Usulan PT 7%, Perludem: Bisa Akibatkan Pemilu Disproporsional

Jum'at, 13 Maret 2020 - 15:34 WIB
Usulan PT 7%, Perludem:...
Usulan PT 7%, Perludem: Bisa Akibatkan Pemilu Disproporsional
A A A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini menyatakan partai-partai besar mulai menggulirkan kembali gagasan untuk menaikkan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) dengan dalih untuk menyederhanakan sistem kepartaian di Indonesia dan memperkuat kelembagaan partai politik.

"Misalnya saja Golkar dan Nasdem yang mematok angka 7 persen," ujar Titi saat dihubungi SINDOnews, Jumat (13/3/2020). (Baca juga: Golkar-Nasdem Mau Naikkan PT 7%, Begini Respons PDIP )

Padahal untuk menyederhanakan sistem kepartaian tidak hanya bisa dilakukan dengan menaikkan ambang batas. Ambang batas menurutnya, memang bisa secara cepat mengurangi jumlah partai yang bisa masuk Parlemen, namun juga bisa membawa dampak kurang baik bagi penyelenggaraan pemilu.

"Semakin tinggi ambang batas maka partai makin sulit untuk bisa dapat kursi dan mengirim wakil-wakilnya masuk Parlemen," tutur dia.

Titi menyebutkan akibat dari ambang batas yang semakin tinggi bisa mengakibatkan pemilu di Indonesia semakin disproporsional. Artinya, perolehan suara yang diperoleh partai tidak seimbang dengan perolehan kursinya saat dilakukan konversi suara menjadi kursi. Terlebih, Indonesia masih menganut sistem proporsional.

Selain itu, lanjut Titi, ambang batas yang tinggi juga tak serta merta akan membuat makin banyaknya suara sah yang sudah diberikan pemilih saat mencoblos di TPS menjadi tidak bisa dihitung alias menjadi suara terbuang atau wasted votes.

Dengan kata lain, ia menerangkan, semakin besar angkanya dan makin banyak partai yang tidak bisa dikonversi suaranya menjadi kursi ini bisa berakibat pada ketidakpuasan politik, lalu membuat apatisme politik warga atau bahkan bisa berdampak buruk mengakibatkan benturan dan konflik politik.

Di samping itu, dengan ambang batas yang tinggi juga bisa memicu pragmatisme politik. Alih-alih mereka ingin memperkuat ideologi dan kelembagaan partai, malah disikapi dengan mengambil jalan pintas dengan melakukan politik uang lebih masif dengan harapan bisa merebut suara melalui praktik jual beli suara yang mereka lakukan.

Lebih lanjut Titi menyatakan, ambang batas yang tinggi juga bisa mengakibatkan makin sulitnya perempuan untuk duduk di Parlemen karena partai-partai yang mengusung mereka tidak lolos PT.

"Ini pernah kejadian pada Grace Natalie dan Tsamara dari PSI saat Pileg 2019 lalu, padahal perolehan suara mereka cukup besar," papar dia.

Titi berpendapat, sejatinya pemilu serentak legislatif dan eksekutif sendiri salah satu instrumen untuk melakukan penyederhanaan parpol melalui efek ekor jas (coattails effect) sebagai salah satu implikasinya. Penyederhanaan partai juga bisa dilakukan tanpa harus meninggikan ambang batas, misalnya dengan memperkecil besaran daerah pemilihan atau melalui pemberlakuan ambang batas pembentukan fraksi di Parlemen.

"Jadi tidak perlu dibatasi untuk masuk Parlemen namun untuk membuat konsentrasi di Parlemen menjadi lebih sederhana, maka ada pemberlakuan ambang batas perolehan kursi yang mereka harus penuhi. Sehingga pengambilan keputusan di Parlemen juga menjadi lebih sederhana," katanya. (Baca juga: Parpol Nonparlemen: PT Jangan 7% Sekalian Saja 20% seperti Orba )

Selain itu, jika elite parpol dan semua pihak mau konsisten melakukan verifikasi parpol sesuai dengan amanat UU maka itu saja sudah menjadi instrumen yang bisa mengontrol kepesertaan parpol di pemilu secara luar biasa. "Karena syarat kepesertaan pemilu di Indonesia merupakan salah satu persyaratan yang paling berat dan sulit di dunia," tandasnya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1347 seconds (0.1#10.140)