Arsip bangsa kok disembunyikan
A
A
A
DALAM kunjungan ke Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jalan Ampera Raya Jakarta, 28 Januari 2013, Ketua MPR Taufik Kiemas mengatakan bahwa Arsip Nasional sangat bermanfaat bagi generasi muda, terutama anak sekolah, agar tahu sejarah bangsanya.
Kalau perlu semua arsip sejarah yang masih tercecer di mana-mana diserahkan ke Arsip Nasional. Ini penting untuk masa sekarang, masa lalu, dan masa depan. Pernyataan Ketua MPR itu tepat karena sampai sekarang masih ada arsip-arsip yang terdapat di mana-mana, misalnya pada keluarga seperti beberapa dokumen yang tersimpan di rumah Rachmawati Soekarnoputri. Beberapa tahun yang lalu, saya bersama Dr Kartono Mohammad pernah berkunjung ke sana dan diperlihatkan beberapa bundel catatan harian perawat yang merawat mantan Presiden Soekarno di Wisma Jaso Jakarta.
Saya kurang tahu apakah dokumen itu sudah diserahkan kepada ANRI. Persoalannya apakah arsip itu bila diserahkan ke sana menjadi tidak dapat diakses publik? Penggelapan sejarah merupakan pengalaman pahit sejarah pada masa Orde Baru. Entah Sekretariat Negara atau ANRI yang menyembunyikan, yang jelas pidato-pidato Bung Karno sejak 30 September 1965 sampai peralihan kekuasaan Februari 1967 tidak bisa diakses publik. Baru pada era Reformasi arsip itu ditemukan di ANRI oleh Bonnie Triyana dan Budi Setiyono yang mengumpulkan dan menerbitkannya.
Padahal di situ terdapat sumber yang sangat penting, misalnya penegasan Presiden Soekarno bahwa pemberian Supersemar bukanlah transfer of authority. Arsip Nasional mengabadikan perjalanan sejarah bangsa dari masa ke masa. Sejalan dengan kemajuan teknologi informasi, bentuk arsip yang disimpan di ANRI tidak hanya dalam bentuk konvensional (tekstual dan kartografis), melainkan juga dalam bentuk media baru (film, video, rekaman suara, foto, mikrofilm, dan ragam format lainnya).
Volume khasanah arsip konvensional yang ada di ANRI hingga saat ini berjumlah sekitar 20 kilometer linier yang terdiri atas arsip masa VOC (1602–1799 ), arsip periode Hindia Belanda (1800–1942 ), periode Inggris (1811–1816), periode Jepang (1942–1945), periode Republik Indonesia (1945–2000). Undang-Undang tentang Kearsipan No 43 Tahun 2009 juga menetapkan DPA. Bila pada pihak kepolisian ada daftar pencarian orang (DPO), DPA adalah daftar pencarian arsip. Ke dalam DPA tentu dapat dimasukkan arsip asli Supersemar yang belum ditemukan sampai sekarang.
Menurut Atmaji Sumarkidjo, selain arsip asli Supersemar, Jenderal Jusuf juga mengatakan pernah memiliki draf pertama surat itu serta surat yang diberi coretan oleh Bung Karno sebelum akhirnya diketik ulang. Itu pun sebetulnya penting untuk ditemukan karena dengan membaca ketiga dokumen itu kita dapat mengetahui perkembangan negosiasi yang tampaknya cukup alot antara Presiden Soekarno di Istana Bogor dengan ketiga jenderal yang datang dari Jakarta.
Anggota Komisi II DPR Salim Mengga mengkhawatirkan pembukaan arsip tentang G30S akan menimbulkan kegaduhan baru pada publik. Salim mengatakan hal ini saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Ketua ANRI M Asichin. Rapat tersebut juga dihadiri Menpan Azwar Abubakar, Lembaga Administrasi Negara (LAN), dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (29/1/2013). Pada masa Orde Baru hanya boleh ada versi tunggal tentang Gerakan 30 September 1965, tetapi setelah era Reformasi beredar berbagai versi tentang percobaan kudeta yang gagal tersebut.
