Corona, Agama, dan Sains
A
A
A
Asrudin AzwarPeneliti, Pendiri The Asrudian Center
Di tengah pencegahan virus korona (Covid-19) di Tanah Air, kelompok Jamaah Tablig malah menggelar acara Ijtima Ulama Dunia Zona Asia. Acara itu digelar pada 19-22 Maret 2020. Pesertanya berasal dari 48 negara. Tidak kurang dari 8.000 jamaah dikabarkan berkumpul di Pakatto (Kabupaten Gowa), Sulawesi Selatan.
Seperti diketahui, ini merupakan grup sama yang bertanggung jawab atas perkumpulan di Malaysia dua pekan lalu, yang menginfeksi Covid-19 kepada lebih dari 500 orang. Itulah sebabnya Pemerintah Kabupaten Gowa meminta penyelenggara menunda kegiatan tersebut sehubungan pencegahan pandemi virus korona. Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan juga tidak menerbitkan izin keramaian dalam acara tersebut.
Kedatangan mereka itu tentu saja membuat sebagian warga ketakutan. Mereka khawatir peserta akan menyebarkan virus korona dan menulari penduduk lokal. Ironisnya, ketakutan sebagian warga dan imbauan pemerintah/kepolisian tetap tidak dihiraukan oleh kelompok tersebut. Satu di antara jamaah yang disebut-sebut sebagai seorang Syekh mengungkapkan alasannya, dia dan ribuan jamaah lain tidak takut pada virus korona. Baginya, virus itu yang mengendalikan Allah. Jadi, kita tidak usah panik. Kita berserah diri saja.
Secara keagamaan, cara pandang Syekh tersebut umumnya merujuk Hadis Sahih di dalam Bukhari dan Muslim yang berbunyi, "Tidak ada penularan". Bagi yang meyakini hadis itu tentu akan mengatakan bahwa mempercayai virus sebagai contagion akan merusak akidah sebab bagi mereka tidak ada kuasa atau material lain yang bisa membuat seseorang sakit kecuali Allah. Jadi, penyakit adalah kehendak Allah dan mereka yang mendapat sakit adalah ujian dari Allah (Mohamed Imran Mohamed Taib, 2020).
Meski begitu, pemikiran keagamaan terhadap wabah itu bukanlah pemahaman tunggal. Dalam sejarah pemikiran Islam, kita juga mengenal nama Lisan-ad-Din Ibn al-Khatib (1313-1375) - seorang ilmuwan dan penasihat Sultan Muhammad V di masa pemerintahan Islam di Granada, Andalusia pada abad ke-14.
Ibn al-Khatib diketahui menjadi orang pertama yang memperkenalkan "teori contagion ". Dengan menggunakan kaidah sains alam. Dan, berdasarkan pengalaman dari pengamatan empirikal atas wabah Black Death yang menimpa Eropa, termasuk Andalusia saat itu, al-Khatib menolak dengan keras pandangan ulama konservatif terkait kepasrahan kepada Allah dalam menyikapi wabah. Baginya, penyebab wabah mesti dibuktikan melalui data, kajian, renungan, dan penglihatan secara mendalam (Mohamed Imran Mohamed Taib, 2020).
Hal inilah yang lalu memicu lahir dua teori tentang penyikapan terhadap wabah. Melalui dua teori yang berkontestasi itulah, kita akan mengetahui kepada teori apa sebaiknya kita berpijak saat merespons wabah penyakit global yang diakibatkan oleh virus korona ini.
Dua Teori
Dalam sejarah peradaban Islam memang terdapat dua corak pemikiran yang saling berseberangan. Pertama , adalah corak pemikiran yang berlandaskan pada postulat agama dan menjelaskan segala hal dari sudut pandang teologi ataupun fikih. Kedua , ialah corak pemikiran yang terbuka kepada kajian empirikal sehingga jawabannya mengalir dari bukti dan bukan atas dasar penerimaan secara dogmatic (Mohamed Imran Mohamed Taib, 2020).
Meminjam istilah pemikir Maghribi, Mohammed Abed al-Jabri (1935-2010), sebagaimana dikutip Mohamed Taib, di dalam karyanya Naqd al-‘Aql al-‘Arabi , mengatakan corak pemikiran pertama boleh disebut sebagai "al-bayan " yang melahirkan tradisi ilmu keagamaan; sementara corak pemikiran kedua boleh disebut sebagai "al-burhan " yang mengedepankan pendekatan sains alam (natural sciences ) dalam memahami realitas.
