Jokowi: Refleksi 2014

Jum'at, 13 Juli 2012 - 12:00 WIB
Jokowi: Refleksi 2014
Jokowi: Refleksi 2014
A A A
HASIL sementara (quick count) dari perhitungan berbagai lembaga survei atau Pilgub DKI 11 Juli 2012 lalu, jelas bisa menjadi refleksi bagaimana Pemilu 2014 mendatang berlangsung dan ditentukan.

Keunggulan pasangan Jokowi-Ahok dalam hasil sementara itu benar-benar menjadi sukses gemilang pertama partai-partai pendukungnya yang akan bertarung ketat dalam Pemilu dan Pilpres 2014 mendatang. Tentu saja harus disebut di sini Partai Gerindra dan Prabowo Subianto, yang tampak sekali committed alias nafsu mendukung pasangan cagub DKI di atas. Jokowi-Ahok jelas diposisikan sebagai uji coba atau semacam testing the water bagi Gerindra untuk membaca potensi-potensinya, peluang dan jaringan kerjanya dalam pemilu mendatang.

Tentu saja, terutama, bagaimana partai itu harus mengedepankan capresnya yang sudah ditetapkan jauh lebih dulu, mantan Jenderal Prabowo Subianto. Dengan berbagai cara atau modus, banyak pihak mengetahui, Prabowo dan partainya bukan hanya mendukung, tapi juga menyuplai kebutuhan-kebutuhan kampanye Jokowi seperti mengukur seberapa jauh kekuatan -terutama dana mereka- dalam ikut menentukan hasil akhir dari sebuah pemilihan “demokratis”.

PDIP yang menjadi koalisi, bisa dilihat masyarakat, tidaklah terlibat sama intensnya dengan Prabowo-Gerindra. Banyak kalangan dekat juga tahu info tentang pilihan PDIP dan Megawati semula bukanlah Jokowi, melainkan dengan intervensi kuat dari kubu Prabowo akhirnya mereka sepakat untuk mendukung Jokowi. Tentu saja, sekali lagi, sebagai testing the water dalam perlawanan mereka terhadap petahana, Partai Demokrat (PD), di mana Fauzi Bowo menjadi anggota Dewan Pembinanya.

Hasil uji coba ini sungguh membuktikan bagaimana mesin politik PD tidak bekerja baik atau semestinya, kurang sungguh-sungguh. Walaupun calon yang dipilih adalah salah pejabat pentingnya, dibanding Jokowi yang tidak punya kaitan organisasional-formal dengan Gerindra, misalnya. Tesis utamanya: petahana yang kuat itu ternyata bisa ditaklukkan, apalagi jika krisis legitimasi publiknya terus berjalan atau bertambah akut. Jadi penting berbagai kasus korupsi yang melanda para pejabat PD belakangan dipertahankan momentumnya, bahkan jika perlu diperdalam atau dibikin kian kusut.

Kota di Puncak Piramida
Secara kualitatif-proporsional sebenarnya saya menilai Fauzi Bowo lebih kapabel ketimbang Jokowi dalam mengurus Jakarta. Keterlibatannya yang dalam di semua urusan Ibu Kota, mulai dari tingkatan staf di pemda hingga posisi puncak, kapasitas intelektual atau akademik, hingga penguasaan mesin birokrasi hanya beberapa alasan standar untuk penilaian itu.

Lebih dari itu, dalam berbagai ukuran, Jakarta sebagai ibu kota jauh lebih besar dari Solo atau Surakarta, tempat selama ini Jokowi memerintah. Bukan hanya hampir Rp40 triliun dana APBD-nya, berbanding Solo yang hanya sekitar 5% dari itu, tapi juga jumlah penduduk, kompleksitas masalah yang tak hanya berdekade, tapi juga berabad-abad, pergerakan dan dinamika masyarakat atau kultur urban yang sangat tinggi, dan terutama tumpukan puncak piramida sosial, politik, dan ekonomi yang ada dalam fitrah sejarahnya.