Terbukanya arsip mengenai peristiwa 1965 itu akan memperkuat versi yang lebih faktual dan masuk akal. Sebetulnya itu yang dibutuhkan masyarakat agar memperoleh kejelasan yang sesungguhnya tentang suatu peristiwa yang krusial dan mengenaskan dalam sejarah bangsa. Pada gilirannya ini juga penting untuk kepentingan pengajaran sejarah di sekolah. Sekitar 10 tahun yang lalu saya diberi tahu oleh Dr Muchlis Paeni, Kepala ANRI saat itu, bahwa pada ANRI sudah ada arsip tentang Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia (BTI), dan Gerwani.
Arsip Gerwani tersebut penting misalnya untuk menulis tentang sejarah gerakan perempuan sebelum tahun 1965. Arsip BTI tentu berhubungan juga dengan gerakan reforma agraria yang terjadi tahun 1960-an. Sebelumnya dalam sebuah seminar di Bandung, Kepala ANRI mengatakan bahwa untuk membuka arsip G30S dibutuhkan payung hukum dan Indonesia saat ini belum memiliki payung hukum tersebut. Menurut hemat saya, payung hukumnya adalah Undang-Undang Kearsipan itu sendiri.
Menyelenggarakan sistem kearsipan nasional, mengumpulkan, dan memberi akses kepada publik merupakan tugas ANRI yang sudah diatur dalam Undang-Undang Kearsipan No 43 Tahun 2009. Bahkan dalam undang-undang tersebut juga disebutkan bahwa arsip statis dapat dibuka setelah berusia 25 tahun. Sementara itu arsip-arsip tentang peristiwa 1965 sudah berusia sekitar 50 tahun. Demikian pula dengan arsip mengenai Timor Timur dari tahun 1975 sampai dengan 1988.
Bahkan ada arsip yang dapat dibuka sebelum 25 tahun bila (1) tidak menghambat proses hukum, (2) tidak bertentangan dengan hak kekayaan intelektual, (3) tidak membahayakan pertahanan dan keamanan negara, (4) tidak merugikan ekonomi nasional, (5) bukan data yang bersifat pribadi. Jadi arsip mengenai tragedi Mei 1998 bisa dibuka dengan memperhatikan ketentuan di atas. Jadi dapat disimpulkan bahwa dokumen yang terdapat pada ANRI merupakan salah satu memori kolektif bangsa.
Bangsa ini perlu tahu sejarahnya, oleh sebab itu jangan sampai ada arsip yang disembunyikan lagi seperti terjadi pada masa Orde Baru.
ASVI WARMAN ADAM
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Kalau perlu semua arsip sejarah yang masih tercecer di mana-mana diserahkan ke Arsip Nasional. Ini penting untuk masa sekarang, masa lalu, dan masa depan. Pernyataan Ketua MPR itu tepat karena sampai sekarang masih ada arsip-arsip yang terdapat di mana-mana, misalnya pada keluarga seperti beberapa dokumen yang tersimpan di rumah Rachmawati Soekarnoputri. Beberapa tahun yang lalu, saya bersama Dr Kartono Mohammad pernah berkunjung ke sana dan diperlihatkan beberapa bundel catatan harian perawat yang merawat mantan Presiden Soekarno di Wisma Jaso Jakarta.
Saya kurang tahu apakah dokumen itu sudah diserahkan kepada ANRI. Persoalannya apakah arsip itu bila diserahkan ke sana menjadi tidak dapat diakses publik? Penggelapan sejarah merupakan pengalaman pahit sejarah pada masa Orde Baru. Entah Sekretariat Negara atau ANRI yang menyembunyikan, yang jelas pidato-pidato Bung Karno sejak 30 September 1965 sampai peralihan kekuasaan Februari 1967 tidak bisa diakses publik. Baru pada era Reformasi arsip itu ditemukan di ANRI oleh Bonnie Triyana dan Budi Setiyono yang mengumpulkan dan menerbitkannya.
Padahal di situ terdapat sumber yang sangat penting, misalnya penegasan Presiden Soekarno bahwa pemberian Supersemar bukanlah transfer of authority. Arsip Nasional mengabadikan perjalanan sejarah bangsa dari masa ke masa. Sejalan dengan kemajuan teknologi informasi, bentuk arsip yang disimpan di ANRI tidak hanya dalam bentuk konvensional (tekstual dan kartografis), melainkan juga dalam bentuk media baru (film, video, rekaman suara, foto, mikrofilm, dan ragam format lainnya).
