Kenaikan Iuran BPJS Dibatalkan, DPR Akan Kawal Putusan Mahkamah Agung
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diminta bersikap bijak menyikapi keputusan Mahkamah Agung (MA) terkait kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Dengan putusan MA ini, pemerintah wajib menghentikan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) meminta pemerintah untuk melaksanakan putusan MA yang membatalkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 yang mengatur soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Pemerintah juga harus melakukan sosialisasi tentang pembatalan tersebut dan mengembalikan besaran iuran BPJS seperti semula yang sudah ditetapkan.
Bamsoet mengapresiasi putusan MA yang telah membatalkan perpres tersebut dan mendorong pemerintah dalam menetapkan peraturan harus sesuai dengan kajian filosofis, yuridis, dan sosiologis. “Ini agar peraturan yang ditetapkan dapat berlaku secara efektif dan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi,” tandasnya di Jakarta kemarin.
Sebelumnya pemerintah memutuskan untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan sejak 1 Januari 2020. Hal ini dipicu ada defisit anggaran yang diperkirakan mencapai Rp32,8 triliun. Kenaikan iuran tersebut dilakukan dengan dalih untuk menutup defisit anggaran. Namun, keputusan pemerintah ini digugat oleh Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI). Mereka meminta MA membatalkan kenaikan itu. Gayung bersambut, MA pun mengabulkan sebagian permohonan itu.
Dengan pembatalan pasal di atas, iuran BPJS kembali seperti semula yakni untuk kelas tiga sebesar Rp25.500, kelas dua sebesar Rp51.000, dan kelas satu Rp80.000.
Anggota Komisi IX DPR Kurniasih Mufidayati mengatakan, keputusan MA yang menyatakan Pasal 34 Ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan sudah tidak memiliki kekuatan hukum mengikat lagi. “Saya menyambut positif keputusan MA ini. Maka, pemerintah wajib segera menindaklanjuti dengan menghentikan kenaikan iuran BPJS saat ini juga,” tandas Mufida di Jakarta kemarin.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini mengatakan, pemerintah harus belajar dari peristiwa ini. Jangan menambah beban hidup rakyat dalam situasi wabah virus korona (Covid-19) di Indonesia dan pertumbuhan ekonomi yang melambat saat ini.
Menurut Mufida, setiap kali menemui masyarakat, termasuk di masa reses, banyak keluhan terkait kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini. “Semua rakyat yang kami temui pada saat reses menolak kenaikan iuran BPJS. Banyak peserta kelas satu dan dua pindah turun ke kelas di bawahnya karena merasa tidak sanggup lagi membayar,” ungkapnya.
Mufida melanjutkan, cleansing data penerima bantuan iuran (PBI) yang dilakukan pengelola BPJS juga banyak yang tidak tepat sasaran. “Sejumlah warga miskin malah terhapus dari data PBI, sementara sejumlah warga mampu malah masuk,” ucapnya.
Menurut dia, di tengah merebaknya Covid-19 dan DBD, pemerintah seharusnya meningkatkan kualitas layanan kesehatan, khususnya bagi peserta BPJS. “Bidang kesehatan Indonesia sedang menghadapi ujian berat dengan adanya wabah Covid-19 dan meningkatnya pasien DBD. Karenanya, harus lebih serius menangani dua penyakit tersebut sekaligus,” katanya.
Senada diungkapkan Wakil Ketua DPR Koordinator Ekonomi dan Keuangan (Korekku) Sufmi Dasco Ahmad. Dia juga meminta agar pemerintah membatalkan seluruh kenaikan iuran BPJS Kesehatan setelah ada putusan MA tersebut.
“Jadi, atas dasar putusan MA yang diajukan sekelompok masyarakat yang menyatakan dasar kenaikan BPJS bertentangan dengan hukum sehingga dibatalkan dan sudah punya kekuatan hukum tetap, sehingga semua tingkat kenaikan BPJS harus dibatalkan,” kata Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.
Dasco mengatakan, DPR beberapa waktu lalu telah mengupayakan kepada pihak BPJS Kesehatan untuk membatalkan kenaikan iuran tersebut. Sebenarnya sudah ada titik temu, namun hanya terbatas pada kenaikan iuran kelas tiga sebagaimana yang DPR minta agar kenaikannya ditinjau kembali waktu itu.
