Omnibus Law Dinilai Mampu Beri Kepastian Hukum

Selasa, 24 Maret 2020 - 16:47 WIB
Omnibus Law Dinilai Mampu Beri Kepastian Hukum
Omnibus Law Dinilai Mampu Beri Kepastian Hukum
A A A
JAKARTA - Omnibus Law dinilai sebagai upaya pemerintah dalam menyiasati pelambatan ekonomi global.

Omnibus law yang dikenal sebagai undang-undang sapu jagat ini adalah strategi reformasi regulasi agar penataan terhadap banyak peraturan perundang-undangan dilakukan secara sekaligus.

Hal itu mengemuka dalam diskusi bertajuk Undang-undang Omnibus Law Beri Kepastian Hukum bagi Masyarakat di Teman Kita Kafe and Resto, Jakarta Timur, Selasa (24/3/2020).

"Dengan perubahan ekonomi global yang melambat, kita perlu kebijakan yang reformatif,” kata Kepala Biro Humas Kementerian Hukum dan HAM, Bambang Wiyono dalam siaran pers yang diterima SINDOews.

Selama ini, kata dia, Indonesia mempunyai ketentuan peraturan perundang-undangan yang saling tumpang tindih dan menghambat. Terdapat 8.451 peraturan pusat dan 15.965 peraturan daerah yang menggambarkan kompleksitas regulasi di Indonesia.

"Perlu satu metode baru yang disebut dengan Omnibus law, untuk mereform peraturan-peraturan yang tumpang tindih, sekitar 80 peraturan perudang-undangan yang kita ubah, yang menghambat, yang menyulitkan, kita perbaiki,” ujarnya.

Senada, Direktur Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo mengatakan UU Omnibus Law ikut memberikan keringanan bagi para pelaku usaha.

“Misalnya sanksi pajak ikut mendapat keringanan. Dari 25 persen menuju 22 persen, bahkan diberi bonus hingga 17 persen,” ujarnya.

Menurut dia, tujuan dari keringanan sanksi ini untuk memberikan stimulus bagi investor asing untuk datang ke Indonesia, sekaligus ikut menumbuhkan target pertumbuhan ekonomi.

Hal ini sejalan dengan rencana dari Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengharapkan pertumbuhan ekonomi ini bisa mencapai 6%. “Saya optimistis dengan RUU perpajakan ini karena berpotensi bisa dorong pertumbuhan ekonomi dari 5,01 persen menjadi 6 persen,” katanya.

Dengan kehadiran peraturan ini, maka akun-akun media sosial seperti google, nettflix, facebook, Instagram dan lainnya akan dikenakan pajak pendapatan usaha.

“Pemberian pajak ini tentu ikut menambah pendapatan negara dari sektor pajak,” ujarnya

Sementara itu, Wakil Sekjen PB Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Rich Ilman Bimantika mengatakan selagi masih ada waktu dari 100 hari yang diberikan kepada pemerintah, DPR masih bisa membuka ruang diskusi dengan masyarakat.
“PB HMI mengapresiasi upaya pemerintah untuk menyederhanakan regulasi yang tumpang tindih” katanya.

Dia memberi masukan bahwa sumber daya alam harus diberikan untuk kemakmuran rakyat, seperti amanat UUD 1945. Dia juga meminta agar mahasiswa dan pemuda mempelajari keseluruhan isi RUU Omnibus Law.

“Mahasiswa dan pemuda jangan latah dan serta merta melakukan aksi dengan buruh untuk menolak Omnibus Law, beri kesempatan DPR dan pemerintah,” katanya.

Mantan Ketua BEM Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta, Taufik Hidayat mengatakan, masyarakat khususnya mahasiswa harus mengawal RUU Omnibus Law jangan pada sektor yang menyinggung perburuhan, tapi justru pada sistem hukumnya.

“RUU Omnibus Law ini adalah bentuk produk hukum kodifikasi hukum, layaknya KUHP yang awalnya adalah warisan kolonial Belanda, kemudian dikodifikasi menjadi UU KUHP," ujarnya.

RUU Omnibus Law sudah diterapkan di negara lain yang juga menganut sistem civil law. Negara civil law lain yang sudah menerapkan Omnibus Law ini, yaitu Jerman dan Vietnam.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6378 seconds (0.1#10.140)