Kesalahan Fatal Seorang Jubir
A
A
A
Andi A Mallarangeng, Mantan Jubir Presiden RI Ke-6
"YANG kaya melindungi yang miskin agar bisa hidup dengan wajar dan yang miskin melindungi yang kaya agar tidak menularkan penyakitnya."
Saya tidak tahu apa yang ada di benak Jubir Pemerintah untuk penanganan Covid-19 Achmad Yurianto ketika memberikan penjelasan dalam keterangan persnya pada Jumat (27/3) lalu. Saya juga tidak tahu apa yang ingin dicapai dengan penjelasan seperti itu. Tapi, yang terlihat, terdengar, dan terbaca di media adalah Jubir Yurianto menyatakan supaya "..yang miskin melindungi yang kaya agar tidak menularkan penyakitnya." Dan inilah kerja sama antarkelas sosial yang diharapkannya.
Kawan saya, seorang dosen sosiologi, menyampaikan kepada saya bahwa pernyataan itu sudah menjadi viral ke seluruh penjuru Tanah Air, mengalahkan penyebaran virus korona itu sendiri. Sebabnya? Karena penyataan itu "mendikotomikan kaya-miskin. Si kaya dianggap sebagai hero karena kasih hidup si miskin, si miskin dianggap jadi coro karena dianggap sebagai penular penyakit."Intinya, pernyataan itu membawa isu pertentangan kelas secara tidak perlu dalam situasi pandemi seperti ini, yang ujungnya secara klise menyalahkan kaum miskin (blaming the poor ).
Mungkin saja Pak Jubir tidak bermaksud membawa isu pertentangan kelas dalam pernyataannya itu. Tapi, apa boleh buat pesan itu yang sampai ke tengah masyarakat. Padahal, dalam situasi krisis seperti ini justru yang dibutuhkan adalah persatuan seluruh bangsa, dipimpin oleh pemerintah, terutama ketika pemerintah harus menerapkan kebijakan yang keras kepada seluruh warga negara. Pesan Pak Jubir justru memecah belah anak bangsa dengan mempertentangkan antara yang kaya dan yang miskin.
Padahal, kalau mau dilihat secara jernih, penyakit ini awalnya lebih banyak dari kalangan atas, yang bepergian ke luar negeri, atau yang bersentuhan dengan orang yang bepergian dari luar negeri. Imported cases . Baru belakangan menjadi communal cases ketika sudah menyebar di tengah dan antarwarga masyarakat. Penyakit ini justru akan merebak tak tertahankan kalau sudah menyebar di kalangan pemukiman miskin, terutama miskin kota. Mereka akan bergelimpangan di jalan dan di rumah mereka karena tidak punya akses ke rumah sakit seperti yang terlihat di beberapa negara lain. Dan, kalaupun bisa ke rumah sakit, mereka akan terkatung-katung tak terlayani karena rumah sakit dan tenaga kesehatan sudah over kapasitas. Kalau tidak ada intervensi kebijakan pemerintah yang tepat, saat seperti itulah skenario terburuk puncak pandemi. Pernyataan Jubir Pemerintah itu keliru, bertentangan dengan kenyataan dan hanya memunculkan isu pertentangan kelas secara tidak perlu.
Tugas utama seorang Jubir sebenarnya adalah menjelaskan. Dan, dalam era demokrasi dan transparansi di tengah aktifnya media sosial sekarang ini, menjelaskan harus bersifat "penjelasan" secara fakta dan ilmiah dengan bahasa yang bisa dimengerti oleh orang kebanyakan. Dengan nuansa yang egaliter, dan bukannya menggurui dicampur opini, apalagi lalu masuk ke ranah yang bukan bidangnya. Yang harus dipikirkan terlebih dahulu adalah apakah pesan tersebut akan diterima sebagaimana yang dikehendaki sang Jubir. Bagaimana pesan tersebut diterima publik menjadi penting, agar jangan sampai sang Jubir harus terus meminta maaf karena pesannya salah diterima oleh publik.