Bagi corak pemikiran al-bayan , segala sesuatu dinilai sudah ada dan jelas di dalam ajaran Islam, maka kita hanya perlu mencari dalil-dalilnya atau mengaitkannya kepada makna mengapa sesuatu terjadi dan apa yang dapat kita pelajari darinya. Mohamed Taib memberikan contoh pada figur Ibn al-Lubb, Mufti Granada dan guru Ibn al-Khatib sendiri, sebagai representasi al-bayan yang menolak teori contagion .
Bagi al-Lubb, tidak ada sifat alami di dalam penyakit yang dapat mengakibatkan contagion . Sebab, menurutnya, hanya kuasa Allah yang bisa menentukan seseorang itu mendapat penyakit atau tidak. Memercayai adanya causative agent di dalam penyakit yang mengakibatkan contagion , sama dengan memercayai adanya kuasa selain Allah dan ini merupakan pandangan syirik.
Sementara itu, bagi corak pemikiran al-burhan , kita mesti mengawali dari persoalan yang belum ada jawabannya. Karena itu, akal sehat akan menjadi panduan di dalam mencari, mengkaji, menilai, menyaring, menginterpretasi, dan memformulasikan jawaban berdasarkan data dan bukti yang tersedia di lapangan.
Pijakan Teori
Pertanyaannya adalah ke mana sebaiknya kita berpijak: pada corak pemikiran al-bayan atau pada corak pemikiran al-burhan . Kalau melihat kecenderungan masyarakat Islam di Indonesia, sayangnya masih banyak dari mereka yang berpikir secara al-bayan . Kasus digelarnya acara Ijtima Ulama Dunia Zona Asia oleh Jamaah Tablig di tengah mewabahnya virus korona di Tanah Air bisa menjadi sampel bagus dari corak berpikir al-bayan .
Dalam lingkup yang lebih kecil, di sejumlah masjid tempat saya tinggal misalnya, juga masih banyak penceramah yang saya jumpai mengutarakan corak pemikiran al-bayan . Para penceramah itu umumnya mengajak jamaah masjid untuk tidak panik, tapi sayangnya jamaah juga diajak untuk pasrah menerima ini sebagai ujian. Berdoa menjadi satu-satunya solusi dalam memerangi virus korona yang sudah menjadi pandemi ini.
Akibatnya, jamaah menjadi pasif menyikapi virus ini. Itulah sebabnya, masih banyak jamaah yang tidak peka menyikapi pandemi: tidak menggunakan masker dan tidak terlalu peduli pentingnya hidup sehat atau menjaga kebersihan dan sebagainya. Padahal, ini adalah virus yang sangat mematikan bagi manusia. Andai saja para ulama konservatif ini memahami sejarah pemikiran Islam dengan baik, sudah tentu ia akan mengambil jalan pemikiran Ibn al-Khatib (corak pemikiran al-burhan ).
Apalagi, setelah tiga ratus tahun pascakematiannya, teori contagion Ibn al-Khatib terbukti benar dengan penemuan kuman yang dapat dilihat menggunakan mikroskop oleh saintis kenamaan asal Belanda, Antonie van Leeuwenhoek, pada 1676. Momen ini sekarang dianggap sebagai permulaan sains modern mengenai wabah penyakit atau epidemiologi (Mohamed Imran Mohamed Taib, 2020).
Itu artinya sejarah menunjukkan bahwa corak pemikiran al-burhan jauh lebih akurat ketimbang al-bayan , ketika memahami wabah penyakit. Dalam konteks itulah kita sebaiknya berpijak pada corak pemikiran al-burhan . Dan, syukurnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Muhammadiyah mengambil pendekatan al-burhan (rasional dan saintifik) dengan mengimbau kepada warga yang terkena korona untuk sementara tidak melakukan salat Jumat berjamaah di masjid.
MUI melalui Komisi Fatwa juga mengimbau umat muslim di wilayah yang terdapat kasus infeksi virus korona untuk tidak menunaikan salat wajib lima waktu secara berjamaah di masjid dan melakukannya di rumah masing-masing.
Kesimpulannya, sementara kita berdoa di rumah masing-masing sebagai bagian dari cara untuk melakukan social distancing , lockdown , atau apa pun istilahnya. Biarkanlah corak pemikiran al-burhan yang mengambil peran dalam memerangi virus yang sudah menjadi pandemi ini.
