Pencarian Moeslim Abdurrahman, haruskah berhenti?

Selasa, 10 Juli 2012 - 12:08 WIB
Pencarian Moeslim Abdurrahman, haruskah berhenti?
Pencarian Moeslim Abdurrahman, haruskah berhenti?
A A A
JUMAT malam, 6 Juli 2012, Dr Moeslim Abdurrahman meninggalkan kita semua, menuju ke haribaan sang Pencipta, yang selama ini dia cari.

Berhentikah kita mencari kebermaknaan Tuhan bagi kehidupan umat manusia seperti yang selama ini dilakukan melalui ucapan dan tindakan Kang Moeslim Abdurrahman? Entahlah, karena pencarian kita itu apakah sudah sampai, baru berada di tengah jalan yang benar, atau kita sebenarnya sedang sesat jalan? Hanya kita sendiri yang bisa menggugat meski orang lain bergemuruh membenarkan atau sebaliknya menyatakan sesat jalan.

Dalam sebuah buku kecil kumpulan karangan berjudul Satu Tuhan Seribu Tafsir terbitan Kanisius, Moeslim menulis: “Ini sekadar bagian atau contoh dari kerumitan teologis: Mengapa pluralitas sebenarnya adalah sebuah keniscayaan, sementara klaim kebenaran pada dasarnya adalah tafsiran yang terbatas karena sejak awal dibatasi oleh sejarah seseorang yang lahir dari komunitas yang memang berbeda-beda, di samping perbedaan struktur sosial yang menjadi lokus inkulturasi dan akulturasi agama dan keyakinannya.

Tuhan “Objektif”, saya kira tidak mungkin untuk tidak menimbang dan mempertimbangkan faktor-faktor yang membatasi dan menjadi kendala setiap manusia untuk taqarrub, yakni berusaha mendekati-Nya, tentu dalam kapasitas masing-masing dan dalam konsep Tuhan “Subjektif” yang dikenalnya dan pemahaman tentang kehendak-Nya sesuai dengan teks suci yang diwarisinya.”( halaman 9).

Tulisan itu merupakan komentar atas apa yang menurutnya: “Dan persoalannya, bagaimana mungkin kita mau menghapus pilar-pilar peradaban itu hanya karena alasan politik, toh ada hukum Tuhan yang tidak mungkin kita lawan. Bahwa seorang anak manusia pasti akan dilahirkan oleh ibunya dan seorang bayi sebelum lahir tidak mungkin berunding dulu dengan Tuhan, dari kandungan perempuan mana ia akan lahir, di kawasan budaya dan komunitas mana ia mau dibesarkan, termasuk permintaan misalnya janganlah Tuhan menitipkan ruhnya di keluarga yang miskin sebab mungkin bisa menghalangi tingkat kesalehan hidupnya di dunia nanti akibat kemiskinannya itu.”(halaman 8-9).

Tulisan Moeslim itu penting kita baca kembali menjelang bulan suci saat banyak orang atas nama Tuhan yang diyakininya menutup kafe-kafe dan nanti juga menutup warung makan agar tidak buka di siang hari, sementara ribuan orang menanti suapan dari tangan-tangan yang bergantung kepadanya.

Mengapa orang tidak mengembangkan lapangan kerja di percetakan kitab suci agar tidak bekerja di kafe atau warung makan pinggir jalan. Mungkin juga karena pencetakan kitab suci pun telah dikorupsi, mungkin sejak lama, hanya baru ketahuan sekarang. Atau, ini sebagai penanda kiamat sudah dekat sehingga Dajjal pun menguasai bidang-bidang yang semestinya memuliakan asma Allah.

Moeslim yang saya kenal ialah muslim yang berani dan bisa membuka jendela imannya untuk menengok iman model tetangganya agar ia bisa berdialog dan tukar pengalaman tentang pencarian abadi kebertuhanan yang tidak pernah selesai. Karena itu, kadang ucapan dan tindakannya membuat banyak orang terhenyak kaget, ketika keyakinannya yang selama ini dipandang sudah baku mutlak benar itu seolah coba diurai kembali.

