Vonis ringan Angie
A
A
A
Masyarakat Indonesia kaget sekaligus prihatin saat majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memberikan vonis empat setengah tahun tahun kepada Angelina Sondakh (Angie).
Vonis ringan ini sangat melukai rasa keadilan masyarakat dan tidak memberikan efek jera bagi koruptor. Apalagi, putusan ini jauh dari tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta hakim menghukum Putri Indonesia 2001 itu dengan 12 tahun penjara.
Majelis hakim juga tidak meminta Angie untuk membayar uang pengganti Rp12 miliar dan USD2,3 juta. Putusan atas Angie ini menambah deretan para koruptor yang diberi hukuman ringan seperti Nunun Nurbaetie, Wa Ode Nurhayati, Miranda S Goeltom, Hakim Syarifuddin maupun M Nazaruddin.
Fenomena menyesakkan dada ini akan membuat masyarakat semakin apatis kepada penegak hukum.Tak salah juga bila masyarakat menduga ada “permainan” di balik munculnya hukuman ringan ini.
Apalagi ada sejumlah aparat penegak hukum yang tertangkap basah menerima suap dari kasus yang ditanganinya. Vonis ringan Angie ini menunjukkan betapa para majelis hakim tidak memiliki sensitivitas akan bahaya korupsi. Padahal korupsi sudah menjadi penyakit kronis yang terus menggerogoti bangsa ini.
Pantas saja jika Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2012 berada pada peringkat 118 dunia versi Transparency International Indonesia (TII). Dengan peringkat ini Indonesia dinilai belum keluar dari situasi korupsi yang mengakar bahkan cenderung meluas.
Pemerintah memang tidak pernah bisa tegas menghadapi koruptor.Kita tak pernah mendengar koruptor dihukum berat atau dihukum mati. Hal ini berbeda perlakuannya dengan kasus narkoba atau terorisme. Untuk dua jenis kejahatan terakhir ini, pemerintah begitu tegas hingga pelakunya banyak yang dihukum mati.
Padahal sebenarnya kalau kita telisik, ketiga jenis kejahatan tersebut sama-sama memiliki daya hancur yang luar biasa. Karena itu, terasa aneh kalau pemerintah masih menganakemaskan para koruptor.
Atau jangan-jangan pemerintah tidak pernah serius untuk memberantas korupsi.Kenyataan ini sungguh ironis. Bagaimanapun vonis ringan tidak bisa dimungkiri merupakan salah satu penyebab makin maraknya korupsi di republik ini. Para koruptor tidak takut melakukan korupsi karena hukumannya rendah.
Mereka tetap bisa tersenyum karena harta negara yang mereka jarah juga aman dan bisa dinikmati sehabis keluar penjara. Hilangnya rasa malu di dalam masyarakat kita juga menjadi faktor lain yang memicu korupsi.
Apalagi saat ini negara hampir tak memiliki keteladanan hidup dalam kesederhanaan. Para pejabat begitu bangganya memamerkan kemewahan ke masyarakat. Fenomena korupsi di Indonesia bukan lagi karena faktor kebutuhan (corruption by need), tetapi sudah dipenuhi hasrat keserakahan manusianya (corruption by greed).
Fenomena ini patut menjadi perhatian bersama semua komponen bangsa ini. Pemerintah dan aparat hukum harus mengubah paradigmanya dalam melihat kasus korupsi. Korupsi yang sudah menjamur harus dilihat sebagai kejahatan luar biasa yang juga memerlukan upaya dan penanganan luar biasa juga.
Usulan hukuman mati ataupun pemiskinan bagi koruptor patut mendapat perhatian dari aparat hukum agar Indonesia bebas korupsi.
KPK sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi harus terus menata diri. KPK harus menunjukkan independensinya dengan tidak pandang bulu dalam memberantas korupsi. Polri dan kejaksaan juga harus terus berbenah dalam ikut memberantas korupsi.
Yang takkalah penting selain menjeratparakoruptoradalah bagaimana sebisa mungkin mengembalikan uang rakyat yang telah dijarah koruptor ke kas negara. Hanya dengan integritas dan komitmen bersama,perjuangan melawan korupsi bisa berhasil.