Pengetahuan seorang Jubir tidak tak terbatas. Karena itu, seorang Jubir harus tahu di mana batas pengetahuannya. Tidak harus Jubir berdiri sendiri terus menerus di depan podium. Dia bisa menyertakan pakar lain untuk berdiri di sampingnya dan membantunya memberikan penjelasan. Ketika menyangkut bidang lain, biar pakarnyalah yang menjelaskan. Dengan begitu, akurasi terjaga dan kesalahan dapat dihindarkan.
Seorang Jubir bisa saja salah, Jubir pun seorang manusia. Dan, kalau salah, segera meminta maaf dan meluruskan keterangan sebelumnya. Jubir Yurianto tampaknya tidak menyangka pernyataannya itu mendapat tanggapan negatif dari segala penjuru. Saya juga sudah membaca penjelasan susulan Pak Jubir tentang tanggapan kritis berbagai kalangan tersebut. Sayangnya, penjelasan Pak Jubir terkesan menyalahkan yang mengkritik. "Di balik kan , coba Twitter saya dihujat orang banyak. Saya biarin ajalah , yang waras yang diam ajalah ," begitu kata Pak Jubir, seperti dikutip di media. Kata seorang kawan yang lain, "minta maafnya Jubir juga nggak pas. Sorry, but not sorry . Bikin orang panas saja."
Sebagai orang yang pernah menjadi Jubir Presiden, saya mengerti benar tentang tekanan yang besar yang dihadapi oleh seorang Jubir untuk bisa menjelaskan dengan benar, untuk bisa akurat, terlebih lagi dalam situasi krisis seperti ini. Tugas seorang Jubir memang tidak ringan. Setiap hari ia harus melaporkan situasi terakhir secara akurat kepada publik, bahkan secara langsung. Terlebih lagi, ia pun harus mengambil risiko terpapar virus korona. Karena itu, marilah kita menganggap kesalahan ini adalah slip of the tongue , keseleo lidah semata. Kita doakan beliau senantiasa sehat dan dapat melakukan tugasnya dengan baik dan kita pun mendapat penjelasan yang jelas, akurat, dan "ngayemi ".
"YANG kaya melindungi yang miskin agar bisa hidup dengan wajar dan yang miskin melindungi yang kaya agar tidak menularkan penyakitnya."
Saya tidak tahu apa yang ada di benak Jubir Pemerintah untuk penanganan Covid-19 Achmad Yurianto ketika memberikan penjelasan dalam keterangan persnya pada Jumat (27/3) lalu. Saya juga tidak tahu apa yang ingin dicapai dengan penjelasan seperti itu. Tapi, yang terlihat, terdengar, dan terbaca di media adalah Jubir Yurianto menyatakan supaya "..yang miskin melindungi yang kaya agar tidak menularkan penyakitnya." Dan inilah kerja sama antarkelas sosial yang diharapkannya.
Kawan saya, seorang dosen sosiologi, menyampaikan kepada saya bahwa pernyataan itu sudah menjadi viral ke seluruh penjuru Tanah Air, mengalahkan penyebaran virus korona itu sendiri. Sebabnya? Karena penyataan itu "mendikotomikan kaya-miskin. Si kaya dianggap sebagai hero karena kasih hidup si miskin, si miskin dianggap jadi coro karena dianggap sebagai penular penyakit."Intinya, pernyataan itu membawa isu pertentangan kelas secara tidak perlu dalam situasi pandemi seperti ini, yang ujungnya secara klise menyalahkan kaum miskin (blaming the poor ).
Mungkin saja Pak Jubir tidak bermaksud membawa isu pertentangan kelas dalam pernyataannya itu. Tapi, apa boleh buat pesan itu yang sampai ke tengah masyarakat. Padahal, dalam situasi krisis seperti ini justru yang dibutuhkan adalah persatuan seluruh bangsa, dipimpin oleh pemerintah, terutama ketika pemerintah harus menerapkan kebijakan yang keras kepada seluruh warga negara. Pesan Pak Jubir justru memecah belah anak bangsa dengan mempertentangkan antara yang kaya dan yang miskin.
