Di MUI, Mahfud MD Ceramah soal Hubungan Agama dan Negara
A
A
A
JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD memberikan pandangannya mewakili pemerintah dalam kegiatan Standardisasi Kompetensi Dai yang dilaksanakan di Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jakarta, Kamis (5/3/2020).
"Sehingga pandangan saya akan terkait dengan masalah bagaimana berdakwah dalam hidup bernegara yang memakai atau memiliki ideologi tertentu," kata Mahfud memulai ceramahnya sebagai pembicara kunci.
Mahfud menyatakan, sejak 1996 sampai 1999 dirinya juga kerap diundang berceramah di sebuah stasiun televisi. Saat ini, dirinya banyak diundang berceramah dalam kapasitasnya sebagai menteri, maka yang ia sampaikan sesuai dengan standar dai dalam lingkup wilayah Indonesia.
Mahfud menjelaskan, kehadiran negara itu 'sunnatullah', tak ada seorang pun termasuk agama menolak kehadiran negara. Termasuk, umat juga lahir sebagai warga negara dan tak bisa lepas dari kekuasaan negara. (Baca Juga: Kontroversi Kepala BPIP dari Cadar hingga Salam Pancasila).
"Manusia itu kata Aristoteles itu adalah manusia yang selalu hidup bermasyarakat, tak ada manusia yang hidup sendirian. Kecuali di dalam cerita fiktif seperti Tarzan," tutur dia.
Lebih lanjut Mahfud menyatakan, karena manusia tak hidup sendirian, maka manusia itu hidup dengan berorganisasi dalam negara, sehingga tak ada orang yang tidak bernegara, begitu lahir yang bernegara.
"Kita lahir di Indonesia, tidak suka kepada Indonesia mau ke mana? Ndak suka saya sama Indonesia banyak koruptornya, mau ke mana? Ke Malaysia, nah di sana juga negara. Oleh sebab itu begitu masuk Malaysia disuruh balik kalau ndak punya paspor, Anda dari negara mana, karena manusia itu harus punya negara," ujar dia. (Baca Juga: Pancasila dan Akrobat Kata).
"Nah sebagai sunatullah bagi kaum muslimin, bernegara adalah syarat untuk beribadah kepada Allah SWT. Jadi kalau Anda ingin beribadah dengan baik maka hendaklah anda punya negara, itu logika saja," imbuh mantan Ketua MK itu.
Mahfud melanjutkan, pada negara belum merdeka, untuk urusan beribadah pun susah dan tidak tenang, karena negara sedang dijajah. Namun, karena saat itu kita meyakini mempunyai agama, maka bisa beribadah dengan tenang sampai hari ini. Untuk itu perlunya kita semua wajib bernegara.
"Karena kita itu tak punya negara mau beribadah itu susah, agama ditekan-tekan sehingga lahir Muhammadiyah yang melahirkan bagaimana perbaikan guru dan pendidikan, lahir NU yang mengembuskan nilai kebangsaan mengajak kita merdeka, dan lahir macem-macem," ungkapnya.
Dengan demikian pula, kata Mahfud, Imam Al Ghazali pernah mengatakan bahwa beragama atau melaksanakan ajaran agama dan mempunyai kekuasaan negara itu adalah saudara kembar. "Anda mau melaksanakan agama dan punya kekuasaan negara ya itu saudara kembar, tak bisa berjalan hanya salah satu saja. Anda bernegara ndak akan baik kalau tak dibimbing oleh ajaran agama, Anda juga beragama tak bisa baik kalau tak punya negara, tidak punya kekuasaan negara, itu Al Ghazali mengatakan," ucapnya.
Mahfud menambahkan, setelah bicara 'sunatullah' bernegara, maka selanjutnya bicara negara dan ideologi. Hal ini disebutnya perlu dijelaskan kembali lantaran dahulu masih ada yang menanyakan kita perlu atau tidak kebedaraan ideologi.