Bukan hanya hampir Rp1.000 triliun dana publik yang dikelola masyarakat Jakarta, tapi juga ribuan elite yang menentukan kebijakan nasional, ratusan pengusaha paling top, hingga markas-markas mafia dan preman tingkat nasional ada di sana. Fakta-fakta dan realitas yang tentu saja jauh di atas jangkauan Solo, bahkan Jawa Tengah sebagai provinsinya.

Tapi tentu saja alasan etik akan selalu diajukan: mengapa tidak boleh orang lain mencoba untuk mengurusnya? Tentu dalam etik dan moral, tak ada alasan untuk tidak membolehkan. Di sini yang diperhitungkan persoalan kapasitas dan kapabilitas. Satu hal utama, tentang pengenalan secara mental hingga spiritual tentang kultur dan psikologi masyarakat urban-metropolis semacam Jakarta, yang membutuhkan pergumulan atau kedekatan emosional yang cukup akrab dengan dekat. Faktor yang juga dimiliki oleh Fauzi Bowo, anak Betawi, ketimbang beberapa kandidat lainnya.

Jokowi sukses dengan baik memerintah Solo, karena di situlah ia berkembang, dewasa, dan menjadi bagian integral secara emosional, kultural, dan spiritual. Ia tahu bukan hanya tiap inci kotanya, melainkan juga tiap delik persoalan hingga tiap sudut isi hati masyarakatnya. Kapasitas ini sangat tidak mudah didapatkan, tanpa keterlibatan yang cukup dalam. Untuk Jakarta, sebenarnya ia -jika jadi gubernur- sebenarnya hampir seperti alien.

Kebudayaan Jakarta
Namun, begitulah politik, sebuah seni yang membuat apa “yang tidak mungkin menjadi mungkin”. Jokowi harus diakui cerdas mengisi ceruk-ceruk pemerintahan yang selama ini dianggap gagal dipenuhi petahana, dan mengisinya dengan janji program yang kuat. Programnya sangat prorakyat kecil, sebagaimana ia lakukan di Solo. Sementara Fauzi sibuk melayani kelas menengah dan elite yang selama ini mendukungnya karena memang di situlah kebijakan diolah dan ditentukan.

Ia lupa, kelas yang lebih punya waktu dan senang dengan selebrasi pemilu bukanlah kelas yang ia bela, yang mungkin menempati porsi terbesar di antara 36% golput di pilkada kemarin. Lain pihak, Jokowi mengisi kelemahan komunikasi Fauzi (yang kaku, susah senyum, bibir ditutupi kumis tebal, terlalu ilmiah, intelek, dan sebagainya) dengan menghadirkan figur yang dilambari senyum lebar naif, tidak selebrasional, populis, plus baju kasual kotak-kotak berwarna kuat yang tentu saja bukan pilihan simbolik kelas atas dan menengah.

Persoalan yang juga kritis adalah kurangnya atensi para cagub, terutama Fauzi, pada sisi atau persoalan kebudayaan. Pembangunan sebuah kota internasional macam Jakarta tak bisa tidak harus didukung oleh pemahaman yang dalam tentang dimensi kebudayaannya, dimensi di mana kualitas kemanusiaan berada, kualitas yang justru paling dipertaruhkan (baca: kritis) dalam kehidupan postmodern ini.

Sehebat apa pun kota dibangun jika tidak mampu membangun manusianya, ia bisa dibilang gagal. Di sisi ini, Jokowi memberi janji, melihat latar Solo yang memosisikan diri sebagai sentra dari kebudayaan Jawa. Namun, apakah hal itu bisa juga bekerja di Jakarta bila ia terpilih? Belum ada garansi. Perlu kita ketahui dulu, apa visi Jokowi tentang manusia Jakarta dan kebudayaan yang melingkupinya. Jelas, ia bukan Solo, bukan Jawa. Jelas bukan.

RADHAR PANCA DAHANA
Budayawan
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0230 seconds (0.1#10.140)