Padahal, kalau mau dilihat secara jernih, penyakit ini awalnya lebih banyak dari kalangan atas, yang bepergian ke luar negeri, atau yang bersentuhan dengan orang yang bepergian dari luar negeri. Imported cases . Baru belakangan menjadi communal cases ketika sudah menyebar di tengah dan antarwarga masyarakat. Penyakit ini justru akan merebak tak tertahankan kalau sudah menyebar di kalangan pemukiman miskin, terutama miskin kota. Mereka akan bergelimpangan di jalan dan di rumah mereka karena tidak punya akses ke rumah sakit seperti yang terlihat di beberapa negara lain. Dan, kalaupun bisa ke rumah sakit, mereka akan terkatung-katung tak terlayani karena rumah sakit dan tenaga kesehatan sudah over kapasitas. Kalau tidak ada intervensi kebijakan pemerintah yang tepat, saat seperti itulah skenario terburuk puncak pandemi. Pernyataan Jubir Pemerintah itu keliru, bertentangan dengan kenyataan dan hanya memunculkan isu pertentangan kelas secara tidak perlu.
Tugas utama seorang Jubir sebenarnya adalah menjelaskan. Dan, dalam era demokrasi dan transparansi di tengah aktifnya media sosial sekarang ini, menjelaskan harus bersifat "penjelasan" secara fakta dan ilmiah dengan bahasa yang bisa dimengerti oleh orang kebanyakan. Dengan nuansa yang egaliter, dan bukannya menggurui dicampur opini, apalagi lalu masuk ke ranah yang bukan bidangnya. Yang harus dipikirkan terlebih dahulu adalah apakah pesan tersebut akan diterima sebagaimana yang dikehendaki sang Jubir. Bagaimana pesan tersebut diterima publik menjadi penting, agar jangan sampai sang Jubir harus terus meminta maaf karena pesannya salah diterima oleh publik.
Pengetahuan seorang Jubir tidak tak terbatas. Karena itu, seorang Jubir harus tahu di mana batas pengetahuannya. Tidak harus Jubir berdiri sendiri terus menerus di depan podium. Dia bisa menyertakan pakar lain untuk berdiri di sampingnya dan membantunya memberikan penjelasan. Ketika menyangkut bidang lain, biar pakarnyalah yang menjelaskan. Dengan begitu, akurasi terjaga dan kesalahan dapat dihindarkan.
Seorang Jubir bisa saja salah, Jubir pun seorang manusia. Dan, kalau salah, segera meminta maaf dan meluruskan keterangan sebelumnya. Jubir Yurianto tampaknya tidak menyangka pernyataannya itu mendapat tanggapan negatif dari segala penjuru. Saya juga sudah membaca penjelasan susulan Pak Jubir tentang tanggapan kritis berbagai kalangan tersebut. Sayangnya, penjelasan Pak Jubir terkesan menyalahkan yang mengkritik. "Di balik kan , coba Twitter saya dihujat orang banyak. Saya biarin ajalah , yang waras yang diam ajalah ," begitu kata Pak Jubir, seperti dikutip di media. Kata seorang kawan yang lain, "minta maafnya Jubir juga nggak pas. Sorry, but not sorry . Bikin orang panas saja."
Sebagai orang yang pernah menjadi Jubir Presiden, saya mengerti benar tentang tekanan yang besar yang dihadapi oleh seorang Jubir untuk bisa menjelaskan dengan benar, untuk bisa akurat, terlebih lagi dalam situasi krisis seperti ini. Tugas seorang Jubir memang tidak ringan. Setiap hari ia harus melaporkan situasi terakhir secara akurat kepada publik, bahkan secara langsung. Terlebih lagi, ia pun harus mengambil risiko terpapar virus korona. Karena itu, marilah kita menganggap kesalahan ini adalah slip of the tongue , keseleo lidah semata. Kita doakan beliau senantiasa sehat dan dapat melakukan tugasnya dengan baik dan kita pun mendapat penjelasan yang jelas, akurat, dan "ngayemi ".
(jon)