Di tengah pencegahan virus korona (Covid-19) di Tanah Air, kelompok Jamaah Tablig malah menggelar acara Ijtima Ulama Dunia Zona Asia. Acara itu digelar pada 19-22 Maret 2020. Pesertanya berasal dari 48 negara. Tidak kurang dari 8.000 jamaah dikabarkan berkumpul di Pakatto (Kabupaten Gowa), Sulawesi Selatan.
Seperti diketahui, ini merupakan grup sama yang bertanggung jawab atas perkumpulan di Malaysia dua pekan lalu, yang menginfeksi Covid-19 kepada lebih dari 500 orang. Itulah sebabnya Pemerintah Kabupaten Gowa meminta penyelenggara menunda kegiatan tersebut sehubungan pencegahan pandemi virus korona. Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan juga tidak menerbitkan izin keramaian dalam acara tersebut.
Kedatangan mereka itu tentu saja membuat sebagian warga ketakutan. Mereka khawatir peserta akan menyebarkan virus korona dan menulari penduduk lokal. Ironisnya, ketakutan sebagian warga dan imbauan pemerintah/kepolisian tetap tidak dihiraukan oleh kelompok tersebut. Satu di antara jamaah yang disebut-sebut sebagai seorang Syekh mengungkapkan alasannya, dia dan ribuan jamaah lain tidak takut pada virus korona. Baginya, virus itu yang mengendalikan Allah. Jadi, kita tidak usah panik. Kita berserah diri saja.
Secara keagamaan, cara pandang Syekh tersebut umumnya merujuk Hadis Sahih di dalam Bukhari dan Muslim yang berbunyi, "Tidak ada penularan". Bagi yang meyakini hadis itu tentu akan mengatakan bahwa mempercayai virus sebagai contagion akan merusak akidah sebab bagi mereka tidak ada kuasa atau material lain yang bisa membuat seseorang sakit kecuali Allah. Jadi, penyakit adalah kehendak Allah dan mereka yang mendapat sakit adalah ujian dari Allah (Mohamed Imran Mohamed Taib, 2020).
Meski begitu, pemikiran keagamaan terhadap wabah itu bukanlah pemahaman tunggal. Dalam sejarah pemikiran Islam, kita juga mengenal nama Lisan-ad-Din Ibn al-Khatib (1313-1375) - seorang ilmuwan dan penasihat Sultan Muhammad V di masa pemerintahan Islam di Granada, Andalusia pada abad ke-14.
Ibn al-Khatib diketahui menjadi orang pertama yang memperkenalkan "teori contagion ". Dengan menggunakan kaidah sains alam. Dan, berdasarkan pengalaman dari pengamatan empirikal atas wabah Black Death yang menimpa Eropa, termasuk Andalusia saat itu, al-Khatib menolak dengan keras pandangan ulama konservatif terkait kepasrahan kepada Allah dalam menyikapi wabah. Baginya, penyebab wabah mesti dibuktikan melalui data, kajian, renungan, dan penglihatan secara mendalam (Mohamed Imran Mohamed Taib, 2020).
Hal inilah yang lalu memicu lahir dua teori tentang penyikapan terhadap wabah. Melalui dua teori yang berkontestasi itulah, kita akan mengetahui kepada teori apa sebaiknya kita berpijak saat merespons wabah penyakit global yang diakibatkan oleh virus korona ini.
Dua Teori
Dalam sejarah peradaban Islam memang terdapat dua corak pemikiran yang saling berseberangan. Pertama , adalah corak pemikiran yang berlandaskan pada postulat agama dan menjelaskan segala hal dari sudut pandang teologi ataupun fikih. Kedua , ialah corak pemikiran yang terbuka kepada kajian empirikal sehingga jawabannya mengalir dari bukti dan bukan atas dasar penerimaan secara dogmatic (Mohamed Imran Mohamed Taib, 2020).
Meminjam istilah pemikir Maghribi, Mohammed Abed al-Jabri (1935-2010), sebagaimana dikutip Mohamed Taib, di dalam karyanya Naqd al-‘Aql al-‘Arabi , mengatakan corak pemikiran pertama boleh disebut sebagai "al-bayan " yang melahirkan tradisi ilmu keagamaan; sementara corak pemikiran kedua boleh disebut sebagai "al-burhan " yang mengedepankan pendekatan sains alam (natural sciences ) dalam memahami realitas.