Vonis ringan ini sangat melukai rasa keadilan masyarakat dan tidak memberikan efek jera bagi koruptor. Apalagi, putusan ini jauh dari tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta hakim menghukum Putri Indonesia 2001 itu dengan 12 tahun penjara.
Majelis hakim juga tidak meminta Angie untuk membayar uang pengganti Rp12 miliar dan USD2,3 juta. Putusan atas Angie ini menambah deretan para koruptor yang diberi hukuman ringan seperti Nunun Nurbaetie, Wa Ode Nurhayati, Miranda S Goeltom, Hakim Syarifuddin maupun M Nazaruddin.
Fenomena menyesakkan dada ini akan membuat masyarakat semakin apatis kepada penegak hukum.Tak salah juga bila masyarakat menduga ada “permainan” di balik munculnya hukuman ringan ini.
Apalagi ada sejumlah aparat penegak hukum yang tertangkap basah menerima suap dari kasus yang ditanganinya. Vonis ringan Angie ini menunjukkan betapa para majelis hakim tidak memiliki sensitivitas akan bahaya korupsi. Padahal korupsi sudah menjadi penyakit kronis yang terus menggerogoti bangsa ini.
Pantas saja jika Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2012 berada pada peringkat 118 dunia versi Transparency International Indonesia (TII). Dengan peringkat ini Indonesia dinilai belum keluar dari situasi korupsi yang mengakar bahkan cenderung meluas.
Pemerintah memang tidak pernah bisa tegas menghadapi koruptor.Kita tak pernah mendengar koruptor dihukum berat atau dihukum mati. Hal ini berbeda perlakuannya dengan kasus narkoba atau terorisme. Untuk dua jenis kejahatan terakhir ini, pemerintah begitu tegas hingga pelakunya banyak yang dihukum mati.
Padahal sebenarnya kalau kita telisik, ketiga jenis kejahatan tersebut sama-sama memiliki daya hancur yang luar biasa. Karena itu, terasa aneh kalau pemerintah masih menganakemaskan para koruptor.
Atau jangan-jangan pemerintah tidak pernah serius untuk memberantas korupsi.Kenyataan ini sungguh ironis. Bagaimanapun vonis ringan tidak bisa dimungkiri merupakan salah satu penyebab makin maraknya korupsi di republik ini. Para koruptor tidak takut melakukan korupsi karena hukumannya rendah.
Mereka tetap bisa tersenyum karena harta negara yang mereka jarah juga aman dan bisa dinikmati sehabis keluar penjara. Hilangnya rasa malu di dalam masyarakat kita juga menjadi faktor lain yang memicu korupsi.
Apalagi saat ini negara hampir tak memiliki keteladanan hidup dalam kesederhanaan. Para pejabat begitu bangganya memamerkan kemewahan ke masyarakat. Fenomena korupsi di Indonesia bukan lagi karena faktor kebutuhan (corruption by need), tetapi sudah dipenuhi hasrat keserakahan manusianya (corruption by greed).
Fenomena ini patut menjadi perhatian bersama semua komponen bangsa ini. Pemerintah dan aparat hukum harus mengubah paradigmanya dalam melihat kasus korupsi. Korupsi yang sudah menjamur harus dilihat sebagai kejahatan luar biasa yang juga memerlukan upaya dan penanganan luar biasa juga.
Usulan hukuman mati ataupun pemiskinan bagi koruptor patut mendapat perhatian dari aparat hukum agar Indonesia bebas korupsi.
KPK sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi harus terus menata diri. KPK harus menunjukkan independensinya dengan tidak pandang bulu dalam memberantas korupsi. Polri dan kejaksaan juga harus terus berbenah dalam ikut memberantas korupsi.
Yang takkalah penting selain menjeratparakoruptoradalah bagaimana sebisa mungkin mengembalikan uang rakyat yang telah dijarah koruptor ke kas negara. Hanya dengan integritas dan komitmen bersama,perjuangan melawan korupsi bisa berhasil.
(maf)