“Karena putusan MA sudah keluar, maka DPR akan mengawasi pelaksanaan putusan tersebut dan mengimbau semua pihak agar tunduk dan patuh dengan putusan tersebut,” ucap Dasco.
Soal defisit yang dialami BPJS, politikus Partai Gerindra ini berpendapat bahwa defisit itu nanti harus dihitung kembali oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu). DPR juga meminta kepada pihak BPJS Kesehatan untuk menghitung kembali jumlah defisit yang sebenarnya bisa dikurangi itu.
“Berdasarkan yang kami telaah, juga banyak data-data BPJS yang harus disinkronkan. Jadi, dengan data-data terbaru, kami bisa tahu berapa sih masuknya dan defisitnya,” papar Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu.
Dia juga meminta pemerintah untuk duduk bersama guna memformulasikan langkah selanjutnya untuk menindaklanjuti putusan itu. “Nanti kami lihat bagaimana (soal pengembalian uang kenaikan iuran). Ini kan baru sehari. Akan kami kaji ulang, akan kami minta semua pihak duduk bersama. Di tengah cobaan virus korona tentu ada skala prioritas yang akan ditentukan,” ucapnya.
Karena itu, DPR akan meminta pemerintah lintas kementerian/lembaga (K/L) terkait untuk duduk bersama dan memformulasikan langkah-langkah lanjutan atas putusan MA tersebut. Termasuk juga menghitung jumlah defisit BPJS secara valid.
“Nanti kami akan minta mereka duduk bersama. Tapi, saya pikir untuk menghitung defisit ada data yang valid karena selama ini kami lihat dari hasil pertemuan diperlukan validitas data tentang peserta BPJS sendiri yang kelas tiga, kelas dua, dan kelas satu,” tandasnya.
Meski demikian, dia mengingatkan bahwa langkah lanjutan itu harus tetap berpegang pada putusan MA yang final dan mengikat. Dia mengaku yakin bahwa pemerintah pun memiliki skala prioritasnya.“Biar putusan MA dikaji dulu, tentu sifatnya final dan mengikat. Baru kemudian ditentukan langkah-langkah yang harus segera dilakukan pemerintah menyikapi putusan MA,” tandasnya. (Abdul Rochim/Adam Prawira/Kiswondari)
Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) meminta pemerintah untuk melaksanakan putusan MA yang membatalkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 yang mengatur soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Pemerintah juga harus melakukan sosialisasi tentang pembatalan tersebut dan mengembalikan besaran iuran BPJS seperti semula yang sudah ditetapkan.
Bamsoet mengapresiasi putusan MA yang telah membatalkan perpres tersebut dan mendorong pemerintah dalam menetapkan peraturan harus sesuai dengan kajian filosofis, yuridis, dan sosiologis. “Ini agar peraturan yang ditetapkan dapat berlaku secara efektif dan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi,” tandasnya di Jakarta kemarin.
Sebelumnya pemerintah memutuskan untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan sejak 1 Januari 2020. Hal ini dipicu ada defisit anggaran yang diperkirakan mencapai Rp32,8 triliun. Kenaikan iuran tersebut dilakukan dengan dalih untuk menutup defisit anggaran. Namun, keputusan pemerintah ini digugat oleh Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI). Mereka meminta MA membatalkan kenaikan itu. Gayung bersambut, MA pun mengabulkan sebagian permohonan itu.
Dengan pembatalan pasal di atas, iuran BPJS kembali seperti semula yakni untuk kelas tiga sebesar Rp25.500, kelas dua sebesar Rp51.000, dan kelas satu Rp80.000.
Anggota Komisi IX DPR Kurniasih Mufidayati mengatakan, keputusan MA yang menyatakan Pasal 34 Ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan sudah tidak memiliki kekuatan hukum mengikat lagi. “Saya menyambut positif keputusan MA ini. Maka, pemerintah wajib segera menindaklanjuti dengan menghentikan kenaikan iuran BPJS saat ini juga,” tandas Mufida di Jakarta kemarin.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini mengatakan, pemerintah harus belajar dari peristiwa ini. Jangan menambah beban hidup rakyat dalam situasi wabah virus korona (Covid-19) di Indonesia dan pertumbuhan ekonomi yang melambat saat ini.
