KSPI Sebut Draf Omnibus Law RUU Ciptaker Liberal dan Brutal

Rabu, 04 Maret 2020 - 04:45 WIB
KSPI Sebut Draf Omnibus...
KSPI Sebut Draf Omnibus Law RUU Ciptaker Liberal dan Brutal
A A A
JAKARTA - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menilai draf omnibus law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) sangat liberal dan brutal.

"KSPI sudah membaca draf RUU Omnibus Law. Setelah membaca dan menganalisa ternyata RUU ini sangat liberal, sangat neolib dan bahkan brutal, meniadakan perlundungan dan mereduksi para buruh di Indonesia," ujar Wakil Ketua KSPI Iswan Abdullah dalam diskusi Forum Legislasi bertema "Kesiapan DPR Bahas Omnibus Law RUU Ciptaker" di Media Center MPR/DPR RI, Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (3/3/2020).

Menurutnya, sedikitnya ada tiga hal yang dilanggar oleh RUU Ciptaker dalam gerakan buruh seluruh di dunia termasuk Indonesia. Pertama, melanggar job security atau jaminan pekerjaan. RUU ini dinilai meniadakan jaminan dan perlindungan terhadap setiap warga negara terhadap pekerjaan dan penghidupan yang layak. Hal itu ditandai dengan penggunaan pekerja asing dan outsourcing.

"Kalau di UU 13 Tahun 2003, outsourcing hanya jenis-jenis pekerjaan tertentu, sekarang dibuka seluas-luasnya. Artinya apa? Perusahaan di daya bebas untuk mempekerjaan para pekerja bahkan memperdagangkan para buruh di Tanah Air kita," tuturnya.

Kemudian penggunaan tenaga kerja waktu tertentu (PKWT) yang dibuka seluas-luasnya, sementara dalam UU Nomor 13 Tqhun 2003, disebutkan pekerjaan dengan sistem kerja waktu tertentu hanya pekerjaan yang sifatnya sementara paling lama diselesaikan dalam waktu 3 tahun. "Sementara RUU (Ciptaker) memberikan luas seluas-luasnya kepada para pekerja Indonesia, bahkan memberikan kesempatan pada pekerjaan untuk status kontrak sampai mati, begitu juga outsourcing sampai mati juga," urainya.

Kedua, RUU ini dinilai mereduksi, bahkan meniadakan income security atau jaminan pendapatan yang layak. Hal ini ditandai dengan undang-undang ini meniadakan upah minimum. "Betul dalam RUU ini dikatakan ada upah minimum provinsi, tetapi kenyataannya penetapan Upah Minimum Provinsi hanya dianut oleh DKI Jakarta sama Yogya, sementara seluruh wilayah Indonesia menggunakan upah minimum kabupaten/kota, termasuk upah minimum sektoral," tuturnya.

Dikatakan Iswan, RUU ini juga mengatur yang namanya upah minimum padat karya yang nilainya dibawah UMK. "Upah minimum padat karya ini diatur bahwa ada upah minimum di bawah upah minimum, semakin ngawur lagi. Padahal secara filosofi bahwa upah minimum adalah jaring pengaman safety net, di mana negara hadir untuk memastikan tidak ada pekerja yang miskin secara absolut akibat kebijakan pengupahan di negara kita. Itu fungsi peran dari pada upah minimum, tiba-tiba ada lagi yang namanya upah minimum padat karya, ini sangat berbahaya," tegasnya.

Ketiga, kata Iswan, adalah social security atau jaminan sosial. RUU ini bisa memastikan bahwa pekerja bisa hilang jaminan sosialnya karena kerja kontrak seumur hidup. "Begitu juga outsorsing seumur hidup, kemudian begitu juga diatur juga upah per jam, kalau upah per jam artinya memberikan keleluasaan kepada pengusaha untuk membayar upah minimum karena dilegalkan undang-undang sementara syarat iuran premi BPJS Ketenagakerjaan atau BPJS Kesehaatan itu adalah upah minimum sampai dengan Rp12 juta," urainya.

Menurutnya, dari awal pemerintah sengaja tidak melibatkan serikat buruh dalam menyusun draf RUU Ciptaker. "Bahkan di dalamnya Permenko 378 ada namanya satgas. Satgas RUU omnibus Law seluruh pengusaha di Indonesia, diketuai oleh Rosan Roeslani kemudian seluruh asosiasi pengusaha di Indonesia tanpa melibatkan serikat buruh dan itulah dugaan kami nuansa atau isi daripada RUU Omnibus Law yang bercitarasa pengusaha, kapitalis karena mementingkan kepentingan mereka," katanya.
(cip)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1053 seconds (0.1#10.140)