Mobil murah dan kemacetan Jakarta
A
A
A
Masyarakat Jakarta mengakhiri tahun 2012 dengan bayangan tentang kemacetan yang belum menunjukkan tandatanda perbaikan. Tampaknya, pada 2013 warga Jakarta harus siap menghadapi permasalahan yang sama, mengingat solusi atas kemacetan Jakarta dipastikan belum akan terwujud.
Dengan keberadaan mobil murah yang akan mulai memasuki pasar, keadaan bahkan dipastikan akan semakin menantang. Tahun ini lima produsen mobil besar dunia berencana memasarkan mobil murah di Indonesia. Di antaranya Nissan yang akan memproduksi mobil murah seharga Rp29 juta per unit, sangat terjangkau bagi sebagian besar warga Jakarta.
Dengan harga yang tidak terpaut jauh dengan harga sepeda motor diperkirakan akan terdapat migrasi besar-besaran dari sepeda motor ke mobil murah; apalagi di tengah industri perbankan yang relatif mudah memberikan kredit barang konsumsi. Hal ini berpotensi mengakibatkan kemacetan total di jalan-jalan Jakarta.
Jakarta adalah contoh sempurna fenomena “tragedy of the common”, di mana upaya masing-masing individu untuk meningkatkan kenyamanan dengan membeli mobil pribadi justru menghasilkan ketidaknyamanan kolektif berupa kemacetan. Kecenderungan yang sama juga mulai terasa di kota-kota lain seperti Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, dan Denpasar.
Diperlukan upaya serius dari pemerintah dan masyarakat agar tragedi ini tidak terjadi. Tragedy of the common dapat dihindari dengan mengubah perilaku masyarakat sebagai penyebab utama. Hal tersebut hanya bisa diwujudkan melalui penerapan kebijakan publik yang efektif dan bertujuan jelas. Sayangnya, berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah justru sering tidak mengerucut pada satu tujuan.
Ketidakselarasan kebijakan merupakan fenomena keseharian sehingga akumulasi dampak dari berbagai kebijakan tersebut adakalanya tidak sesuai harapan. Konsekuensi yang tidak diharapkan sering lebih dominan. Dalam konteks memperbaiki transportasi perkotaan di Indonesia terlihat jelas absennya harmoni horizontal (antarkementrian) dan vertikal (antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah).
Masingmasing institusi mempunyai parameter keberhasilan yang berbeda. Misalnya, perkembangan industri automotif dan peningkatan investasi langsung merupakan parameter sukses Kementrian Perindustrian dan BKPM.
Di sisi lain, peningkatan jumlah mobil akan meningkatkan konsumsi BBM yang berdampak pada pembengkakan nilai subsidi, memperburuk polusi, dan menurunkan kualitas layanan infrastruktur. Hal tersebut justru merupakan tantangan bagi Kementrian Keuangan, Kementrian Perhubungan, Kementrian Pekerjaan Umum, dan pemerintah daerah.
Perlu langkah nyata
Ide pelarangan mobil murah bukanlah pilihan tepat di era demokrasi ini.Kebijakan tersebut bersifat diskriminatif, terutama kepada masyarakat kelas menengah yang menjadi konsumen potensial mobil tersebut. Dalam konteks ini, pemerintah perlu melakukan pendekatan lain yaitu dengan menurunkan tingkat manfaat dan menaikkan biaya operasional bagi para pemilik mobil.
Rencana ini perlu melibatkan berbagai institusi pemerintah dan harus dilakukan secara bersamaan untuk mendapatkan manfaat optimal. Upaya menurunkan tingkat manfaat mobil pribadi akan menurunkan minat masyarakat untuk memilikinya. Hal ini dapat dilakukan dengan memperbaiki sarana transportasi umum dan membangun mass rapid transportation system (MRT).
Sayangnya, rencana membangun MRT yang sudah digagas sejak lebih dari dua dekade yang lalu selalu tertunda. Ide untuk merevitalisasi transportasi umum juga belum terwujud. Ketersediaan anggaran merupakan salah satu kendala utama. Dengan APBD DKI Jakarta sebesar sekitar Rp46 triliun tahun ini,Pemda DKI kesulitan mewujudkan subway tahap I dan monorel yang memerlukan investasi sebesar Rp16 triliun dan Rp7 triliun.
Padahal, penundaan tersebut akan mengakibatkan semakin sulitnya rencana ini diwujudkan pada masa mendatang akibat membumbungnya biaya pembebasan tanah dan konstruksi, jauh di atas tingkat inflasi. Upaya pengembangan MRT harus diikuti dengan peningkatan biaya operasional kendaraan pribadi dengan menaikkan harga barang dan jasa yang merupakan komplementer dari mobil.
Salah satu kebijakan yang bisa ditempuh adalah menaikkan harga BBM. Rencana ini yang sebenarnya sudah sangat terlambat,selain dapat menurunkan minat masyarakat untuk memiliki atau menggunakan kendaraan pribadi, juga akan menghemat pengeluaran pemerintah. Pada 2013 diperkirakan pemerintah akan mengalokasikan dana sebesar Rp200 triliun untuk subsidi BBM.
