Eks Terpidana Muhtar Ependy Kembali Divonis 4,5 Tahun Penjara
A
A
A
JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan vonis penjara selama empat tahun enam bulan terhadap Muhtar Ependy, pemilik PT Promic Internasional sekaligus orang dekat terpidana mantan Ketua MK M Akil Mochtar.
Sebelumnya Muhtar pernah menjadi penghuni Lapas Sukamiskin Bandung. Ketika itu dia divonis lima tahun tahun.
Majelis hakim yang dipimpin Ni Made Sudani menilai terdakwa terbukti bersalah melakukan dua tindak pidana. Hal itu berdasarkan atas fakta-fakta persidangan, baik dari keterangan saksi-saksi, dokumen, surat, bukti petunjuk, keterangan ahli dan keterangan terdakwa.
Pertama, Muhtar bersama-sama dengan terpidana M Akil Mochtar telah menerima suap dari empat orang pemberi suap. Masing-masing Rp11,395 miliar dan USD316.700 dari mantan terpidana almarhum mantan Wali Kota Palembang Romi Herton dan mantan terpidana Masyito (istri Romi) terkait pengurusan sengketa Pilkada Kota Palembang 2013 di Mahkamah Konstitusi (MK).
Berikutnya sebesar Rp10 miliar dan USD500.00 dari mantan terpidana mantan Bupati Empat Lawang Budi Antoni Aljufri dan mantan terpidana Suzanna (istri Budi).
Kedua, melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Perbuatan tersebut mencakup menitipkan uang dengan total Rp21,427 miliar dan USD816.700 kepada Iwan Sutaryadi selaku Wakil Kepala BPD Kalimantan Barat Cabang Jakarta, menempatkan uang sejumlah Rp4 miliar di BPD Kalbar, mentransfer uang sejumlah Rp3,866 miliar dari rekening di BPD Kalbar ke rekening CV Ratu Samagat, perusahaan milik Akil, menempatkan uang keseluruhan berjumlah Rp11,093 miliar, dan mentransfer uang seluruhnya berjumlah Rp7,38 miliar.
Kemudian membelanjakan atau membayarkan bahan baju hyget Rp5 juta pieces dengan harga Rp500 juta, pembelian kendaraan bermotor roda empat sejumlah 25 unit, kendaraan bermotor roda dua sejumlah 31 unit seharga Rp5,326 miliar, pembelian tanah di kabupaten Bengkayang seharga Rp1,2 miliar, pembelian tanah di Sukabumi Rp50 juta, pembelian tanah dan bangunan di Kemayoran Rp1,35 miliar, pembelian 1 bangunan di Cempaka Putih senilai Rp3,5 miliar dan tanah di Kebumen seharga Rp217 juta, dan perbuatan lain atas harta kekayaan sejumlah Rp1 miliar.
"Mengadili, memutuskan, menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa Muhtar Ependy dengan pidana penjara selama empat tahun dan enam bulan dan pidana denda sebesar Rp200 juta bila tidak dibayar diganti kurungan selama tiga bulan," tutur Hakim Ni Made Sudani saat membacakan amar putusan atas nama Muhtar Ependy, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (12/3/2020).
Hakim Sudani menegaskan, untuk perbuatan penerimaan suap maka Muhtar terbukti melanggar Pasal 12 huruf c UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat 1 KUHPi, sebagaimana dalam dakwaan ke satu pertama. Untuk TPPU, terbukti melanggar Pasal 3 UU Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat 1 KUHP sebagaimana dalam dakwaan kedua.
Dalam menjatuhkan putusan, majelis mempertimbangkan hal-hal memberatkan dan meringankan. Pertimbangan meringankan, yakni bersikap sopan selama persidangan dan punya tanggungan keluarga.
"Hal memberatkan, perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah sedang giat-giatnya memberantas korupsi," ucap Hakim Sudani.
Atas putusan ini, Muhtar Ependy dan tim penasihat hukum mengatakan akan pikir-pikir selama tujuh hari apakah akan menerima putusan atau mengajukan banding. Sementara JPU pada KPK langsung memastikan dan menyatakan banding.
"Kami menyatakan banding," tegas anggota JPU Muhammad Wiraksanjaya.
Sebelumnya, untuk kasus ini JPU menuntut Muhtar Ependy dengan pidana penjara selama delapan tahun dan pidana denda Rp450 juta subsider enam bulan kurungan.
Jauh sebelumnya, Muhtar Ependy pernah divonis terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan dua delik tindak pidana korupsi dengan vonis pidana penjara selama lima tahun denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan. Masa pidana ini telah habis dan Muhtar bebas dari Lapas Sukamiskin Bandung pada sekitar September 2019.