Kata Mahfud, ideologi itu adalah kesepakatan antarmanusia, bukan wahyu. Kesepakatan itumengatur tentang pedoman hidup bersama dalam bernegara, kesepakatan tentang hidup bersama dalam bernegara, bukan beragama.
Karena itu, Mahfud menilai, jika kita mau tunduk pada ideologi dalam konteks bernegara bukan dalam konteks beragama. "Jadi begini, ideologi itu adalah kesepakatan tentang berbagai kebenaran falsafati yang disepakati. Jadi hidup itu kan banyak kebenaran falsafatinya, kejawen punya kebenaran sendiri, Islam punya, Kristen punya, ini beda beda," ungkapnya.
Mahfud menjelaskan, karena berbeda-beda, tapi ingin tetap bersatu, maka dibutuhkan adanya ideologi yang menyatukan, dengan harapan semua warga negara hidup diatur oleh negara berdasarkan ideologi dan konstutusi. Kata Mahfud, seperti beragama itu tak diatur oleh negara hukumnya, tetapi dilindungi oleh negara bagi orang yang melaksanakan ajaran agamanya.
"Saya contohkan lagi, kita naik haji itu hukum agama tetapi itu tak diwajibkan oleh negara. Ndak ada orang wajib naik haji kata negara, ndak ada, tapi itu agama yang mengatakan orang Islam wajib naik haji. Maka negara membuat Undang-Undang Haji untuk melindungi orang orang yang berhaji itu, bukan mewajibkan haji," papar Mahfud.
"Zakat itu wajib hukumnya tapi itu bukan hukum negara, oleh sebab itu tak ada negara mewajibkan zakat, negara mewajibkan pajak. Kalau orang beragama ingin melaksanakan zakat, negara melindungi, ini ada UU Zakat. Tetapi orang tak zakat tak apa-apa menurut negara, menurut agama dosa kalau tak zakat," imbuh dia.
"Tapi, kalau pajak itu hukum negara, negara mewajibkan, orang tak membayar pajak ya dihukum, orang ndak bayar zakat ndak apa apa, tapi kok orang bayar zakat ditipu. nah negara punya hukum soal itu. Negara dan ideologi Pancasila itu bisa disebut sebagai kesepakatan," tandasnya.
"Sehingga pandangan saya akan terkait dengan masalah bagaimana berdakwah dalam hidup bernegara yang memakai atau memiliki ideologi tertentu," kata Mahfud memulai ceramahnya sebagai pembicara kunci.
Mahfud menyatakan, sejak 1996 sampai 1999 dirinya juga kerap diundang berceramah di sebuah stasiun televisi. Saat ini, dirinya banyak diundang berceramah dalam kapasitasnya sebagai menteri, maka yang ia sampaikan sesuai dengan standar dai dalam lingkup wilayah Indonesia.
Mahfud menjelaskan, kehadiran negara itu 'sunnatullah', tak ada seorang pun termasuk agama menolak kehadiran negara. Termasuk, umat juga lahir sebagai warga negara dan tak bisa lepas dari kekuasaan negara. (Baca Juga: Kontroversi Kepala BPIP dari Cadar hingga Salam Pancasila).
"Manusia itu kata Aristoteles itu adalah manusia yang selalu hidup bermasyarakat, tak ada manusia yang hidup sendirian. Kecuali di dalam cerita fiktif seperti Tarzan," tutur dia.
Lebih lanjut Mahfud menyatakan, karena manusia tak hidup sendirian, maka manusia itu hidup dengan berorganisasi dalam negara, sehingga tak ada orang yang tidak bernegara, begitu lahir yang bernegara.
"Kita lahir di Indonesia, tidak suka kepada Indonesia mau ke mana? Ndak suka saya sama Indonesia banyak koruptornya, mau ke mana? Ke Malaysia, nah di sana juga negara. Oleh sebab itu begitu masuk Malaysia disuruh balik kalau ndak punya paspor, Anda dari negara mana, karena manusia itu harus punya negara," ujar dia. (Baca Juga: Pancasila dan Akrobat Kata).
