Mutlaknya Meraih Kembali Kepercayaan Publik

Kamis, 26 Maret 2020 - 16:35 WIB
Mutlaknya Meraih Kembali...
Mutlaknya Meraih Kembali Kepercayaan Publik
A A A
Dr Firman Kurniawan S.
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital
Pendiri LITEROS.org

PEMERINTAH punya posisi sentral dalam keadaan krisis. Juga krisis yang terjadi di tengah pandemi COVID-19. Ia adalah organ yang sah memiliki kekuasaan menggerakkan manusia, perangkat, sumber daya maupun sumber dana, dalam mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk mencegah memburuknya krisis.

The Guardian Weekly, 13 Maret 2020, memuat wacana yang berkembang di tengah merebaknya COVID-19 di Inggris. Perdana Menteri Boris Johnson dituntut oleh publiknya, untuk selalu berbagi data, di balik pengambilan keputusan-keputusan yang ditempuhnya. Di tengah tuntutan untuk bergerak cepat, keputusan yang diambil harus tetap bisa diuji publik, agar opsi pemerintah tak justru memperburuk penularan. Ini yang dimaksud sebagai pemerintah harus transparan dalam menyusun tindakan.

Dalam uraiannya, Arjen Boin 2017, yang menulis Crisis Management menguraikan, pemerintah mutlak harus memiliki legitimasi yang diperlukan agar dipercaya publik. Ini bertujuan agar pemerintah dapat menjalankan fungsinya dengan penuh.Tanpa legitimasi ini, para pengambil keputusan tidak dapat leluasa mengambil keputusan sepihak. Bahkan jika pun mereka memegang mandate resmi secara hukum, untuk mengakhiri krisis.Hanya mengandalkan legitimasi formal, tak mungkin dapat meraih kepercayaan publik. Sebaliknya, malah bisa jadi bumerang. Tuduhan meremehkan dan menutup-nutupi keadaan yang sesungguhnya, mudah muncul dalam situasiyang penuh ketidakpastian.
Apa yang dituliskan Boin, tampak dialami publik Indonesia di tengah merebaknya penularan COVID-19. Itu pun dalam situasi yang belum mencapai puncak penularannya. Jika dibagi dalam fase, terkikisnya kepercayaan pada pemerintah saat menangani situasi krisis, setidaknya dibagi menjadi 4 fase.

Fase pertama terjadi saat Presiden Jokowi mengumumkan adanya 2 pasien yang positif tertular COVID-19, pada 2 Maret 2020. Fase pertama ini bolehlah dikonseptualisasikan sebagai fase teknis kesehatan. Pada fase tersebut, akhirnya negara mengakui warga negaranya tak kebal terhadap Covid-19 dan terkonfirmasi secara ilmiah.Pernyataan ini setelah beberapa saat sebelumnya otoritas kesehatan, menampik kemungkinan tertularnya warga negara Indonesia dari penularan virus. Menjadi pertanyaan besar, atas dasar apa Bangsa Indonesia memiliki kekebalan dari penularan, sementara warga negara tetangga dilaporkan tertular virus?
Maka ketika Presiden mengkonfirmasi, mulai dianggap sebagai menutup-nutupi keadaan yang sebenarnya telah terjadi. Memang kemudian dilakukan pelacakan yang sesuai dengan protokol kesehatan.

Publik dikatagori sebagai orang sehat, ODP, PDP, terkonfirmasi positif, hingga meninggal positif tertular. Mulai terkikisnya kepercayaan pada fase dapat dihentikan jika ada pengerahan analisa: jika 1 orang tertular ada berapa lagi orang yang berpotensi tertular tapi belum dinyatakan positif, seraya diperagakan institusi kesehatan yang siap menangani.

Pada fase kedua adalah fase komunikasi. Saat itu pemerintah mengumumkan langkah-langkah yang ditempuh, mengisolasi pasien, memberikan perawatan, melakukan tracing dan mengeluarkan protocol penanganan yang sistematis. Idealnya di fase ini, diikuti pernyataan tindakan yang selanjutnya ditempuh untuk meminimalkan penularan, bahkan jika keadaan makin memburuk.

Pada fase kedua, sesungguhnya publik kecolongan momentum emas. Infeksi COVID-19 terkonfirmasi akhir Desember 2019 di Wuhan, China magnitude-nya begitu besar. Melihat kejadian yang hamper pasti menjangkiti Indonesia juga, idealnya ada pembelajaran pola penularan di negara-negara lain.Yang terjadi pejabat Indonesia denial dan cenderung meremehkan penularan. Tak ada persiapan yang terlihat serius oleh publik. Yang ada seremonial penjemputan warga dari Wuhan dan karantina di Natuna.
Publik tak puas dengan gaya komunikasi pemerintah, mereka mencari informasi yang lebih baik. Akhirnya publik selalu membandingkan yang dilakukan pemerintahan negara lain. Memang belum tentu yang dilakukan negara lain tepat. Tapi justru itu perlu dipelajarinya. Hilang waktu untuk mengkaji tindakan yang benar. Rasa percaya publik kian menipis.

Maka, ketika ada beberapa kepala daerah mengambil kendali manajemen berikut manajemen komunikasinya, publik lebih tenang. Sangat alamiah jika publik bergerak berdasar persepsi yang ada di benaknya, bukan berdasar informasi yang terbukti benar. Tujuan mereka mencari ketenangan.Sayangnya di fase ini justru terjadi insiden, saat Gubernur Banten mengumumkan adanya warga yang tertular virus, malah dipertanyakan oleh juru bicara pemerintah. Yang terbaca publik, tampak tak ada koordinasi pemerintah pusat dengan daerah. Ini ketidakpercayaan publil fase ketiga.
Jika tidak ingin kehilangan kepercayaan di fase keempat, pemerintah pusat harus kembali mengambil peran manajemen dan manajemen komunikasi, sesuai dengan suasana batin publik. Bukan berarti ketika tuntutannya lockdown, maka itu dituruti.

Pemerintah pusat harus tampil dengan argumentasi berbasis data,atas keputusannya. Di AS ketika dilakukan lockdown, publiknya justru panic buying. Di Italia saat pembelajaran diliburkan, mahasiswa pulang kampung. Mereka tak sadar, di antara mereka adalah agen penularan. Penularan justru merebak. Maka ketika lockdown tak ditempuh, apa argumentasinya?

Dengan posisi sentral pemerintah, mutlak diraih kembali kepercayaan publik. Ini dapat dilakukan dengan memenuhi kebutuhan informasi publik lewat berbagai saluran, termasuk media digital. Informasi yang diperlukan saat ini adalah, ke mana gerak publik harus diarahkan untuk meminimalisasi penularan.

Saat Pemrov DKI Jakarta mengurangi frekuensi transportasi umum guna mengurangi persebaran penularan, ternyata belum semua kantor menerapkan work from home. Sarana transportasi tak imbang dengan kebutuhan. Ini justru jadi masalah baru. Gerak yang diharapkan pemerintah tak dibaca sama oleh publik. Tentu saja ini menyulitkan.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0778 seconds (0.1#10.140)