Dua perkara sebelumnya yakni pertama, menghalang-halangi penyidikan hingga pemeriksaan di pengadilan dan pemberian keterangan palsu dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta atas perkara suap pengurusan sengketa pilkada di MK.
Sebelumnya Muhtar pernah menjadi penghuni Lapas Sukamiskin Bandung. Ketika itu dia divonis lima tahun tahun.
Majelis hakim yang dipimpin Ni Made Sudani menilai terdakwa terbukti bersalah melakukan dua tindak pidana. Hal itu berdasarkan atas fakta-fakta persidangan, baik dari keterangan saksi-saksi, dokumen, surat, bukti petunjuk, keterangan ahli dan keterangan terdakwa.
Pertama, Muhtar bersama-sama dengan terpidana M Akil Mochtar telah menerima suap dari empat orang pemberi suap. Masing-masing Rp11,395 miliar dan USD316.700 dari mantan terpidana almarhum mantan Wali Kota Palembang Romi Herton dan mantan terpidana Masyito (istri Romi) terkait pengurusan sengketa Pilkada Kota Palembang 2013 di Mahkamah Konstitusi (MK).
Berikutnya sebesar Rp10 miliar dan USD500.00 dari mantan terpidana mantan Bupati Empat Lawang Budi Antoni Aljufri dan mantan terpidana Suzanna (istri Budi).
Kedua, melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Perbuatan tersebut mencakup menitipkan uang dengan total Rp21,427 miliar dan USD816.700 kepada Iwan Sutaryadi selaku Wakil Kepala BPD Kalimantan Barat Cabang Jakarta, menempatkan uang sejumlah Rp4 miliar di BPD Kalbar, mentransfer uang sejumlah Rp3,866 miliar dari rekening di BPD Kalbar ke rekening CV Ratu Samagat, perusahaan milik Akil, menempatkan uang keseluruhan berjumlah Rp11,093 miliar, dan mentransfer uang seluruhnya berjumlah Rp7,38 miliar.
Kemudian membelanjakan atau membayarkan bahan baju hyget Rp5 juta pieces dengan harga Rp500 juta, pembelian kendaraan bermotor roda empat sejumlah 25 unit, kendaraan bermotor roda dua sejumlah 31 unit seharga Rp5,326 miliar, pembelian tanah di kabupaten Bengkayang seharga Rp1,2 miliar, pembelian tanah di Sukabumi Rp50 juta, pembelian tanah dan bangunan di Kemayoran Rp1,35 miliar, pembelian 1 bangunan di Cempaka Putih senilai Rp3,5 miliar dan tanah di Kebumen seharga Rp217 juta, dan perbuatan lain atas harta kekayaan sejumlah Rp1 miliar.
"Mengadili, memutuskan, menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa Muhtar Ependy dengan pidana penjara selama empat tahun dan enam bulan dan pidana denda sebesar Rp200 juta bila tidak dibayar diganti kurungan selama tiga bulan," tutur Hakim Ni Made Sudani saat membacakan amar putusan atas nama Muhtar Ependy, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (12/3/2020).
Hakim Sudani menegaskan, untuk perbuatan penerimaan suap maka Muhtar terbukti melanggar Pasal 12 huruf c UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat 1 KUHPi, sebagaimana dalam dakwaan ke satu pertama. Untuk TPPU, terbukti melanggar Pasal 3 UU Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat 1 KUHP sebagaimana dalam dakwaan kedua.
Dalam menjatuhkan putusan, majelis mempertimbangkan hal-hal memberatkan dan meringankan. Pertimbangan meringankan, yakni bersikap sopan selama persidangan dan punya tanggungan keluarga.
"Hal memberatkan, perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah sedang giat-giatnya memberantas korupsi," ucap Hakim Sudani.
Atas putusan ini, Muhtar Ependy dan tim penasihat hukum mengatakan akan pikir-pikir selama tujuh hari apakah akan menerima putusan atau mengajukan banding. Sementara JPU pada KPK langsung memastikan dan menyatakan banding.
"Kami menyatakan banding," tegas anggota JPU Muhammad Wiraksanjaya.
Sebelumnya, untuk kasus ini JPU menuntut Muhtar Ependy dengan pidana penjara selama delapan tahun dan pidana denda Rp450 juta subsider enam bulan kurungan.
Jauh sebelumnya, Muhtar Ependy pernah divonis terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan dua delik tindak pidana korupsi dengan vonis pidana penjara selama lima tahun denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan. Masa pidana ini telah habis dan Muhtar bebas dari Lapas Sukamiskin Bandung pada sekitar September 2019.
Dua perkara sebelumnya yakni pertama, menghalang-halangi penyidikan hingga pemeriksaan di pengadilan dan pemberian keterangan palsu dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta atas perkara suap pengurusan sengketa pilkada di MK.
(dam)