Ketua Komisi III Nilai Pelaksanaan Syarat Pembebasan Napi Perlu Diawasi

Jum'at, 03 April 2020 - 09:23 WIB
Ketua Komisi III Nilai...
Ketua Komisi III Nilai Pelaksanaan Syarat Pembebasan Napi Perlu Diawasi
A A A
JAKARTA - Ketua Komisi III DPR, Herman Herry menilai Revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan adalah ranah pemerintah dan merupakan diskresi dari presiden. Maka itu, dia tidak mempersoalkan niatan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly itu asalkan dilakukan atas nama kemanusiaan.

"Terkait napi yang sudah menjalankan 2/3 masa hukuman yang usia sudah di atas 60 tahun, atas nama kemanusiaan dan dalam situasi darurat COVID-19, saya pribadi setuju untuk dibebaskan," ujar Herman, Jumat (3/4/2020). (Baca juga: Pandemi Corona, Menkumham Sudah Bebaskan 5.556 Orang Napi )

Berdasarkan keterangan Menkumham Yasonna Laoly dalam rapat kerja Komisi III DPR RI secara virtual, Rabu 1 April 2020, kata Herman, estimasi warga binaan yang akan dibebaskan ada sekitar 30.000-35.000. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini melanjutkan yang dibebaskan fokus pada warga binaan berumur di atas 60 tahun dan sudah menjalani 2/3 masa hukuman.

"Jadi semua napi dengan tindak pidana apapun, asal memenuhi syarat tersebut, bisa dibebaskan," kata Legislator asal Daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur (NTT) II ini.

Dia mengatakan, perlu dipahami bahwa rencana pembebasan 30.000 napi merupakan kebijakan darurat terkait pandemi virus Corona. "Kita sama-sama tahu bahwa sesuai saran WHO mengingat penyebaran virus Corona ini melalui droplets, tindakan pencegahan utama yang digalakkan adalah physical distancing, menghindari kerumunan, dan menjaga kebersihan dengan terutama sering mencuci tangan," jelasnya.

Herman melanjutkan Lapas merupakan salah satu tempat yang sangat rentan terjadi penularan COVID-19. "Sulit membayangkan kerusakan yang ditimbulkan apabila ada warga binaan yang terinfeksi virus ini," imbuhnya.

Selain itu, kata dia, kondisi Lapas atau Rutan di Indonesia saat ini sebagian besar mengalami kelebihan kapasitas (overcrowded). Karenanya, lanjut dia, upaya physical distancing tidak mungkin dilakukan. "Kondisi overcrowded ini juga berimbas pada upaya pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan terkait penyediaan air bersih dan sabun," tuturnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, terlalu besarnya beban daya tampung Lapas atau Rutan tidak sebanding dengan kemampuan dana yang diberikan setiap tahunnya. Jadi, kata dia, mengingat kondisi-kondisi nyata yang dialami Lapas atau Rutan saat ini, kurang memungkinkan dilakukan upaya-upaya umum, melainkan harus ditanggapi dengan kebijakan khusus.

Saat ini, dia menambahkan, kebijakan darurat tersebut adalah sebisa mungkin menekan jumlah penghuni Lapas lewat emergency releases sesuai pranata hukum yang ada. Hanya, ujar dia, perlu diperhatikan bahwa kendati ini merupakan kebijakan darurat, pengawasan tetap harus dilakukan.

"Ada syarat yang mesti dipenuhi untuk bisa menentukan apakah warga binaan tertentu layak dibebaskan atau tidak. Nah, pelaksanaan syarat itu yang mesti diawasi agar tidak terjadi kekeliruan atau kesengajaan berdasarkan kepentingan tertentu," tuturnya.

Dia mengakui bahwa niatan Yasonna Laoly itu akan menuai kontroversi di tengah masyarakat. "Tapi, satu hal yang ingin saya tekankan, yakni sekarang bukan waktunya saling menyalahkan. Tidak ada yang menyangka situasi seperti sekarang dan hal ini menimpa seluruh dunia," katanya.

Herman berpendapat bukan waktunya lagi bermain dengan narasi politik dan bukan waktunya saling menyalahkan. "Sekarang adalah waktunya melakukan langkah konkret demi keselamatan nyawa anak bangsa," ujarnya. (Baca juga: Cegah Penyebaran Corona di Lapas, Menkumham Usul 300 Napi Koruptor Dibebaskan )

Dia melanjutkan, jangan sampai ada anak bangsa yang mati konyol di Lapas maupun Rutan hanya karena kepentingan para pembuat kebijakan. "Tentu semua terobosan yang dilakukan ini harus sesuai dengan hukum. Tapi, jangan sampai dilupakan juga bahwa keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi," pungkasnya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2033 seconds (0.1#10.140)