Perludem Minta Wacana E-Voting Pemilu Dipertimbangkan Ulang
A
A
A
JAKARTA - Wacana penggunaan electronic voting (e-voting) pada pemilu berikutnya kembali muncul. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pada diskusi 'Urgensi Mewujudkan Pilkada Demokratis dan Berkualitas: Tantangan dan Harapan" di Hotel Dharmawangsa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 9 Maret mengatakan bahwa e-voting diperlukan untuk menekan biaya tinggi pemilu.
Peneliti Perludem Nurul Amalia menyatakan, selama ini, argumen efisiensi tata kelola pemilu, yakni mengurangi tingginya biaya penyelenggaraan, meringankan beban penyelenggara, dan mempercepat proses rekapitulasi suara memang selalu disebut sebagai tujuan yang hendak dicapai dari wacana penerapan e-voting tersebut.
"Namun pertanyannya, apakah relevan e-voting diterapkan di Indonesia? Apakah terdapat aspek selain efisiensi yang perlu dipertimbangkan dalam wacana penggunaan e-voting," tutur Nurul kepada SINDOnews, Kamis (12/3/2020). (Baca Juga: Diklaim Lebih Hemat, KPU Usulkan Penggunaan E-Rekap ke Jokowi).
Menurut dia, e-voting memang bukanlah perangkat teknologi informasi yang baru dalam dunia kepemiluan. Salah satu tujuan penerapannya di beberapa negara memang untuk menciptakan efisiensi. Di Brasil, proses pemungutan, penghitungan, dan rekapitulasi suara yang melibatkan banyak pekerja dan memicu potensi manipulasi suara, menjadi latar belakang di balik penggunaan electronic voting machine (EVM).
Begitu pula dengan India, lanjut Nurul, EVM yang dibangun oleh para teknisi dalam negeri mengurangi biaya pemilu dengan terpangkasnya anggaran untuk mencetak surat suara bagi 900 juta lebih pemilih India.
Namun demikian, kata Nurul, terdapat pula negara-negara yang cenderung meninggalkan penggunaan e-voting. Jerman misalnya, Mahkamah Konstitusi Jerman pada 2009 memutuskan agar e-voting tidak lagi digunakan karena bertentangan dengan prinsip pemilu terutama transparansi proses penghitungan suara.
Selain itu, di Belanda, pada 2006 muncul gelombang protes dan kampanye "we don’t trust the machince" untuk mempertanyakan penggunaan e-voting. Begitu juga di Prancis, beberapa bulan menjelang penyelenggaran Pemilu 2017, Pemerintah memutuskan untuk tidak menggunakan e-voting bagi pemilih di luar negeri akibat adanya ancaman peretasan.
Dia menambahkan, negara-negara dengan e-voting dan penghitungan suara elektronik atau e-counting pun bukan tanpa masalah. Di Filipina, meski sukses menggelar pemilu dengan e-counting, transmisi elektronik sering dipermasalahkan terkait keamanannya. Di Brasil, mesin e-voting tipe DRE (Direct Recording Electronic) tanpa VVPAT (Voter Verified Paper Audit Trail) selalu mengundang pertanyaan tentang keakurasian hasil pemilu.
Menurut dia, dari berbagai kasus yang terjadi, nampak bahwa efisiensi tidak bisa dijadikan sebagai satu-satunya rujukan utama untuk memutuskan pilihan penggunan e-voting dalam pemilu. Teknologi informasi dalam pemilu mesti berpijak pada prinsip, bahwa ia difungsikan dalam rangka memenuhi prinsip utama pemilu, yakni bebas dan adil, termasuk menciptakan pemilu yang berintegritas (electoral integrity). Dengan kata lain, apa pun pilihan sistem teknologi informasinya, sistem tersebut harus memenuhi prinsip pemilu bebas dan adil.
Di sisi lain, sistem teknologi yang dipilih pun semestinya merupakan jalan keluar satu-satunya dari permasalahan kepemiluan yang dihadapi oleh suatu negara, dan tak justru menimbulkan masalah baru. Dengan demikian, pemetaan terhadap permasalahan perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum menentukan pilihan tekenologi informasi yang akan diterapkan.
Sementara itu, di Indonesia, hari pemungutan dan penghitungan suara di tempat pemungutan suara (TPS) disebut-sebut sebagai cara memilih paling demokratis, karena mampu menjaga prinsip kerahasian pilihan pemilih dan mendorong transparansi proses penghitungan suara.
Nurul menyebut, pemilih datang ke TPS tidak hanya untuk memberikan suara, namun ketika penghitungan suara dimulai dengan mekanisme membuka satu per satu surat suara, pemilih kembali datang untuk menyaksikan proses penghitungan tersebut. Dengan adanya mekanisme penghitungan suara yang dilakukan secara terbuka, secara tidak langsung mendorong hadirnya pengawasan partisipatif pemilih.
"Jika e-voting diterapkan, tentunya peralihan proses kepada mesin akan meminimalisir dimensi transparansi sekaligus menghilangkan pengawasan partisipatif dari publik karena tidak ada lagi mekanisme penghitungan suara terbuka di TPS," ujarnya.
Dari sini, tambah Nurul, nampak bahwa tahapan pemungutan dan penghitungan suara praktis tidak terlalu ada persoalan yang berarti di tengah mekanisme pemungutan dan penghitungan suara manual. Persoalan baru muncul pada tahapan rekapitulasi berjenjang yang memakan waktu cukup lama dan membuka ruang ketidakakurasian hasil pemilu, lantaran perbuatan tidak disengaja seperti salah tulis, maupun disengaja seperti penggelembungan suara.