Bagi corak pemikiran al-bayan , segala sesuatu dinilai sudah ada dan jelas di dalam ajaran Islam, maka kita hanya perlu mencari dalil-dalilnya atau mengaitkannya kepada makna mengapa sesuatu terjadi dan apa yang dapat kita pelajari darinya. Mohamed Taib memberikan contoh pada figur Ibn al-Lubb, Mufti Granada dan guru Ibn al-Khatib sendiri, sebagai representasi al-bayan yang menolak teori contagion .
Bagi al-Lubb, tidak ada sifat alami di dalam penyakit yang dapat mengakibatkan contagion . Sebab, menurutnya, hanya kuasa Allah yang bisa menentukan seseorang itu mendapat penyakit atau tidak. Memercayai adanya causative agent di dalam penyakit yang mengakibatkan contagion , sama dengan memercayai adanya kuasa selain Allah dan ini merupakan pandangan syirik.
Sementara itu, bagi corak pemikiran al-burhan , kita mesti mengawali dari persoalan yang belum ada jawabannya. Karena itu, akal sehat akan menjadi panduan di dalam mencari, mengkaji, menilai, menyaring, menginterpretasi, dan memformulasikan jawaban berdasarkan data dan bukti yang tersedia di lapangan.
Pijakan Teori
Pertanyaannya adalah ke mana sebaiknya kita berpijak: pada corak pemikiran al-bayan atau pada corak pemikiran al-burhan . Kalau melihat kecenderungan masyarakat Islam di Indonesia, sayangnya masih banyak dari mereka yang berpikir secara al-bayan . Kasus digelarnya acara Ijtima Ulama Dunia Zona Asia oleh Jamaah Tablig di tengah mewabahnya virus korona di Tanah Air bisa menjadi sampel bagus dari corak berpikir al-bayan .
Dalam lingkup yang lebih kecil, di sejumlah masjid tempat saya tinggal misalnya, juga masih banyak penceramah yang saya jumpai mengutarakan corak pemikiran al-bayan . Para penceramah itu umumnya mengajak jamaah masjid untuk tidak panik, tapi sayangnya jamaah juga diajak untuk pasrah menerima ini sebagai ujian. Berdoa menjadi satu-satunya solusi dalam memerangi virus korona yang sudah menjadi pandemi ini.
Akibatnya, jamaah menjadi pasif menyikapi virus ini. Itulah sebabnya, masih banyak jamaah yang tidak peka menyikapi pandemi: tidak menggunakan masker dan tidak terlalu peduli pentingnya hidup sehat atau menjaga kebersihan dan sebagainya. Padahal, ini adalah virus yang sangat mematikan bagi manusia. Andai saja para ulama konservatif ini memahami sejarah pemikiran Islam dengan baik, sudah tentu ia akan mengambil jalan pemikiran Ibn al-Khatib (corak pemikiran al-burhan ).
Apalagi, setelah tiga ratus tahun pascakematiannya, teori contagion Ibn al-Khatib terbukti benar dengan penemuan kuman yang dapat dilihat menggunakan mikroskop oleh saintis kenamaan asal Belanda, Antonie van Leeuwenhoek, pada 1676. Momen ini sekarang dianggap sebagai permulaan sains modern mengenai wabah penyakit atau epidemiologi (Mohamed Imran Mohamed Taib, 2020).
Itu artinya sejarah menunjukkan bahwa corak pemikiran al-burhan jauh lebih akurat ketimbang al-bayan , ketika memahami wabah penyakit. Dalam konteks itulah kita sebaiknya berpijak pada corak pemikiran al-burhan . Dan, syukurnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Muhammadiyah mengambil pendekatan al-burhan (rasional dan saintifik) dengan mengimbau kepada warga yang terkena korona untuk sementara tidak melakukan salat Jumat berjamaah di masjid.
MUI melalui Komisi Fatwa juga mengimbau umat muslim di wilayah yang terdapat kasus infeksi virus korona untuk tidak menunaikan salat wajib lima waktu secara berjamaah di masjid dan melakukannya di rumah masing-masing.
Kesimpulannya, sementara kita berdoa di rumah masing-masing sebagai bagian dari cara untuk melakukan social distancing , lockdown , atau apa pun istilahnya. Biarkanlah corak pemikiran al-burhan yang mengambil peran dalam memerangi virus yang sudah menjadi pandemi ini.
(nag)