"Nah sebagai sunatullah bagi kaum muslimin, bernegara adalah syarat untuk beribadah kepada Allah SWT. Jadi kalau Anda ingin beribadah dengan baik maka hendaklah anda punya negara, itu logika saja," imbuh mantan Ketua MK itu.
Mahfud melanjutkan, pada negara belum merdeka, untuk urusan beribadah pun susah dan tidak tenang, karena negara sedang dijajah. Namun, karena saat itu kita meyakini mempunyai agama, maka bisa beribadah dengan tenang sampai hari ini. Untuk itu perlunya kita semua wajib bernegara.
"Karena kita itu tak punya negara mau beribadah itu susah, agama ditekan-tekan sehingga lahir Muhammadiyah yang melahirkan bagaimana perbaikan guru dan pendidikan, lahir NU yang mengembuskan nilai kebangsaan mengajak kita merdeka, dan lahir macem-macem," ungkapnya.
Dengan demikian pula, kata Mahfud, Imam Al Ghazali pernah mengatakan bahwa beragama atau melaksanakan ajaran agama dan mempunyai kekuasaan negara itu adalah saudara kembar. "Anda mau melaksanakan agama dan punya kekuasaan negara ya itu saudara kembar, tak bisa berjalan hanya salah satu saja. Anda bernegara ndak akan baik kalau tak dibimbing oleh ajaran agama, Anda juga beragama tak bisa baik kalau tak punya negara, tidak punya kekuasaan negara, itu Al Ghazali mengatakan," ucapnya.
Mahfud menambahkan, setelah bicara 'sunatullah' bernegara, maka selanjutnya bicara negara dan ideologi. Hal ini disebutnya perlu dijelaskan kembali lantaran dahulu masih ada yang menanyakan kita perlu atau tidak kebedaraan ideologi.
Kata Mahfud, ideologi itu adalah kesepakatan antarmanusia, bukan wahyu. Kesepakatan itumengatur tentang pedoman hidup bersama dalam bernegara, kesepakatan tentang hidup bersama dalam bernegara, bukan beragama.
Karena itu, Mahfud menilai, jika kita mau tunduk pada ideologi dalam konteks bernegara bukan dalam konteks beragama. "Jadi begini, ideologi itu adalah kesepakatan tentang berbagai kebenaran falsafati yang disepakati. Jadi hidup itu kan banyak kebenaran falsafatinya, kejawen punya kebenaran sendiri, Islam punya, Kristen punya, ini beda beda," ungkapnya.
Mahfud menjelaskan, karena berbeda-beda, tapi ingin tetap bersatu, maka dibutuhkan adanya ideologi yang menyatukan, dengan harapan semua warga negara hidup diatur oleh negara berdasarkan ideologi dan konstutusi. Kata Mahfud, seperti beragama itu tak diatur oleh negara hukumnya, tetapi dilindungi oleh negara bagi orang yang melaksanakan ajaran agamanya.
"Saya contohkan lagi, kita naik haji itu hukum agama tetapi itu tak diwajibkan oleh negara. Ndak ada orang wajib naik haji kata negara, ndak ada, tapi itu agama yang mengatakan orang Islam wajib naik haji. Maka negara membuat Undang-Undang Haji untuk melindungi orang orang yang berhaji itu, bukan mewajibkan haji," papar Mahfud.
"Zakat itu wajib hukumnya tapi itu bukan hukum negara, oleh sebab itu tak ada negara mewajibkan zakat, negara mewajibkan pajak. Kalau orang beragama ingin melaksanakan zakat, negara melindungi, ini ada UU Zakat. Tetapi orang tak zakat tak apa-apa menurut negara, menurut agama dosa kalau tak zakat," imbuh dia.
"Tapi, kalau pajak itu hukum negara, negara mewajibkan, orang tak membayar pajak ya dihukum, orang ndak bayar zakat ndak apa apa, tapi kok orang bayar zakat ditipu. nah negara punya hukum soal itu. Negara dan ideologi Pancasila itu bisa disebut sebagai kesepakatan," tandasnya.
(zik)