Rindu negarawan
A
A
A
SITUASI politik negeri ini sedang tidak kondusif. Ada nuansa saling jegal, saling serang, dan saling sikut antarelemen bangsa demi pertarungan menuju Pemilu 2014. Seperti diprediksi sebelumnya, tahun 2012 dan 2013 memang pantas disebut sebagai tahun politis.
Sebab hampir semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara tidak bisa dipisahkan dari unsur politisasi. Publik dan masyarakat luas semakin sulit membedakan mana yang masuk kategori politisasi dan mana yang masuk kategori murni dari hati nurani. Kalaupun ada perbedaan, itu sangatlah tipis. Hanya masyarakat yang jeli dan cermat serta melek informasi yang bisa membacanya.
Masyarakat yang kurang jeli dan cermat bisa termakan, baik secara sadar maupun tidak sadar, untuk mengikuti arahan sang elite. Sebenarnya situasi seperti ini wajar-wajar saja. Hampir setiap event politik, baik itu pilkada, kongres parpol maupun suksesi di organisasi apa pun, selalu dibumbui tensi tinggi dalam rivalitas perebutan posisi, kursi, dan kekuasaan.
Apalagi ini menjelang hajatan besar pemilihan presiden dan pemilu legislatif 2014. Yang patut menjadi catatan kita adalah mengapa semua energi dan perhatian bangsa ini tersedot dalam arus politisasi tersebut. Sebagai bangsa yang sudah lumayan lama mengadopsi demokrasi, semestinya kematangan dan kedewasaan para elite politik dan masyarakat kita bisa membuat gairah politik ini semakin mencerdaskan, bukan malah membosankan.
Budaya politik yang santun, saling menghargai perbedaan, legawa menerima kekalahan, tidak lupa diri dalam kemenangan, menjunjung tinggi aturan main, adalah nilai-nilai yang makin jauh dari pentas politik nasional kita. Sikap-sikap terpuji yang diharapkan bisa mencetak para negarawan pun tergantikan oleh sikap-sikap yang tercela yang hanya akan melahirkan elite-elite yang korup, ingkar dan mengecewakan rakyat ketika mereka meraih kekuasaan.
Karena itu, kita semua tidak boleh lengah untuk selalu mengingatkan diri sendiri dan masyarakat agar tidak salah pilih pada pemilu nanti. Sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara demokrasi, rakyat memiliki hak penuh untuk menentukan siapa yang pantas dipilih dan siapa yang pantas tidak dipilih dalam Pemilu 2014.Rakyat tidak boleh terbuai oleh kata-kata manis dan janji-janji palsu dari elite-elite politik yang sebenarnya sudah ketahuan rekam jejaknya di masa lalu.
Salah satu ukuran apakah elite itu bisa disebut pemimpin atau sekadar penguasa bisa dilihat dari rekam jejaknya.Dari situ bisa terbaca konsistensi, keberpihakan, kematangan, dan kecenderungan tindakan si elite jika terpilih sebagai pemimpin negara nantinya. Sudahkan cocok antara perkataan dan perbuatannya, sejauh mana komitmen kebangsaan dan kenegaraannya, bagaimana konsistensinya dalam membela kepentingan masyarakat dan seterusnya.
Pencitraan politik yang dianggap sebagai senjata yang ampuh untuk mengelabui noda-noda hitam sang tokoh pun akan tumpul jika masyarakat cermat dan jeli dalam menjatuhkan pilihan. Pemilu 2014 adalah momentum emas bagi rakyat Indonesia untuk memilih pemimpin yang tepat yang bisa membawa bangsa ini makin sejahtera sebagai negara maju yang disegani dunia.
Memilih tokoh yang dibebani persoalan masa lalu hanya akan melahirkan problem baru yang akan menyandera perjalanan bangsa ini di masa depan. Sekali lagi kita berharap akan muncul para negarawan yang berani mengambil risiko, mengorbankan kepentingan pribadi/kelompok untuk mengabdi pada nusa dan bangsa. Tidak mudah memang, tapi pasti ada tokoh yang akan muncul sebagai negarawan besar yang akan membawa bangsa ini menjadi bangsa besar.
