Membatasi Pembelian Kebutuhan Pokok
A
A
A
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan
SEJUMLAH foto viral di media sosial mempertontonkan rak-rak supermarket di sejumlah kota di dunia kosong melompong, kesepian ditinggalkan barang-barang yang biasanya menumpuk berjajar rapi di atasnya. Foto lain, yang tak kalah viral, menunjukkan antrean pembeli mengular di kasir supermarket. Rata-rata mereka mendorong keranjang belanjaan penuh sesak. Hampir semua barang kebutuhan harian diborong, dari mi instan (di Indonesia), pasta dan toilet paper (di Australia) hingga kondom (di Singapura, untuk pelindung jemari tangan saat memencet lift). Inilah situasi mutakhir hari-hari ini ketika orang tenggelam dalam kepanikan oleh wabah virus korona jenis baru bernama Covid-19.
Di Indonesia, kepanikan di sejumlah daerah terjadi setelah Presiden Jokowi mengumumkan dua warga Depok, Jawa Barat, 2 Maret 2020, positif terinfeksi Covid-19. Kepanikan itu diikuti aksi borong bahan makanan, masker, dan cairan disinfektan pembersih tangan di supermarket dan apotek. Imbauan agar warga tidak panik dan melakukan aksi borong tidak mempan. Dalam sekejap, foto-foto antrean warga mengular di supermarket menyebar lewat grup-grup percakapan. Dibumbui narasi provokatif, foto-foto itu menebar kekhawatiran dan bisa menggerakkan orang untuk melakukan hal serupa.
Didasari alasan itu, termasuk mencegah peluang pihak-pihak tertentu mengail di air keruh, Satgas Pangan lewat suratnya pada 16 Maret 2020, meminta asosiasi pedagang pasar, pengusaha ritel, dan koperasi untuk membatasi pembelian pangan buat pribadi: beras maksimal 10 kg, gula 2 kg, minyak goreng 4 liter, dan mi instan 2 kardus. Pembatasan pembelian pangan ini diharapkan meredam kepanikan, menghentikan eskalasi harga, dan menghindari risiko penyimpangan melalui penimbunan bahan pangan.
Dibandingkan awal tahun, ada kecenderungan sejumlah harga pangan mengalami kenaikan. Akan tetapi, menilik tren harga tiga bulan terakhir, harga sejumlah komoditas sebenarnya relatif stabil. Berdasarkan Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), 22 Maret 2020, harga rata-rata beras (semua kualitas) stabil pada kisaran Rp11.800-11.850 per kg dan minyak goreng Rp13.600-14.100 per kg. Harga gula pasir, bawang putih, dan bawang bombay memang perlu menjadi perhatian karena kenaikan harganya relatif tinggi.
Harga gula melonjak sekitar 21,86%, dari Rp13.950 per kg pada 2 Januari 2020 menjadi Rp17.000 per kg pada 22 Maret 2020. Sementara bawang putih naik 35,6%, dari Rp32.650 per kg menjadi Rp44.300 per kg. Kenaikan tertinggi terjadi pada bawang bombay, antara 340% hingga 450%, dari antara Rp40.000-50.000/kg menjadi antara Rp170.000-180.000/kg. Dalam kurun waktu yang sama, harga rata-rata nasional daging sapi, bawang merah, minyak goreng, daging, dan telur ayam berada di atas harga acuan pemerintah, seperti diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7/2020.
Pertanyaannya, tepatkah pembatasan pembelian beras maksimal 10 kg, gula 2 kg, minyak goreng 4 liter, dan mi instan 2 kardus itu? Saat ini stok beras di gudang Bulog mencapai 1,7 juta ton atau 55% dari total kapasitas, sebagian besar berupa cadangan beras pemerintah. Stok ini jauh dari cukup, bahkan setelah Idulfitri. Selain itu, Maret 2020 ini panen sudah mulai. Periode yang disebut panen raya ini berlangsung hingga Mei mendatang. Pada panen raya ini, produksi mencapai 60%-65% dari produksi nasional.
Stok minyak goreng juga lebih dari cukup. Stok awal tahun sebesar 604.000 ton. Semester pertama 2020 ini diproyeksikan produksi minyak goreng mencapai 3,47 juta ton, dan semester kedua 2,91 juta ton. Kalau ada lonjakan permintaan, pabrik minyak goreng berbasis sawit bisa menggenjot utilitasnya yang saat ini baru 45%-48%. Stok mi instan juga lebih dari cukup. Sebagai negara eksportir mi instan, industri dalam negeri dipastikan bisa memenuhi kebutuhan domestik, termasuk bila ada lonjakan permintaan. Satu-satunya stok yang terbatas adalah gula pasir. Stok gula pasir di awal tahun hanya 1.084.480 ton. Stok ini lebih rendah daripada rerata stok periode 2017-2019: 1,690 juta ton. Stok ini hanya cukup hingga akhir April, sementara musim giling baru mulai Mei nanti.
