Banyak inkonsistensi di dalamnya.
Pidato SBY di rapimnas itu juga bisa dimaknai sebagai kemenangan kubu Anas karena di forum itu tidak ada agenda pemaksaan KLB atau desakan penonaktifan Anas yang sinyalnya secara terang-benderang disampaikan Ketua DPP Demokrat Ulil Abshar Abdalla sehari sebelum rapimnas.
SBY tidak mungkin memaksakan KLB atau penonaktifan ketua umum karena dukungan kepada Anas masih kuat sehingga tidak ada pilihan lain kecuali kembali mewacanakan kebersamaan setelah terjadi kompromi politik.
Sekilas pidato Ketua Majelis Tinggi juga bisa dipahami sebagai kecanggihan SBY dalam berpolitik sehingga semua pihak (pengamat, wartawan, masyarakat, media massa) salah duga dengan berbagai manuvernya.Ada juga yang memaknai pidato ini sebagai upaya membalikkan citra buruk Demokrat yang kadernya banyak terlibat korupsi menjadi citra positif karena rapimnas berakhir happy ending.
Sekarang terserah publik untuk memaknai seperti apa pidato SBY itu. Tapi yang patut kita sayangkan di sini adalah adanya unsur penyangkalan terhadap rahasia umum yang sebenarnya sudah diketahui publik dalam pidato tersebut. Kemudian ada kesan meremahkan atau merendahkan kecerdasan masyarakat yang sebenarnya paham betul bagaimana tabiat para tokoh politik kita.
Akan sangat keliru ketika seorang pemimpin berpidato berdasar asumsi bahwa masyarakat tidak tahu apa-apa. Bukankah merendahkan kecerdasan masyarakat itu sama halnya dengan merendahkan akal sehat? Benar tidaknya isi pidato SBY itu akan ditentukan oleh waktu. Sejarah akan mencatat siapa yang konsisten dan siapa yang tidak konsisten.
Ke depan hendaknya seorang pemimpin lebih berhatihati sebelum menyampaikan pesan kepada rakyatnya. Jangan anggap rakyat sebagai objek penderita. Pemimpin yang cerdas adalah pemimpin yang berani mendengar kritik dari rakyatnya.
(rsa)