Menurut Mufida, setiap kali menemui masyarakat, termasuk di masa reses, banyak keluhan terkait kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini. “Semua rakyat yang kami temui pada saat reses menolak kenaikan iuran BPJS. Banyak peserta kelas satu dan dua pindah turun ke kelas di bawahnya karena merasa tidak sanggup lagi membayar,” ungkapnya.
Mufida melanjutkan, cleansing data penerima bantuan iuran (PBI) yang dilakukan pengelola BPJS juga banyak yang tidak tepat sasaran. “Sejumlah warga miskin malah terhapus dari data PBI, sementara sejumlah warga mampu malah masuk,” ucapnya.
Menurut dia, di tengah merebaknya Covid-19 dan DBD, pemerintah seharusnya meningkatkan kualitas layanan kesehatan, khususnya bagi peserta BPJS. “Bidang kesehatan Indonesia sedang menghadapi ujian berat dengan adanya wabah Covid-19 dan meningkatnya pasien DBD. Karenanya, harus lebih serius menangani dua penyakit tersebut sekaligus,” katanya.
Senada diungkapkan Wakil Ketua DPR Koordinator Ekonomi dan Keuangan (Korekku) Sufmi Dasco Ahmad. Dia juga meminta agar pemerintah membatalkan seluruh kenaikan iuran BPJS Kesehatan setelah ada putusan MA tersebut.
“Jadi, atas dasar putusan MA yang diajukan sekelompok masyarakat yang menyatakan dasar kenaikan BPJS bertentangan dengan hukum sehingga dibatalkan dan sudah punya kekuatan hukum tetap, sehingga semua tingkat kenaikan BPJS harus dibatalkan,” kata Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.
Dasco mengatakan, DPR beberapa waktu lalu telah mengupayakan kepada pihak BPJS Kesehatan untuk membatalkan kenaikan iuran tersebut. Sebenarnya sudah ada titik temu, namun hanya terbatas pada kenaikan iuran kelas tiga sebagaimana yang DPR minta agar kenaikannya ditinjau kembali waktu itu.
“Karena putusan MA sudah keluar, maka DPR akan mengawasi pelaksanaan putusan tersebut dan mengimbau semua pihak agar tunduk dan patuh dengan putusan tersebut,” ucap Dasco.
Soal defisit yang dialami BPJS, politikus Partai Gerindra ini berpendapat bahwa defisit itu nanti harus dihitung kembali oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu). DPR juga meminta kepada pihak BPJS Kesehatan untuk menghitung kembali jumlah defisit yang sebenarnya bisa dikurangi itu.
“Berdasarkan yang kami telaah, juga banyak data-data BPJS yang harus disinkronkan. Jadi, dengan data-data terbaru, kami bisa tahu berapa sih masuknya dan defisitnya,” papar Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu.
Dia juga meminta pemerintah untuk duduk bersama guna memformulasikan langkah selanjutnya untuk menindaklanjuti putusan itu. “Nanti kami lihat bagaimana (soal pengembalian uang kenaikan iuran). Ini kan baru sehari. Akan kami kaji ulang, akan kami minta semua pihak duduk bersama. Di tengah cobaan virus korona tentu ada skala prioritas yang akan ditentukan,” ucapnya.
Karena itu, DPR akan meminta pemerintah lintas kementerian/lembaga (K/L) terkait untuk duduk bersama dan memformulasikan langkah-langkah lanjutan atas putusan MA tersebut. Termasuk juga menghitung jumlah defisit BPJS secara valid.
“Nanti kami akan minta mereka duduk bersama. Tapi, saya pikir untuk menghitung defisit ada data yang valid karena selama ini kami lihat dari hasil pertemuan diperlukan validitas data tentang peserta BPJS sendiri yang kelas tiga, kelas dua, dan kelas satu,” tandasnya.
Meski demikian, dia mengingatkan bahwa langkah lanjutan itu harus tetap berpegang pada putusan MA yang final dan mengikat. Dia mengaku yakin bahwa pemerintah pun memiliki skala prioritasnya.“Biar putusan MA dikaji dulu, tentu sifatnya final dan mengikat. Baru kemudian ditentukan langkah-langkah yang harus segera dilakukan pemerintah menyikapi putusan MA,” tandasnya. (Abdul Rochim/Adam Prawira/Kiswondari)
(ysw)