Di satu sisi, kebijakan pembatasan pembelian beras, minyak goreng, gula, dan mi instan dinilai tepat. Langkah ini untuk menjaga kecukupan pangan tiap lapisan warga dari perilaku belanja berlebih. Tanpa pembatasan, kelompok yang memiliki kesiapan uang mampu menguasai dan membeli stok berlebihan. Di sisi lain, jika kebijakan ini tidak dikomunikasikan ke publik secara baik bisa-bisa menjadi bumerang. Bukan sesuatu yang mustahil, publik justru merespons berbeda: meyakini stok menipis, dan kemudian tetap berburu pangan. Jika ini yang terjadi, eskalasi harga akan sulit dibendung.
Karena itu, secara simultan dengan kebijakan pembatasan pembelian kebutuhan pokok, pemerintah harus terus-menerus mengomunikasikan ke publik bahwa stok beras, minyak goreng, dan mi instan lebih dari cukup. Ruang publik harus dijenuhi informasi ini agar mereka percaya. Di lain pihak, pemerintah juga mesti mengomunikasikan dengan jujur bahwa stok gula pasir memang terbatas. Masyarakat diminta menahan melakukan pembelian berlebihan, sembari pemerintah menjelaskan solusi riil untuk menanganinya. Komunikasi yang terbuka ini akan mengundang kepercayaan publik. Di tengah musibah yang menggerus kepercayaan pemerintah, kepercayaan publik adalah emas berharga.
Pada saat yang sama, pengawasan harus diintensifkan untuk menutup setiap celah perilaku moral hazard . Bila masih ada pihak-pihak yang berperilaku culas, konstitusi memberi mandat agar negara menyeret mereka ke meja hijau. Dalam UU Perdagangan No 7/2014, penimbun kebutuhan pokok bisa dipenjara 5 tahun atau denda Rp50 miliar, dan penjara 4 tahun atau denda Rp10 miliar bagi pelaku manipulasi data dan informasi persediaan. Di UU Pangan No 18/2012, sanksinya lebih berat: penimbun bisa dipidana penjara 7 tahun atau denda Rp100 miliar. Sanksi yang berat ini agar memberi efek jera.
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan
SEJUMLAH foto viral di media sosial mempertontonkan rak-rak supermarket di sejumlah kota di dunia kosong melompong, kesepian ditinggalkan barang-barang yang biasanya menumpuk berjajar rapi di atasnya. Foto lain, yang tak kalah viral, menunjukkan antrean pembeli mengular di kasir supermarket. Rata-rata mereka mendorong keranjang belanjaan penuh sesak. Hampir semua barang kebutuhan harian diborong, dari mi instan (di Indonesia), pasta dan toilet paper (di Australia) hingga kondom (di Singapura, untuk pelindung jemari tangan saat memencet lift). Inilah situasi mutakhir hari-hari ini ketika orang tenggelam dalam kepanikan oleh wabah virus korona jenis baru bernama Covid-19.
Di Indonesia, kepanikan di sejumlah daerah terjadi setelah Presiden Jokowi mengumumkan dua warga Depok, Jawa Barat, 2 Maret 2020, positif terinfeksi Covid-19. Kepanikan itu diikuti aksi borong bahan makanan, masker, dan cairan disinfektan pembersih tangan di supermarket dan apotek. Imbauan agar warga tidak panik dan melakukan aksi borong tidak mempan. Dalam sekejap, foto-foto antrean warga mengular di supermarket menyebar lewat grup-grup percakapan. Dibumbui narasi provokatif, foto-foto itu menebar kekhawatiran dan bisa menggerakkan orang untuk melakukan hal serupa.
Didasari alasan itu, termasuk mencegah peluang pihak-pihak tertentu mengail di air keruh, Satgas Pangan lewat suratnya pada 16 Maret 2020, meminta asosiasi pedagang pasar, pengusaha ritel, dan koperasi untuk membatasi pembelian pangan buat pribadi: beras maksimal 10 kg, gula 2 kg, minyak goreng 4 liter, dan mi instan 2 kardus. Pembatasan pembelian pangan ini diharapkan meredam kepanikan, menghentikan eskalasi harga, dan menghindari risiko penyimpangan melalui penimbunan bahan pangan.