Sebab hampir semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara tidak bisa dipisahkan dari unsur politisasi. Publik dan masyarakat luas semakin sulit membedakan mana yang masuk kategori politisasi dan mana yang masuk kategori murni dari hati nurani. Kalaupun ada perbedaan, itu sangatlah tipis. Hanya masyarakat yang jeli dan cermat serta melek informasi yang bisa membacanya.
Masyarakat yang kurang jeli dan cermat bisa termakan, baik secara sadar maupun tidak sadar, untuk mengikuti arahan sang elite. Sebenarnya situasi seperti ini wajar-wajar saja. Hampir setiap event politik, baik itu pilkada, kongres parpol maupun suksesi di organisasi apa pun, selalu dibumbui tensi tinggi dalam rivalitas perebutan posisi, kursi, dan kekuasaan.
Apalagi ini menjelang hajatan besar pemilihan presiden dan pemilu legislatif 2014. Yang patut menjadi catatan kita adalah mengapa semua energi dan perhatian bangsa ini tersedot dalam arus politisasi tersebut. Sebagai bangsa yang sudah lumayan lama mengadopsi demokrasi, semestinya kematangan dan kedewasaan para elite politik dan masyarakat kita bisa membuat gairah politik ini semakin mencerdaskan, bukan malah membosankan.
Budaya politik yang santun, saling menghargai perbedaan, legawa menerima kekalahan, tidak lupa diri dalam kemenangan, menjunjung tinggi aturan main, adalah nilai-nilai yang makin jauh dari pentas politik nasional kita. Sikap-sikap terpuji yang diharapkan bisa mencetak para negarawan pun tergantikan oleh sikap-sikap yang tercela yang hanya akan melahirkan elite-elite yang korup, ingkar dan mengecewakan rakyat ketika mereka meraih kekuasaan.
Karena itu, kita semua tidak boleh lengah untuk selalu mengingatkan diri sendiri dan masyarakat agar tidak salah pilih pada pemilu nanti. Sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara demokrasi, rakyat memiliki hak penuh untuk menentukan siapa yang pantas dipilih dan siapa yang pantas tidak dipilih dalam Pemilu 2014.Rakyat tidak boleh terbuai oleh kata-kata manis dan janji-janji palsu dari elite-elite politik yang sebenarnya sudah ketahuan rekam jejaknya di masa lalu.
Salah satu ukuran apakah elite itu bisa disebut pemimpin atau sekadar penguasa bisa dilihat dari rekam jejaknya.Dari situ bisa terbaca konsistensi, keberpihakan, kematangan, dan kecenderungan tindakan si elite jika terpilih sebagai pemimpin negara nantinya. Sudahkan cocok antara perkataan dan perbuatannya, sejauh mana komitmen kebangsaan dan kenegaraannya, bagaimana konsistensinya dalam membela kepentingan masyarakat dan seterusnya.
Pencitraan politik yang dianggap sebagai senjata yang ampuh untuk mengelabui noda-noda hitam sang tokoh pun akan tumpul jika masyarakat cermat dan jeli dalam menjatuhkan pilihan. Pemilu 2014 adalah momentum emas bagi rakyat Indonesia untuk memilih pemimpin yang tepat yang bisa membawa bangsa ini makin sejahtera sebagai negara maju yang disegani dunia.
Memilih tokoh yang dibebani persoalan masa lalu hanya akan melahirkan problem baru yang akan menyandera perjalanan bangsa ini di masa depan. Sekali lagi kita berharap akan muncul para negarawan yang berani mengambil risiko, mengorbankan kepentingan pribadi/kelompok untuk mengabdi pada nusa dan bangsa. Tidak mudah memang, tapi pasti ada tokoh yang akan muncul sebagai negarawan besar yang akan membawa bangsa ini menjadi bangsa besar.
(hyk)