"Pada sisi lain, tahapan rekapitulasi berjenjang sangat minim pengawasan partisipatif publik, tak seperti di TPS. Untuk itu, pemanfaatan teknologi informasi rekapitulasi elektronik lebih mendesak untuk diterapkan dibandingkan dengan e-voting," tandasnya.
Peneliti Perludem Nurul Amalia menyatakan, selama ini, argumen efisiensi tata kelola pemilu, yakni mengurangi tingginya biaya penyelenggaraan, meringankan beban penyelenggara, dan mempercepat proses rekapitulasi suara memang selalu disebut sebagai tujuan yang hendak dicapai dari wacana penerapan e-voting tersebut.
"Namun pertanyannya, apakah relevan e-voting diterapkan di Indonesia? Apakah terdapat aspek selain efisiensi yang perlu dipertimbangkan dalam wacana penggunaan e-voting," tutur Nurul kepada SINDOnews, Kamis (12/3/2020). (Baca Juga: Diklaim Lebih Hemat, KPU Usulkan Penggunaan E-Rekap ke Jokowi).
Menurut dia, e-voting memang bukanlah perangkat teknologi informasi yang baru dalam dunia kepemiluan. Salah satu tujuan penerapannya di beberapa negara memang untuk menciptakan efisiensi. Di Brasil, proses pemungutan, penghitungan, dan rekapitulasi suara yang melibatkan banyak pekerja dan memicu potensi manipulasi suara, menjadi latar belakang di balik penggunaan electronic voting machine (EVM).
Begitu pula dengan India, lanjut Nurul, EVM yang dibangun oleh para teknisi dalam negeri mengurangi biaya pemilu dengan terpangkasnya anggaran untuk mencetak surat suara bagi 900 juta lebih pemilih India.
Namun demikian, kata Nurul, terdapat pula negara-negara yang cenderung meninggalkan penggunaan e-voting. Jerman misalnya, Mahkamah Konstitusi Jerman pada 2009 memutuskan agar e-voting tidak lagi digunakan karena bertentangan dengan prinsip pemilu terutama transparansi proses penghitungan suara.
Selain itu, di Belanda, pada 2006 muncul gelombang protes dan kampanye "we don’t trust the machince" untuk mempertanyakan penggunaan e-voting. Begitu juga di Prancis, beberapa bulan menjelang penyelenggaran Pemilu 2017, Pemerintah memutuskan untuk tidak menggunakan e-voting bagi pemilih di luar negeri akibat adanya ancaman peretasan.
Dia menambahkan, negara-negara dengan e-voting dan penghitungan suara elektronik atau e-counting pun bukan tanpa masalah. Di Filipina, meski sukses menggelar pemilu dengan e-counting, transmisi elektronik sering dipermasalahkan terkait keamanannya. Di Brasil, mesin e-voting tipe DRE (Direct Recording Electronic) tanpa VVPAT (Voter Verified Paper Audit Trail) selalu mengundang pertanyaan tentang keakurasian hasil pemilu.
Menurut dia, dari berbagai kasus yang terjadi, nampak bahwa efisiensi tidak bisa dijadikan sebagai satu-satunya rujukan utama untuk memutuskan pilihan penggunan e-voting dalam pemilu. Teknologi informasi dalam pemilu mesti berpijak pada prinsip, bahwa ia difungsikan dalam rangka memenuhi prinsip utama pemilu, yakni bebas dan adil, termasuk menciptakan pemilu yang berintegritas (electoral integrity). Dengan kata lain, apa pun pilihan sistem teknologi informasinya, sistem tersebut harus memenuhi prinsip pemilu bebas dan adil.
Di sisi lain, sistem teknologi yang dipilih pun semestinya merupakan jalan keluar satu-satunya dari permasalahan kepemiluan yang dihadapi oleh suatu negara, dan tak justru menimbulkan masalah baru. Dengan demikian, pemetaan terhadap permasalahan perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum menentukan pilihan tekenologi informasi yang akan diterapkan.
Sementara itu, di Indonesia, hari pemungutan dan penghitungan suara di tempat pemungutan suara (TPS) disebut-sebut sebagai cara memilih paling demokratis, karena mampu menjaga prinsip kerahasian pilihan pemilih dan mendorong transparansi proses penghitungan suara.
Nurul menyebut, pemilih datang ke TPS tidak hanya untuk memberikan suara, namun ketika penghitungan suara dimulai dengan mekanisme membuka satu per satu surat suara, pemilih kembali datang untuk menyaksikan proses penghitungan tersebut. Dengan adanya mekanisme penghitungan suara yang dilakukan secara terbuka, secara tidak langsung mendorong hadirnya pengawasan partisipatif pemilih.
"Jika e-voting diterapkan, tentunya peralihan proses kepada mesin akan meminimalisir dimensi transparansi sekaligus menghilangkan pengawasan partisipatif dari publik karena tidak ada lagi mekanisme penghitungan suara terbuka di TPS," ujarnya.
Dari sini, tambah Nurul, nampak bahwa tahapan pemungutan dan penghitungan suara praktis tidak terlalu ada persoalan yang berarti di tengah mekanisme pemungutan dan penghitungan suara manual. Persoalan baru muncul pada tahapan rekapitulasi berjenjang yang memakan waktu cukup lama dan membuka ruang ketidakakurasian hasil pemilu, lantaran perbuatan tidak disengaja seperti salah tulis, maupun disengaja seperti penggelembungan suara.
"Pada sisi lain, tahapan rekapitulasi berjenjang sangat minim pengawasan partisipatif publik, tak seperti di TPS. Untuk itu, pemanfaatan teknologi informasi rekapitulasi elektronik lebih mendesak untuk diterapkan dibandingkan dengan e-voting," tandasnya.
(zik)