Dibandingkan awal tahun, ada kecenderungan sejumlah harga pangan mengalami kenaikan. Akan tetapi, menilik tren harga tiga bulan terakhir, harga sejumlah komoditas sebenarnya relatif stabil. Berdasarkan Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), 22 Maret 2020, harga rata-rata beras (semua kualitas) stabil pada kisaran Rp11.800-11.850 per kg dan minyak goreng Rp13.600-14.100 per kg. Harga gula pasir, bawang putih, dan bawang bombay memang perlu menjadi perhatian karena kenaikan harganya relatif tinggi.
Harga gula melonjak sekitar 21,86%, dari Rp13.950 per kg pada 2 Januari 2020 menjadi Rp17.000 per kg pada 22 Maret 2020. Sementara bawang putih naik 35,6%, dari Rp32.650 per kg menjadi Rp44.300 per kg. Kenaikan tertinggi terjadi pada bawang bombay, antara 340% hingga 450%, dari antara Rp40.000-50.000/kg menjadi antara Rp170.000-180.000/kg. Dalam kurun waktu yang sama, harga rata-rata nasional daging sapi, bawang merah, minyak goreng, daging, dan telur ayam berada di atas harga acuan pemerintah, seperti diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7/2020.
Pertanyaannya, tepatkah pembatasan pembelian beras maksimal 10 kg, gula 2 kg, minyak goreng 4 liter, dan mi instan 2 kardus itu? Saat ini stok beras di gudang Bulog mencapai 1,7 juta ton atau 55% dari total kapasitas, sebagian besar berupa cadangan beras pemerintah. Stok ini jauh dari cukup, bahkan setelah Idulfitri. Selain itu, Maret 2020 ini panen sudah mulai. Periode yang disebut panen raya ini berlangsung hingga Mei mendatang. Pada panen raya ini, produksi mencapai 60%-65% dari produksi nasional.
Stok minyak goreng juga lebih dari cukup. Stok awal tahun sebesar 604.000 ton. Semester pertama 2020 ini diproyeksikan produksi minyak goreng mencapai 3,47 juta ton, dan semester kedua 2,91 juta ton. Kalau ada lonjakan permintaan, pabrik minyak goreng berbasis sawit bisa menggenjot utilitasnya yang saat ini baru 45%-48%. Stok mi instan juga lebih dari cukup. Sebagai negara eksportir mi instan, industri dalam negeri dipastikan bisa memenuhi kebutuhan domestik, termasuk bila ada lonjakan permintaan. Satu-satunya stok yang terbatas adalah gula pasir. Stok gula pasir di awal tahun hanya 1.084.480 ton. Stok ini lebih rendah daripada rerata stok periode 2017-2019: 1,690 juta ton. Stok ini hanya cukup hingga akhir April, sementara musim giling baru mulai Mei nanti.
Di satu sisi, kebijakan pembatasan pembelian beras, minyak goreng, gula, dan mi instan dinilai tepat. Langkah ini untuk menjaga kecukupan pangan tiap lapisan warga dari perilaku belanja berlebih. Tanpa pembatasan, kelompok yang memiliki kesiapan uang mampu menguasai dan membeli stok berlebihan. Di sisi lain, jika kebijakan ini tidak dikomunikasikan ke publik secara baik bisa-bisa menjadi bumerang. Bukan sesuatu yang mustahil, publik justru merespons berbeda: meyakini stok menipis, dan kemudian tetap berburu pangan. Jika ini yang terjadi, eskalasi harga akan sulit dibendung.
Karena itu, secara simultan dengan kebijakan pembatasan pembelian kebutuhan pokok, pemerintah harus terus-menerus mengomunikasikan ke publik bahwa stok beras, minyak goreng, dan mi instan lebih dari cukup. Ruang publik harus dijenuhi informasi ini agar mereka percaya. Di lain pihak, pemerintah juga mesti mengomunikasikan dengan jujur bahwa stok gula pasir memang terbatas. Masyarakat diminta menahan melakukan pembelian berlebihan, sembari pemerintah menjelaskan solusi riil untuk menanganinya. Komunikasi yang terbuka ini akan mengundang kepercayaan publik. Di tengah musibah yang menggerus kepercayaan pemerintah, kepercayaan publik adalah emas berharga.
Pada saat yang sama, pengawasan harus diintensifkan untuk menutup setiap celah perilaku moral hazard . Bila masih ada pihak-pihak yang berperilaku culas, konstitusi memberi mandat agar negara menyeret mereka ke meja hijau. Dalam UU Perdagangan No 7/2014, penimbun kebutuhan pokok bisa dipenjara 5 tahun atau denda Rp50 miliar, dan penjara 4 tahun atau denda Rp10 miliar bagi pelaku manipulasi data dan informasi persediaan. Di UU Pangan No 18/2012, sanksinya lebih berat: penimbun bisa dipidana penjara 7 tahun atau denda Rp100 miliar. Sanksi yang berat ini agar memberi efek jera.
(pur)