Tampilan yang sederhana mencerminkan keluguan sikap hidup sekaligus kejujuran yang ia coba pegang teguh, juga dalam praktik beragama yang ia peluk sejak sebelum “lahir” itu. Lahir dari keluarga yang saleh di Lamongan, Jawa Timur pada 1948, hingga sarjana belajar ilmu tentang agama yang diyakini sejak sebelum lahir, memperoleh master dan doktor antropologi di University of Illinois, Urbana, Amerika Serikat.

Pernyataan, ucapan, dan tindakan Moeslim sesudahnya itu seolah mempertanyakan kembali praktik ajaran yang dipelajari di Tanah Air. Walaupun itu semua merupakan cara meneguhkan kembali keyakinannya dengan cara lanjut karena “maqam”-nya sudah naik ke bintang 11. Ia akrab dengan tokoh-tokoh NU walaupun besar dari keluarga Muhammadiyah. Ia akrab dengan tokoh-tokoh Hindu, Buddha, dan Kristiani meskipun Moeslim ini adalah seorang muslim yang saleh.

Dalam gerakan Islam modernis terbesar di negeri ini ia pernah dipercaya sebagai ketua Lembaga Pemberdayaan Buru, Tani, dan Nelayan. Ia juga menjabat sebagai ketua Al-Maun Institute yang didirikan mengacu pada legenda yang identik dengan aksi-aksi kemanusiaan Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Meski demikian, tidak segan ia melancarkan kritik ke tubuh gerakan ini sehingga pernah ia lontarkan perlunya kelahiran Muhammadiyah Jilid II saat ia melihat gejala kemandekan ijtihad dalam gerakan ini.

Pada Agustus 2003, bersama penulis dan beberapa tokoh nasional, Moeslim Abdurrahman berangkat umrah. Saat naik bus dari Bandara King Abul Aziz menuju Kota Mekkah dalam suatu obrolan muncul pertanyaan "entah dari siapa” tentang “Apa yang paling menarik dari ribuan orang yang setiap saat berziarah umrah ke Tanah Suci?” Semua penumpang susul-menyusul melontarkan jawaban spontan, tapi yang membuat penumpang bus itu terhenyak ialah jawaban Moeslim Abdurrahman.

Atas pertanyaan tersebut, Moeslim menjawab, “Paling penting dari ziarah haji dan umrah ini ialah berapa juta real yang masuk sebagai devisa pemerintahan Arab Saudi!” Sontak penumpang bus peziarah umrah itu tergelak… tapi… segera terdiam… sambil bergumam lirih yang didengar telinga masing-masing. Bagaimana sebenarnya peziarah itu menangkap makna dari jawaban Moeslim tersebut? Mungkin dibawa Moeslim menghadap Tuhan.

Dari sekian banyak buku dan karya tulis yang lahir dari kepalanya, yang menarik ialah ketika Moeslim menulis: “…legitimasi Tuhan anehnya juga dapat membenarkan orang boleh membunuh orang lain karena panggilan-Nya, bahkan mengesahkan permusuhan yang berkepanjangan juga dengan alasan karena ajaran-Nya. Maka, tidak heran, dalam berbagai pertikaian politik seolaholah yang terjadi adalah Tuhan menyerang Tuhan.

Masing-masing Tuhan saling berebut menang, bahkan tidak hanya yang menang dalam permusuhan itu, mereka mengaku telah memperoleh bukti bahwa merekalah yang sesungguhnya mendapat pertolongan-Nya karena mereka di pihak yang benar, tetapi yang kalah pun untuk menjaga semangatnya mengaku bahwa mereka sebetulnya sedang dicoba Tuhan, yakni apakah tahan dengan kekalahannya itu sebagai pembela kebenaran.” (Satu Tuhan Seribu Tafsir, halaman 6-7).

Seperti komentar banyak temannya, Moeslim yang dekat dengan Gus Dur itu adalah pemikir kritis yang menggugah banyak orang yang mengantuk. Banyak warisan yang ditinggalkan Kang Moeslim, namun satu hal yang penting dicatat ialah pertanyaannya suatu saat bahwa: “Apakah kita ber-Tuhan sesungguhnya karena untuk melawan Tuhan orang lain?” Selamat jalan meniti lorong labirin tanpa batas kecuali pembatasan Tuhan Kang Moeslim, kita semua akan menyusulmu dengan cara berbeda.

ABDUL MUNIR MULKHAN
Yogyakarta, Anggota Komnas HAM RI 2007-2012,
Wakil Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2000-2005
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4338 seconds (0.1#10.140)