Nilai yang sebenarnya lebih dari cukup untuk membangun sistem MRT modern di beberapa kota utama Indonesia. Upaya lain yang bisa dilakukan adalah meningkatkan biaya parkir, terutama di kawasan padat kendaraan.Ide ini alternatif yang lebih mudah dan sederhana dibandingkan dengan rencana menerapkan electronic road pricing (ERP), yaitu tol atas kendaraan di jalan-jalan tertentu Kota Jakarta.
Selain membutuhkan investasi tidak sedikit, implementasi ERP di lapangan juga relatif rumit. Biaya parkir sebesar Rp3 ribu per jam saat ini termasuk sangat murah. Menaikkannya menjadi Rp10 ribu di berbagai kawasan padat di Jakarta perlu dipertimbangkan lebih lanjut. Ide ini, selain berpotensi menekan jumlah pengguna mobil pribadi, juga akan meningkatkan pendapatan asli Pemda DKI Jakarta.
Kombinasi ketiga hal tersebut diharapkan akan membangun perilaku efisien dalam memanfaatkan kendaraan pribadi, tanpa menutup peluang bagi masyarakat untuk memilikinya. Masyarakat akan lebih selektif dalam menentukan kapan mereka harus berjalan kaki, mengendarai sepeda, naik kendaraan umum, atau memanfaatkan mobil pribadi.
Di berbagai negara maju, mayoritas masyarakat memiliki mobil,tetapi untuk kegiatan keseharian mereka lebih mengandalkan kendaraan umum dan menempatkan kendaraan pribadi sebagai pilihan terakhir.
Pakar ekonomi perkotaan, Richard Florida, mengatakan persaingan pada masa depan adalah persaingan antarkota,bukan antarnegara.Kita akan lebih jarang berbicara tentang Indonesia, Singapura, Malaysia,Filipina, dan Thailand,tetapi akan lebih sering membandingkan Jakarta, Singapura,Kuala Lumpur, Manila, dan Bangkok.
Dalam konteks ini pemerintah pusat harus ikut turun tangan memperbaiki Jakarta yang merupakan hub (pusat) ekonomi dan wajah Indonesia di dunia. Apabila tidak, impian untuk mewujudkan Indonesia yang berdaya saing tinggi di kawasan tidak akan pernah terwujud.
WIJAYANTO SAMIRIN
Deputi Rektor Universitas Paramadina, Co-Founder dan Managing Director dari Paramadina Public Policy Institute.
Twitter: @wija_samirin
Dengan keberadaan mobil murah yang akan mulai memasuki pasar, keadaan bahkan dipastikan akan semakin menantang. Tahun ini lima produsen mobil besar dunia berencana memasarkan mobil murah di Indonesia. Di antaranya Nissan yang akan memproduksi mobil murah seharga Rp29 juta per unit, sangat terjangkau bagi sebagian besar warga Jakarta.
Dengan harga yang tidak terpaut jauh dengan harga sepeda motor diperkirakan akan terdapat migrasi besar-besaran dari sepeda motor ke mobil murah; apalagi di tengah industri perbankan yang relatif mudah memberikan kredit barang konsumsi. Hal ini berpotensi mengakibatkan kemacetan total di jalan-jalan Jakarta.
Jakarta adalah contoh sempurna fenomena “tragedy of the common”, di mana upaya masing-masing individu untuk meningkatkan kenyamanan dengan membeli mobil pribadi justru menghasilkan ketidaknyamanan kolektif berupa kemacetan. Kecenderungan yang sama juga mulai terasa di kota-kota lain seperti Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, dan Denpasar.
Diperlukan upaya serius dari pemerintah dan masyarakat agar tragedi ini tidak terjadi. Tragedy of the common dapat dihindari dengan mengubah perilaku masyarakat sebagai penyebab utama. Hal tersebut hanya bisa diwujudkan melalui penerapan kebijakan publik yang efektif dan bertujuan jelas. Sayangnya, berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah justru sering tidak mengerucut pada satu tujuan.
Ketidakselarasan kebijakan merupakan fenomena keseharian sehingga akumulasi dampak dari berbagai kebijakan tersebut adakalanya tidak sesuai harapan. Konsekuensi yang tidak diharapkan sering lebih dominan. Dalam konteks memperbaiki transportasi perkotaan di Indonesia terlihat jelas absennya harmoni horizontal (antarkementrian) dan vertikal (antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah).
Masingmasing institusi mempunyai parameter keberhasilan yang berbeda. Misalnya, perkembangan industri automotif dan peningkatan investasi langsung merupakan parameter sukses Kementrian Perindustrian dan BKPM.