Volume khasanah arsip konvensional yang ada di ANRI hingga saat ini berjumlah sekitar 20 kilometer linier yang terdiri atas arsip masa VOC (1602–1799 ), arsip periode Hindia Belanda (1800–1942 ), periode Inggris (1811–1816), periode Jepang (1942–1945), periode Republik Indonesia (1945–2000). Undang-Undang tentang Kearsipan No 43 Tahun 2009 juga menetapkan DPA. Bila pada pihak kepolisian ada daftar pencarian orang (DPO), DPA adalah daftar pencarian arsip. Ke dalam DPA tentu dapat dimasukkan arsip asli Supersemar yang belum ditemukan sampai sekarang.
Menurut Atmaji Sumarkidjo, selain arsip asli Supersemar, Jenderal Jusuf juga mengatakan pernah memiliki draf pertama surat itu serta surat yang diberi coretan oleh Bung Karno sebelum akhirnya diketik ulang. Itu pun sebetulnya penting untuk ditemukan karena dengan membaca ketiga dokumen itu kita dapat mengetahui perkembangan negosiasi yang tampaknya cukup alot antara Presiden Soekarno di Istana Bogor dengan ketiga jenderal yang datang dari Jakarta.
Anggota Komisi II DPR Salim Mengga mengkhawatirkan pembukaan arsip tentang G30S akan menimbulkan kegaduhan baru pada publik. Salim mengatakan hal ini saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Ketua ANRI M Asichin. Rapat tersebut juga dihadiri Menpan Azwar Abubakar, Lembaga Administrasi Negara (LAN), dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (29/1/2013). Pada masa Orde Baru hanya boleh ada versi tunggal tentang Gerakan 30 September 1965, tetapi setelah era Reformasi beredar berbagai versi tentang percobaan kudeta yang gagal tersebut.
Terbukanya arsip mengenai peristiwa 1965 itu akan memperkuat versi yang lebih faktual dan masuk akal. Sebetulnya itu yang dibutuhkan masyarakat agar memperoleh kejelasan yang sesungguhnya tentang suatu peristiwa yang krusial dan mengenaskan dalam sejarah bangsa. Pada gilirannya ini juga penting untuk kepentingan pengajaran sejarah di sekolah. Sekitar 10 tahun yang lalu saya diberi tahu oleh Dr Muchlis Paeni, Kepala ANRI saat itu, bahwa pada ANRI sudah ada arsip tentang Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia (BTI), dan Gerwani.
Arsip Gerwani tersebut penting misalnya untuk menulis tentang sejarah gerakan perempuan sebelum tahun 1965. Arsip BTI tentu berhubungan juga dengan gerakan reforma agraria yang terjadi tahun 1960-an. Sebelumnya dalam sebuah seminar di Bandung, Kepala ANRI mengatakan bahwa untuk membuka arsip G30S dibutuhkan payung hukum dan Indonesia saat ini belum memiliki payung hukum tersebut. Menurut hemat saya, payung hukumnya adalah Undang-Undang Kearsipan itu sendiri.
Menyelenggarakan sistem kearsipan nasional, mengumpulkan, dan memberi akses kepada publik merupakan tugas ANRI yang sudah diatur dalam Undang-Undang Kearsipan No 43 Tahun 2009. Bahkan dalam undang-undang tersebut juga disebutkan bahwa arsip statis dapat dibuka setelah berusia 25 tahun. Sementara itu arsip-arsip tentang peristiwa 1965 sudah berusia sekitar 50 tahun. Demikian pula dengan arsip mengenai Timor Timur dari tahun 1975 sampai dengan 1988.
Bahkan ada arsip yang dapat dibuka sebelum 25 tahun bila (1) tidak menghambat proses hukum, (2) tidak bertentangan dengan hak kekayaan intelektual, (3) tidak membahayakan pertahanan dan keamanan negara, (4) tidak merugikan ekonomi nasional, (5) bukan data yang bersifat pribadi. Jadi arsip mengenai tragedi Mei 1998 bisa dibuka dengan memperhatikan ketentuan di atas. Jadi dapat disimpulkan bahwa dokumen yang terdapat pada ANRI merupakan salah satu memori kolektif bangsa.
Bangsa ini perlu tahu sejarahnya, oleh sebab itu jangan sampai ada arsip yang disembunyikan lagi seperti terjadi pada masa Orde Baru.
ASVI WARMAN ADAM
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
(hyk)