Draf Omnibus Law Cipta Kerja Dinilai Penzaliman terhadap Buruh
A
A
A
JAKARTA - Draf Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja dinilai penzaliman terhadap buruh. Maka itu, Presiden DPP Konfederasi Sarikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi), Syaiful Bahri Anshori mengkritisinya.
Dia menilai banyak hal atau ketentuan yang diatur dalam RUU inisiatif pemerintah itu merugikan buruh. Selain itu, penyusunan RUU itu dianggap tergesa-gesa, tertutup dan tidak melibatkan seluruh stakeholder, terutama kalangan buruh yang dinilainya sebagai pihak yang benar-benar paham masalah ketenagakerjaan. (Baca Juga: Omnibus Law dan Kekerasan Struktural)
"RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini penzoliman terhadap buruh karena banyak permasalahan yang menjerat buruh," ujar Syaiful Bahri Anshori, Rabu (26/2/2020).
Dia mengungkapkan, pihaknya bersama organisasi koalisi buruh beberapa kali mengajak pemerintah untuk membahas RUU Omnibus Law Cipta Kerja itu. Akan tetapi, pemerintah terus berkelit untuk merealisasikan niat baik koalisi buruh tersebut.
"Konsepnya disimpan terus. Beberapa kali koalisi buruh batal rapat. Seharusnya dibahas dulu bersama-sama. Ini membuktikan, mereka (pemerintah-red) tidak serius," imbuhnya.
Di samping itu, dia menilai penyusun RUU tersebut tidak mengerti permasalahan buruh di Indonesia. Dia memberikan contoh, dalam draf RUU itu tidak ada jaminan pensiun bagi buruh. Padahal, jaminan pensiun sangat dibutuhkan buruh untuk keberlangsungan hidup kedepannya.
"Buruh ingin ada jaminan kerja yang jelas. Buruh takut dipecat, dimacem-macem. Jadi tidak jelas masa depannya," tuturnya.
Dia pun membeberkan sejumlah pasal di draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang merugikan buruh. Pertama, Pasal 42 yang salah satu ayatnya menyebutkan tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia, namun hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki.
"Tenaga kerja asing bisa menduduki jabatan kecuali jabatan yang mengurusi personalia," bunyi ayat (5) dalam pasal 42 tersebut.
Syaiful Bahri menerangkan, ketentuan pasal tersebut memberikan ruang beberapa posisi bisa langsung digunakan tenaga kerja asing (TKA). Yakni dewan direksi dan dewan komisaris, kegiatan mesin produksi keadaan darurat, vokasi, start up, kunjungan bisnis dan penelitian untuk jangka waktu tertentu.
"Ini meniadakan Permen 19/2012 yang mengatur 19 jenis pekerjaan yang dilarang menggunakan TKA," ucapnya.
Kedua, Pasal 56 ayat (3) yang berbunyi “Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak”.
Ketiga, Pasal 58 ayat (2) yang awalnya masa percobaan batal demi hukum dalam PKWT dan menjadi hangus, akan tetapi dalam RUU Ciptaker menjadi masa kerja dan tetap dihitung. (Baca: Menolak Muluskan, PKS Akan Kritisi Omnibus Law Cipta Kerja)
Keempat, Pasal 59 ayat (1) dengan dihapusnya persyaratan PKWT yang hanya dibuat untuk pekerjaan tertentu (jenis dan sifat dan kegiatan pekerjaannya yang akan selesai dalam jangka waktu tertentu yakni: pekerjaan sekali selesai/sementara, waktunya 3 tahun, bersifat musiman dan produk baru. "Maka dihapusnya pasal ini menjadikan PKWT tidak ada batasan apapun dan tanpa batas," katanya.
Kelima, Pasal 61 dengan penambahan huruf c yang memasukkan selesainya suatu pekerjaan tertentu, akan membuat adanya PHK yang terjadi tanpa batas karena PKWT diadakan atas kesepakatan dan tanpa ada syarat apapun dengan dihapusnya pasal 59.
Keenam, Pasal 77 ayat (2) berubah yang dulu diatur 7 jam sehari untuk 6 hari kerja dan 8 jam sehari untuk 5 hari kerja menjadi paling lama 8 jam 1 hari dan 40 jam seminggu.
Ketujuh, Pasal 78 ayat (1) mengubah ketentuan waktu kerja lembur dari 3 jam dalam satu hari dan 14 jam dalam satu minggu menjadi 4 jam dalam sehari dan 18 jam dalam satu minggu.
Kedelapan, Pasal 88 B menyebutkan upah ditetapkan berdasarkan: a. satuan waktu; dan/atau b. satuan hasil. Artinya, upah berdasarkan satuan waktu yang akan menjadi dasar penghitungan upah perjam.
Kesembilan, Pasal 88C ayat (1) menyebutkan Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. Ayat (2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi. "Dengan ditetapkannya upah hanya Upah minimum provinsi, sehingga ini akan menghilangkan jenis-jenis upah yang ada seperti upah minimum Kabupaten/kota dan upah sektoral," tuturnya. (Baca Juga: 9 Poin Kontroversial Omnibus Law Cipta Kerja Versi KSPI)
Lebih lanjut dia menyimpulkan, RUU Omnibus Law Cipta Kerja itu sangat liberal. Dirinya pun memastikan pembahasan RUU ini nantinya tidak akan selesai dalam waktu 100 hari seperti yang diinginkan Presiden Jokowi. "Mustahil itu dalam 100 hari RUU Omnibus Law Cipta Kerja jadi. Banyak masalah itu," pungkasnya.