Di sisi lain, peningkatan jumlah mobil akan meningkatkan konsumsi BBM yang berdampak pada pembengkakan nilai subsidi, memperburuk polusi, dan menurunkan kualitas layanan infrastruktur. Hal tersebut justru merupakan tantangan bagi Kementrian Keuangan, Kementrian Perhubungan, Kementrian Pekerjaan Umum, dan pemerintah daerah.
Perlu langkah nyata
Ide pelarangan mobil murah bukanlah pilihan tepat di era demokrasi ini.Kebijakan tersebut bersifat diskriminatif, terutama kepada masyarakat kelas menengah yang menjadi konsumen potensial mobil tersebut. Dalam konteks ini, pemerintah perlu melakukan pendekatan lain yaitu dengan menurunkan tingkat manfaat dan menaikkan biaya operasional bagi para pemilik mobil.
Rencana ini perlu melibatkan berbagai institusi pemerintah dan harus dilakukan secara bersamaan untuk mendapatkan manfaat optimal. Upaya menurunkan tingkat manfaat mobil pribadi akan menurunkan minat masyarakat untuk memilikinya. Hal ini dapat dilakukan dengan memperbaiki sarana transportasi umum dan membangun mass rapid transportation system (MRT).
Sayangnya, rencana membangun MRT yang sudah digagas sejak lebih dari dua dekade yang lalu selalu tertunda. Ide untuk merevitalisasi transportasi umum juga belum terwujud. Ketersediaan anggaran merupakan salah satu kendala utama. Dengan APBD DKI Jakarta sebesar sekitar Rp46 triliun tahun ini,Pemda DKI kesulitan mewujudkan subway tahap I dan monorel yang memerlukan investasi sebesar Rp16 triliun dan Rp7 triliun.
Padahal, penundaan tersebut akan mengakibatkan semakin sulitnya rencana ini diwujudkan pada masa mendatang akibat membumbungnya biaya pembebasan tanah dan konstruksi, jauh di atas tingkat inflasi. Upaya pengembangan MRT harus diikuti dengan peningkatan biaya operasional kendaraan pribadi dengan menaikkan harga barang dan jasa yang merupakan komplementer dari mobil.
Salah satu kebijakan yang bisa ditempuh adalah menaikkan harga BBM. Rencana ini yang sebenarnya sudah sangat terlambat,selain dapat menurunkan minat masyarakat untuk memiliki atau menggunakan kendaraan pribadi, juga akan menghemat pengeluaran pemerintah. Pada 2013 diperkirakan pemerintah akan mengalokasikan dana sebesar Rp200 triliun untuk subsidi BBM.
Nilai yang sebenarnya lebih dari cukup untuk membangun sistem MRT modern di beberapa kota utama Indonesia. Upaya lain yang bisa dilakukan adalah meningkatkan biaya parkir, terutama di kawasan padat kendaraan.Ide ini alternatif yang lebih mudah dan sederhana dibandingkan dengan rencana menerapkan electronic road pricing (ERP), yaitu tol atas kendaraan di jalan-jalan tertentu Kota Jakarta.
Selain membutuhkan investasi tidak sedikit, implementasi ERP di lapangan juga relatif rumit. Biaya parkir sebesar Rp3 ribu per jam saat ini termasuk sangat murah. Menaikkannya menjadi Rp10 ribu di berbagai kawasan padat di Jakarta perlu dipertimbangkan lebih lanjut. Ide ini, selain berpotensi menekan jumlah pengguna mobil pribadi, juga akan meningkatkan pendapatan asli Pemda DKI Jakarta.
Kombinasi ketiga hal tersebut diharapkan akan membangun perilaku efisien dalam memanfaatkan kendaraan pribadi, tanpa menutup peluang bagi masyarakat untuk memilikinya. Masyarakat akan lebih selektif dalam menentukan kapan mereka harus berjalan kaki, mengendarai sepeda, naik kendaraan umum, atau memanfaatkan mobil pribadi.
Di berbagai negara maju, mayoritas masyarakat memiliki mobil,tetapi untuk kegiatan keseharian mereka lebih mengandalkan kendaraan umum dan menempatkan kendaraan pribadi sebagai pilihan terakhir.
Pakar ekonomi perkotaan, Richard Florida, mengatakan persaingan pada masa depan adalah persaingan antarkota,bukan antarnegara.Kita akan lebih jarang berbicara tentang Indonesia, Singapura, Malaysia,Filipina, dan Thailand,tetapi akan lebih sering membandingkan Jakarta, Singapura,Kuala Lumpur, Manila, dan Bangkok.
Dalam konteks ini pemerintah pusat harus ikut turun tangan memperbaiki Jakarta yang merupakan hub (pusat) ekonomi dan wajah Indonesia di dunia. Apabila tidak, impian untuk mewujudkan Indonesia yang berdaya saing tinggi di kawasan tidak akan pernah terwujud.
WIJAYANTO SAMIRIN
Deputi Rektor Universitas Paramadina, Co-Founder dan Managing Director dari Paramadina Public Policy Institute.
Twitter: @wija_samirin
(rsa)