Dia menilai banyak hal atau ketentuan yang diatur dalam RUU inisiatif pemerintah itu merugikan buruh. Selain itu, penyusunan RUU itu dianggap tergesa-gesa, tertutup dan tidak melibatkan seluruh stakeholder, terutama kalangan buruh yang dinilainya sebagai pihak yang benar-benar paham masalah ketenagakerjaan. (Baca Juga: Omnibus Law dan Kekerasan Struktural)
"RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini penzoliman terhadap buruh karena banyak permasalahan yang menjerat buruh," ujar Syaiful Bahri Anshori, Rabu (26/2/2020).
Dia mengungkapkan, pihaknya bersama organisasi koalisi buruh beberapa kali mengajak pemerintah untuk membahas RUU Omnibus Law Cipta Kerja itu. Akan tetapi, pemerintah terus berkelit untuk merealisasikan niat baik koalisi buruh tersebut.
"Konsepnya disimpan terus. Beberapa kali koalisi buruh batal rapat. Seharusnya dibahas dulu bersama-sama. Ini membuktikan, mereka (pemerintah-red) tidak serius," imbuhnya.
Di samping itu, dia menilai penyusun RUU tersebut tidak mengerti permasalahan buruh di Indonesia. Dia memberikan contoh, dalam draf RUU itu tidak ada jaminan pensiun bagi buruh. Padahal, jaminan pensiun sangat dibutuhkan buruh untuk keberlangsungan hidup kedepannya.
"Buruh ingin ada jaminan kerja yang jelas. Buruh takut dipecat, dimacem-macem. Jadi tidak jelas masa depannya," tuturnya.
Dia pun membeberkan sejumlah pasal di draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang merugikan buruh. Pertama, Pasal 42 yang salah satu ayatnya menyebutkan tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia, namun hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki.
"Tenaga kerja asing bisa menduduki jabatan kecuali jabatan yang mengurusi personalia," bunyi ayat (5) dalam pasal 42 tersebut.
Syaiful Bahri menerangkan, ketentuan pasal tersebut memberikan ruang beberapa posisi bisa langsung digunakan tenaga kerja asing (TKA). Yakni dewan direksi dan dewan komisaris, kegiatan mesin produksi keadaan darurat, vokasi, start up, kunjungan bisnis dan penelitian untuk jangka waktu tertentu.
"Ini meniadakan Permen 19/2012 yang mengatur 19 jenis pekerjaan yang dilarang menggunakan TKA," ucapnya.
Kedua, Pasal 56 ayat (3) yang berbunyi “Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak”.
Ketiga, Pasal 58 ayat (2) yang awalnya masa percobaan batal demi hukum dalam PKWT dan menjadi hangus, akan tetapi dalam RUU Ciptaker menjadi masa kerja dan tetap dihitung. (Baca: Menolak Muluskan, PKS Akan Kritisi Omnibus Law Cipta Kerja)
Keempat, Pasal 59 ayat (1) dengan dihapusnya persyaratan PKWT yang hanya dibuat untuk pekerjaan tertentu (jenis dan sifat dan kegiatan pekerjaannya yang akan selesai dalam jangka waktu tertentu yakni: pekerjaan sekali selesai/sementara, waktunya 3 tahun, bersifat musiman dan produk baru. "Maka dihapusnya pasal ini menjadikan PKWT tidak ada batasan apapun dan tanpa batas," katanya.
Kelima, Pasal 61 dengan penambahan huruf c yang memasukkan selesainya suatu pekerjaan tertentu, akan membuat adanya PHK yang terjadi tanpa batas karena PKWT diadakan atas kesepakatan dan tanpa ada syarat apapun dengan dihapusnya pasal 59.
Keenam, Pasal 77 ayat (2) berubah yang dulu diatur 7 jam sehari untuk 6 hari kerja dan 8 jam sehari untuk 5 hari kerja menjadi paling lama 8 jam 1 hari dan 40 jam seminggu.
Ketujuh, Pasal 78 ayat (1) mengubah ketentuan waktu kerja lembur dari 3 jam dalam satu hari dan 14 jam dalam satu minggu menjadi 4 jam dalam sehari dan 18 jam dalam satu minggu.
Kedelapan, Pasal 88 B menyebutkan upah ditetapkan berdasarkan: a. satuan waktu; dan/atau b. satuan hasil. Artinya, upah berdasarkan satuan waktu yang akan menjadi dasar penghitungan upah perjam.
Kesembilan, Pasal 88C ayat (1) menyebutkan Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. Ayat (2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi. "Dengan ditetapkannya upah hanya Upah minimum provinsi, sehingga ini akan menghilangkan jenis-jenis upah yang ada seperti upah minimum Kabupaten/kota dan upah sektoral," tuturnya. (Baca Juga: 9 Poin Kontroversial Omnibus Law Cipta Kerja Versi KSPI)
Lebih lanjut dia menyimpulkan, RUU Omnibus Law Cipta Kerja itu sangat liberal. Dirinya pun memastikan pembahasan RUU ini nantinya tidak akan selesai dalam waktu 100 hari seperti yang diinginkan Presiden Jokowi. "Mustahil itu dalam 100 hari RUU Omnibus Law Cipta Kerja jadi. Banyak masalah itu," pungkasnya.
(kri)